Saturday, June 17, 2006

Definisi Agama dan Diskriminasi

Definisi Agama dan Diskriminasi Terhadap Kepercayaan

Topik ini sebenarnya lanjutan dari topik Islam KTP[1] yang tampaknya masih belum jelas. Topik ini juga merupakan penegasan kembali atas pendapatku di diskusi yang kulakukan di Ajangkita[2]. Yang jelas topik ini adalah topik sensitif dan aku bersedia dicap sesat untuk menulis topik ini. Jadi harap baca dengan teliti.

Tidak Pernah Ada Definisi Agama di Indonesia
Dalam bahasa hukum sebuah Undang-Undang atau Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, definisi adalah sesuatu yang wajib ada. Dengan adanya definisi, sebuah diskusi tidak akan melebar melebihi ruang lingkup yang dibutuhkan. Dengan adanya definisi, perbedaan-perbedaan yang tidak penting bisa disatukan untuk melahirkan sebuah diskusi yang sehat. Sayangnya, tidak pernah ada definisi tentang agama di Indonesia.

Definisi Umum
Menurut KBBI, agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut[3].

Seorang rekan muslim mengatakan, sebuah kepercayaan bisa disebut sebagai agama bila memiliki orang yang menyampaikan (alias nabi) dan memiliki kitab suci[4]. Lebih jauh lagi, rekan saya, seperti halnya pandangan klasik yang saya dengar dari ulama-ulama, membagi agama menjadi dua, agama Samawi dan agama Budaya di mana pada agama yang terakhir, Tuhan tidak didefinikan secara baku dalam kitab sucinya[5]. Tentu saja definisi ini sangat berbahaya, karena bila kita mempersyaratkan nabi sebagai sahnya agama, maka Hindu tidak dianggap sebagai agama (!!). Sementara kalau kita mempersyaratkan kejelasan konsep Tuhan dalam kitab suci sebagai tanda sahnya agama, maka Budha tidak bisa dianggap sebagai agama(!!).

Saya masih penasaran, siapakah yang membuat definisi agama seperti yang disebutkan oleh teman saya di Ajangkita tadi? Teman saya mengatakan bahwa mungkin Selo Soemardjan yang mengemukakan pendapat tersebut [6] tetapi berdasarkan pencarian melalui internet (saya belum sempat mencari buku-buku beliau) saya tidak menemukan pendapat Selo Soemardjan seperti itu.

Apakah pendapat tadi benar-benar pendapat seorang ahli Antropolog/Sosiolog ataukah sekedar pendapat seseorang yang terlalu picik (bahkan walau mungkin bekerja di LIPI dan mempunyai ijazah dari jurusan Antropolog/Sosiolog) yang jelas pendapat tersebut adalah tidak netral dan harus diubah karena mempunyai akibat-akibat yang membahayakan.

Definisi-definisi yang cukup netral saya dapatkan dari beberapa orang luar negeri dan beberapa di antaranya pernah saya kemukakan di diskusi saya di Ajangkita[7]. Definisi-definisi cukup netral tersebut antara lain:

Menurut Michael Shermer (agnostik non-theis), agama itu berfungsi untuk mengontrol moral.
(dari buku The Science of Good and Evil karangannya.. [pada saat aku menulis, bukunya sedang tidak ada di hadapanku])

Menurut Religion for Dummies, sebuah kepercayaan bisa disebut agama bila:
1. mempunyai kepercayaan
2. mempunyai aturan moral
3. mempunyai ritual


Menurut Émile Durkheim:
Seperangkat sistem keyakinan dan praktek yang diikatkan pada hal-hal yang sakral, atau bisa juga disebut, hal-hal yang disisihkan dan dilarang --keyakinan dan praktek-praktek ke dalam komunitas moral tunggal yang disebut Gereja

(catatan: dari latar belakangnya, yang dimaksud Gereja adalah instansi keagamaan tersebut, jadi jangan dipersempit menjadi tempat ibadah kristen)

(dari buku Agama & Teori Sosial karangan Bryant S. Turner)

Menurut Clifford Geertz:
(1) sistem simbol yang gunanya (2) membentuk mood dan motivasi-motivasi yang begitu kuat, melingkupi dan bertahan lama dalam diri manusia dengan (3)memformulasikan konsepsi-konsepsi tatanan umum eksistensi dan (4) menyelubungi konsep-konsep tersebut dengan semacam aura faktualitas sehingga (5)mood dan motivasi-motivasi secara unik dapat ditangkap sebagai sesuatu yang realistis

(dari bukunya Turner)

Menurut Daniel Bell:
Agama adalah jawaban-jawaban menyeluruh terhadap pertanyaan-pertanyaan inti eksistensial yang selalu dihadapi umat manusia, pengkodifikasian jawaban-jawaban ini ke dalam bentuk-bentuk kredo menjadi signifikan bagi para penganutnya, ritual dan upacara-upacaranya memberikan ikatan emosional bagi setiap individu yang melaksanakannya, dan pembentukan tubuh institusional membawa mereka yang sama-sama menganut kredo dan melaksanakan ritus dan upacara tersebut ke dalam kongregasi (jemaat), dan yang tak kalah pentingnya tubuh institusi mampu melanggengkan ritus-ritus tersebut dari generasi ke generasi.

(masih dari bukunya Turner)

Menurut Peter L. Berger:
Agama adalah daya upaya manusia yang dengannyalah yang sakral dibentuk. Atau dengan kata lain, agama adalah kosmisasi hal-hal yang sakral. Yang sakral di sini diartikan sebagai sebuah kualitas kekuatan yang misterius dan menggetarkan, yang bukan manusia namun berhubungan dengannya, yang dia yakini ada dan terdapat dalam obyek-obyek tertentu pengalamannya... Kosmos sakral dihadapi manusia sebagai realitas yang begitu kuat melebihi kemampuannya. Akan tetapi kekuatan ini mengalamatkan diri pada manusia dan manusia menempatkan dirinya di dalam sebuah tatanan yang penuh makna.

Menurut Wikipedia berbahasa Inggris:
It is commonly understood as a group of beliefs or attitudes concerning an object (real or imagined), person (real or imagined), or system of thought considered to be supernatural, sacred, or divine, and the moral codes, practices, values, institutions, and rituals associated with such belief or system of though
Artinya: "Biasanya dipahami sebagai sekelompok kepercayaan atau minat terhadap sebuah obyek (nyata atau imajinasi), seseorang (nyata atau imaginasi), atau sistem pemikiran yang dianggap sebagai supernatural, suci, atau ilahi, dan aturan-aturan moral, praktek-praktek, nilai-nilai, institusi-institusi, dan ritual yang diasosiasikan terhadap kepercayan atau sistem pemikiran tersebut."


Dengan begitu, secara garis besar kita bisa melihat agama mempunyai ciri-ciri:
  1. menciptakan atau membentuk sebuah ikatan atau komunitas
  2. memiliki seperangkat aturan perilaku (moral) yang harus dipatuhi oleh warganya
  3. memiliki upacara-upacara tertentu dalam rangka menjaga ikatan tersebut
  4. memiliki sistem hadiah (pahala) dan hukuman (dosa) dalam bentuk yang tidak dikendalikan oleh manusia atau di luar kekuasaan manusia (seperti bencana, karma, surga dan neraka, arwah tersesat, menyatu dengan Tuhan), sehingga memaksa warganya untuk mematuhi peraturan dan menjalankan upacara walaupun tidak ada pengawasan dari rekan-rekannya
Dengan begitu, bisa dikatakan agama adalah bentuk primitif dari sebuah negara. Dalam sebuah diskusi serupa namun informal di tempat kostku di Australia, saya dan teman Hindu dari Gujarat menyetujui konsep agama sebagai bentuk tertua dari masyarakat. Sementara dalam diskusi di Ajangkita, seorang rekan Budha juga menyampaikan pandangan serupa[8] walau saya tidak sepakat dengan pendapat dia mengenai agama masa kini.

Yang jelas, dengan definisi yang saya coba simpulkan, Budha dan Hindu bisa dikategorikan sebagai agama, sementara Nasionalisme bisa dikeluarkan sebagai agama.

Apakah Kepercayaan di Indonesia Merupakan Agama?
Setelah mencoba mendefinisikan agama secara netral, bagaimana sih hukum-hukum kita mencoba mengatur agama? Bagaimana mereka bisa mengatur agama sementara definisi agama saja tidak mempunyai kejelasan?

Di dalam UU No. 7 tahun 1989 mengenai Pengadilan Agama[9], seperti yang disebutkan di atas, agama tidak didefinisikan sama sekali. Justru agama di dalam undang-undang disini disempitkan pengertiannya menjadi hanya Agama Islam, dengan menggunakan definisi "Peradilan Agama adalah Peradilan bagi Orang-Orang yang Beragama Islam". Saya sampai heran, mengapa tidak dinamakan saja undang-undangnya menjadi UU mengenai Pengadilan Agama Islam?

KUHP pasal 156a mengenai penodaan agama juga tidak memberikan definisi tentang agama. Bahkan, bila dibandingkan dengan pasal-pasal lain yang merupakan warisan dari zaman kolonial, pasal ini tergolong baru karena baru ada setelah tahun 1965, lebih tepatnya setelah munculnya PNPS No 1 tahun 1965[10].

PNPS No 1 tahun 1965 mengenai Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama lagi-lagi tidak membahas definisi agama melainkan hanya memberi peraturan dalam pasal pertamanya yaitu "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu"[11]. Sementara bagian penjelasan hanya memuat penjelasan bodoh yakni agama yang dipeluk penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu [12].

Mengapa definisi tersebut adalah kebodohan? Karena definisi tersebut membuktikan ketidakmampuan dari perancang peraturan yang hanya bisa memberikan definisi menggunakan contoh. Analoginya, seandainya ada peraturan mengenai korupsi dan dijelaskan bahwa koruptor adalah Mantan Presiden Soeharto, Tommy Soeharto, maka apakah selain dua orang tersebut tidak bisa digolongkan sebagai koruptor? Kalau bilangan cacah didefinisikan sebagai 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 maka apakah selain sebelas bilangan tadi tidak bisa dikategorikan sebagai bilangan cacah?

Lebih buruk lagi, Konghucu yang tadinya diakui sebagai agama di PNPS 1 tahun 1965, tiba-tiba tidak diakui menjadi agama pada tahun 1978 melalui surat Mendagri No 477 / 74054[13]. Inilah bukti betapa berbahayanya sebuah definisi yang sekedar menggunakan contoh tanpa kejelasan ciri-ciri yang akhirnya bisa menimbulkan penafsiran sembarang.

Kembali ke topik, apakah aliran-aliran kepercayaan bisa dikategorikan sebagai agama? Walaupun aku cenderung berpendapat "iya", seperti yang pernah kuceritakan di tulisanku sebelumnya, tampaknya para penghayat kepercayaan memilih untuk tidak menjadikan kepercayaan mereka sebagai agama[14]. Sikap ini tampaknya membuat pemerintah merasa aman walau merasa takut terhadap kepercayaan. Terbukti sejak tahun 1978, di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (kini Depdiknas) terdapat Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena menurut GBHN di tahun tersebut, Kepercayaan bukanlah agama.

Apa yang salah dengan direktorat tersebut? Kesalahannya adalah, kata pembinaan sangat tidak layak menjadi nama direktorat. Selain karena para penghayat kepercayaan bukanlah anak kecil yang butuh dibina, fungsi direktorat tersebut bukanlah membina melainkan mengawasi agar kepercayaan tersebut tidak berubah menjadi agama (!!)[15]. Walaupun di bagian lain mereka membela diri dengan mengatakan "Pembinaan merupakan suatu proses pemberian bantuan kepada pribadi ataupun organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa berupa bimbingan, dorongan, dan pengayoman agar yang bersangkutan mau dan mampu menampilkan diri dengan tangguh berdasarkan kekuatan potensi yang ada pada dirinya....[16]" namun harus diingat bahwa tujuan awalnya adalah mencegah kepercayaan ini menjadi agama baru.

Implikasi Lebih Dalam
Selain tidak diakui sebagai agama, walaupun pemerintah menyatakan memberikan kebebasan terhadap penghayat untuk mengamalkan ajarannya, pemerintah juga menghalangi para penganut kepercayaan atas hak-hak mereka.
Seperti pada tulisan saya sebelumnya, aliran kepercayaan ini, beberapa sama sekali bukan merupakan bagian dari agama resmi[17]. Dengan kata lain, seharusnya mereka berhak untuk tidak mengisi kolom "agama" pada kartu identitas mereka. Namun dengan diwajibkannya terisinya 'agama', banyak dari para penghayat ini yang hak-haknya disangkal oleh pemerintah seperti hak agar pernikahannya diakui, hak agar diberikan Kartu Tanda Penduduk, dan hak-hak lain karena tidak bersedia memilih salah satu dari agama resmi[18].

Sementara, beberapa penghayat menyerah dan memilih salah satu dengan keterpaksaan. Itu pun, dari bincang-bincang di warung kopi semalam bersama seorang teman kampus, masih dirintangi oleh halangan lain, yaitu memilih agama tertentu seperti Kristen atau Katolik, biasanya tetap akan dihalang-halangi oleh kantor catatan sipil(!!). Tidak heran, seperti dalam tulisan saya sebelumnya, banyak di antara para penghayat ini yang akhirnya memilih agama mayoritas yakni, bisa ditebak, Islam.

Apakah ini namanya kalau bukan pemaksaan terselubung?!
Apakah ini sebuah keadilan?!
Bahkan kitab suci kaum Muslim mengatakan "Tidak ada paksaan dalam agama" (2:256).
Kenapa hal seperti ini masih terjadi? Apakah karena fanatisme sempit yang berlebihan?

Aku rela dicap sesat demi menulis ini.
Aku rela dicap sebagai orang liberal yang mengizinkan pemurtadan demi menulis ini.

Kebenaran adalah kebenaran, walau sejuta umat menyangkalnya (Quran 6:116).


Hormat saya,
Kunderemp Ratnawati Hardjito A.K.A
Narpati Wisjnu Ari Pradana

Referensi
[1] . Narpati Wisjnu Ari Pradana. Islam Ka-Te-Pe. (2006). Cacian Qalbu dan Aql. http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2006/06/islam-ktp.html (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[2]. Kunderemp. Re: Taat Pada Agama, Taat Pada Tuhan. (2006). Ajangkita.com http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?t=13063&start=32 (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[3]. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1997). Diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Agama (terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[4] Wong. Re: Taat Pada Agama, Taat Pada Tuhan. (2006). Ajangkita.com http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?t=13063&start=27 (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[5] Wong. Re: Taat Pada Agama, Taat Pada Tuhan. (2006). Ajangkita.com
http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?t=13063&start=31 (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[6] Wong. Re: Taat Pada Agama, Taat Pada Tuhan. (2006). Ajangkita.com http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?t=13063&start=34 (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006

[7] Kunderemp. Re: Taat Pada Agama, Taat Pada Tuhan. (2006). Ajangkita.com http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?t=13063&start=32 (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[8] Ishaputra. Re: Taat Pada Agama, Taat Pada Tuhan. (2006). Ajangkita.com http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?t=13063&start=25 (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[9] Presiden Republik Indonesia. UU No. 7 Tahun 1989 mengenai Pengadilan Agama. (1989). Diakses melalui repositori bebas http://bebas.vlsm.org/v01/RI/uu/1989/uu-1989-007.txt (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[10] Hukum Online. Undang-Undang Penodaan Agama akan Dibawa ke MK. (2005).Hukum Online. http://hukumonline.com/detail.asp?id=13283&cl=Berita (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[11] ibid.

[12] Wikipedia Indonesia. Agama. (2006). Wikipedia. http://id.wikipedia.org/wiki/Agama (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[13] Anly Cenggana SH. Quo Vadis Pengakuan Lima Agama. (2005). Freelist http://www.freelists.org/archives/ppi/09-2005/msg00110.html (diakses terakhir tanggal 7 Juni 2006)

[14] Narpati Wisjnu Ari Pradana. Islam Ka-Te-Pe. (2006). Cacian Qalbu dan Aql. http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2006/06/islam-ktp.html (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[15]. Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sejarah Singkat. (1999). Departemen Pendidikan Nasional. http://www.depdiknas.go.id/kebudayaan/binyat/sejarah.htm (diakses terakhir tanggal 17 Juni 1006)

[16] Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa . (1999). Departemen Pendidikan Nasional. http://www.depdiknas.go.id/kebudayaan/binyat/pembinaan.htm (diakses terakhir tanggal 17 Juni 1006)

[17] Narpati Wisjnu Ari Pradana. Islam Ka-Te-Pe. (2006). Cacian Qalbu dan Aql. http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2006/06/islam-ktp.html (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[18] Rumadi. Agenda Kebebasan Beragama. (2004). Kompas Cyber Media. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/15/opini/1326646.htm (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

Friday, June 09, 2006

RUU - LLAJ

Awasi RUU-LLAJ!!

Ditengah-tengah hiruk pikuknya jamur-jamur RUU yang tumbuh akhir-akhir ini, muncul lagi satu jamur yang perlu kita awasi (hmmm.. kangen makan jamur nih..) bernama RUU Lalu-Lintas Angkutan Jalan (RUU-LLAJ). Sedikit berbeda dengan RUU APP yang berasal dari usulan DPR, RUU-LLAJ berasal sepihak dari Departemen Perhubungan (dan hal ini tampaknya membuat bapak-bapak polisi kita gerah, terbukti di sebuah diskusi MetroTV semalam, wakil dari polisi mengeluh "kita gak ikut terlibat dalam pembuatan Undang-Undangnya, tetapi kita yang harus menjalankannya, dan nanti masyarakat saat marah, korban cacian mereka adalah kita".

Apa sih yang menjadi masalah dalam RUU-LLAJ yang sedang digodok di Komisi III dan V DPR RI?

Pertama, RUU-LLAJ ini dibuat secara sepihak oleh Departemen Perhubungan.
Dalam pembuatannya mereka tidak melibatkan departemen lain seperti Polri, Ditjen Pajak, Depdagri, Depdag, dan departemen terkait [1]. Dengan begitu, tidak heran bila kelak saat RUU ini disahkan, akan ada kebingungan instansi apa yang memegang wewenang tertentu seperti pembuatan SIM dan STNK [2]. Selain itu disinyalir pembuatan RUU ini dilatarbelakangi oleh penguasaha asing [3].

Kedua, RUU-LLAJ ini membuat birokrasi semakin rumit.
Salah satu yang membedakan antara RUU LLAJ ini dengan peraturan yang sekarang berlaku, UU No. 14 tahun 1992, adalah
  1. Kendaraan Tidak Bermotor dibebani kewajiban baru. Di peraturan yang sekarang berlaku, Kendaraan Tidak Bermotor hanya diwajibkan memenuhi peraturan keselamatan (tidak perduli dipakai pribadi atau mencari nafkah [seperti becak, delman]). Di RUU LLAJ, Kendaraan Tidak Bermotor yang dipergunakan untuk angkutan umum wajib didaftarkan ( pasal 55 ayat 1 ) dan pengemudinya wajib memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Tidak bermotor (pasal 60 ayat 1). Jadi para tukang becak yang ada di Yogya dan Bandung kini harus mendaftarkan diri untuk mendapat SIM khusus.

    Ironisnya, dalam daftar SIM (pasal 56 ayat 2), tidak dimasukkan SIM untuk kendaraan tidak bermotor (nah lo.. kontradiksi deh..).

  2. RUU LLAJ ini mempersyaratkan investasi, antaranya untuk uji emisi gas dan kebisingan motor (pasal 35, 37, 42) dan SIM jenis baru yang kini eletronik (pasal 56 ayat 3). Dengan kata lain, bersiap-siaplah menerima tambahan biaya untuk mengurus SIM dan STNK.

  3. Untuk membuat SIM, setiap calon pengemudi wajib menempuh pendidikan melalui lembaga yang sudah diakreditasi pemerintah (pasal 58 ayat 1 dan pasal 59) sementara peraturan yang sekarang berlaku (PP No. 44 tahun 1993 Pasal 217) sama sekali tidak mempersyaratkan pendidikan selama dapat mengajukan permohonan tertulis, dapat membaca dan menulis, memenuhi batas usia, dan mengetahui pengetahuan tentang peraturan lalu lintas jalan dan teknik dasar kendaraan bermotor (alias lulus ujian). Tidak ada persyaratan formalitas bagaimana calon pengemudi belajar di peraturan yang sekarang berlaku. Dengan kata lain, bila di peraturan sekarang, anda bisa belajar kepada keluarga anda atau teman anda, maka di masa depan (bila RUU ini disahkan), anda harus belajar lewat lembaga resmi (alias harus mengeluarkan biaya lagi).

  4. Menurut RUU LLAJ bermasalah ini, SIM yang pertama kali didapat pun hanyalah SIM sementara (hanya 6 bulan) dan itu hanya bisa digunakan di wilayah-wilayah tertentu (Pasal 58 ayat 2 dan 3). Peraturan ini tak lebih dari contekan peraturan luar negeri seperti Australia yang memiliki perbedaan antara SIM dengan SIM untuk pemula (Learning [di Australia biasanya kendaraan yang dikemudikan diberi tanda "L"]). Apakah orang Indonesia bersedia menempuh jalur rumit seperti ini? Yang jelas biaya kembali bertambah.

Maka awasi RUU ini. Tidak heran kalau ada yang mengeluarkan teori konspirasi RUU ini dilatarbelakangi oleh motivasi busuk.


Hormat saya,
Kunderemp Ratnawati Hardjito A.K.A
Narpati Wisjnu Ari Pradana


Tambahan: Terimakasih untuk Muhammad Ilman Akbar (mahasiswa Fasilkom UI tahun 2005) atas loginnya untuk mendapatkan RUU LLAJ.


Referensi:
1. Bisnis Indonesia. RUU LLAJ Tekan Pengusaha. diakses dari http://www.hubdat.go.id/tiki-read_article.php?articleId=31 (terakhir 9 Juni 2006)

2. Media Indonesia Online. Polri nilai RUU LLAJ Bebani Masyarakat. diakses dari http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=100055 (terakhir 9 Juni 2006)

3. ibid.


Wednesday, June 07, 2006

Islam KTP

Islam[1] Ka-Te-Pe

Apa yang terbayang di pikiran anda saat mendengar kata "Islam KTP"? Kalau anda berpikir Islam KTP adalah orang-orang beragama Islam yang malas menjalankan ibadahnya, maka mungkin anda salah. Bisa jadi mereka adalah orang-orang yang sebenarnya tidak mau masuk Islam tetapi terpaksa harus mencantumkan "Islam" di KTP mereka karena alasan politis.

Di Jawa, orang-orang seperti ini juga dikenal sebagai penganut Kejawen. Terdapat beberapa kesalahpahaman mengenai orang-orang ini, antara lain:
  1. aliran ini sering dianggap sebagai satu aliran, yaitu Kejawen [2]. Kenyataannya, yang disebut Kejawen sebenarnya adalah aliran-aliran yang kebetulan pendirinya adalah orang Jawa. Walaupun beberapa dari kepercayaan-kepercayaan ini memiliki persamaan, tetapi tetap saja satu dan yang lainnya mempunyai perbedaan-perbedaan. Dengan kata lain, tidak pernah ada sebuah kepercayaan tunggal yang disebut Kejawen, yang ada adalah sekelompok aliran di Jawa yang mempunyai beberapa ciri. Bahkan beberapa kepercayaan menolak sebutan Kejawen karena menyempitkan makna kepercayaan mereka hanya dianut oleh orang-orang Jawa, sementara para penghayatnya tidak hanya orang Jawa.

  2. aliran-aliran ini sering dituding sebagai tak lebih dari aliran sinkretis yang mencampuradukkan antara Islam, Buddha, dan Hindu. Kenyataannya, walau beberapa dari aliran ini tergolong baru, namun fondasi yang melandasi aliran ini sudah ada jauh sebelum agama Buddha dan Hindu masuk [3].

  3. aliran-aliran ini juga dituding sebagai animisme (mempercayai semua benda memiliki roh) dan dinamisme (mempercayai semua benda memiliki kekuatan batin [tidak harus mempunyai roh]). Kenyataannya, walau beberapa aliran mempunyai corak dinamisme (saya pribadi belum pernah menemui corak animisme), secara prinsip dasarnya, aliran-aliran ini lebih bersifat Panentheism [4].

Dari definisi-definisi mengenai agama yang diberikan oleh beberapa orang luar negeri (yang berusaha netral, mengakui pengaruh agama dalam masyarakat, dan obyektif tanpa mereduksi maknanya) [5], aliran-aliran kepercayaan ini mungkin bisa dianggap sebagai agama tersendiri (walau masih perlu dikaji lebih lanjut). Hal ini pernah saya utarakan kepada salah satu Pelaku Kepercayaan namun ia menolak dengan alasan "definisi" yang saya berikan tidak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tetapi memang orang-orang Kepercayaan tampaknya tidak nyaman bila Kepercayaan mereka disebut sebagai agama, mungkin karena istilah "agama" di masa sekarang terkesan eksklusif dan menyeramkan. Mereka lebih suka istilah "Kepercayaan". Namun Penghayat Kepercayaan yang saya ajak diskusi, sepakat bahwa Kepercayaan yang ia anut bukanlah bagian dari agama-agama resmi yang diakui Indonesia.

Seorang bapak yang walau sudah tua namun selalu tampak bersemangat[6] bercerita di depanku tentang masa mudanya, di era Sukarno, saat-saat ia selalu menuliskan "berTuhan tapi tak beragama" di kolom agama dan tidak pernah mendapatkan masalah selama dinasnya sebagai tentara. Namun ketika era berganti menjadi era Orde Baru, barulah ia dipaksa memilih di antara 5 agama yang diakui pemerintah. Merasa familiar? Tentu saja! Kalian pasti pernah mendengar bagaimana penganut-penganut Kong Hu Cu dipaksa memilih di antara 5 agama resmi dan baru di masa Gus Dur-lah mereka bisa dengan percaya diri menyatakan diri sebagai penganut Kong Hu Cu. Apa yang dialami oleh penganut Kong Hu Cu, juga dialami oleh para Penghayat Kepercayaan(!). Mereka tidak bisa mencantumkan nama kepercayaan mereka. Mereka hanya bisa menikah bila menggunakan cara agama yang diakui pemerintah. Beberapa isu yang saya dengar lebih menyeramkan seperti pelarangan penguburan jenazah di TPU.

Seperti yang disebutkan oleh kawanku, Jan Peter [7], mayoritas Pelaku Kepercayaan di Jawa mengaku sebagai Islam (karena terpaksa tentunya). Bapak yang saya sebutkan di atas tadi mengatakan alasan memilih "Islam" untuk dicatut bukan karena "Islam" adalah agama yang paling mendekati paham kepercayaannya melainkan karena pemerintah tidak mempersyaratkan surat-surat dari Masjid. Berbeda dengan menjadi Kristen dan Katolik yang membutuhkan pengakuan dari Gereja.

Sekarang pertanyaannya:
  1. Apakah mereka harus terpaksa mengakui salah satu agama "resmi" sementara seharusnya "tiada paksaan dalam agama"(Quran 2: 256)?
  2. Apakah umat muslim tidak malu memaksa mereka mengikuti syariat Islam sementara mereka mencatut nama "Islam" karena tekanan politis?
  3. Apakah umat muslim tidak malu mengaku sebagai mayoritas sementara mungkin saja yang selama ini mengisi "Islam" dalam KTP mereka, dalam lembaga-lembaga sensus bukanlah Muslim?
Penulis berharap jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini bisa membuat kita semakin arif dalam bersikap.

Wassalammu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Kunderemp Ratnawati Hardjito A.K.A
Narpati Wisjnu Ari Pradana


Catatan Kaki:
[1] definisi Islam: Agama yang muncul di semenanjung Arab pada abad 7 Masehi.

[2] terlihat dari tulisan teman saya, Jan Peter (walaupun ia bermaksud baik) di http://jpmrblood.blogspot.com/2006/06/ruu-app-dan-kehancuran-indonesia.html "sebagai contoh, orang-orang Jawa menganut agama Kejawen, walaupun dalam KTP tertulis agama mayoritas." atau definisi Wikipedia berbahasa Indonesia "Kejawen (bahasa Jawa: Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan sukubangsa lainnya yang menetap di Jawa." (terakhir diakses tanggal 7 Juni 2006)

[3] Lihat di situs tentang budaya Jawa, http://www.jawapalace.org/orangjawa.html
"Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah: masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib lain yang jahat (roh-roh jahat).

Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan (Sang Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laku spiritual khusus seperti semedi, tapa, dan pasa (berpuasa)."

[4] Panentheism adalah kepercayaan yang mempercayai semua benda di dunia ini adalah bagian dari Tuhan. Di dalam agama Hindu, konsep Atman mirip dengan konsep ini sementara dalam literatur Islam, Wihdatul Wujud (dan di Jawa dipopulerkan oleh Syekh Siti Jenar) bisa dikategorikan dalam kepercayaan ini. Lebih lanjut tentang Panentheism bisa dibaca di http://en.wikipedia.org/wiki/Panentheism

[5] Beberapa definisi saya berikan di forum diskusi Ajangkita.com. Bisa dibaca di: http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?t=13063&start=32

[6] Bapak ini diusulkan sebagai kandidat Menteri Agama dari minoritas oleh Dawam Rahardjo dalam sebuah artikel di Koran Tempo 2 Juni 2006

[7] bisa dibaca di
http://jpmrblood.blogspot.com/2006/06/ruu-app-dan-kehancuran-indonesia.html "Sebagai contoh, orang-orang Jawa menganut agama Kejawen, walaupun dalam KTP tertulis agama mayoritas."

Friday, June 02, 2006

How Not To Make A Bomb

Dari (tampaknya) koran mahasiswa The Fed di Columbia University.
Bisa dibaca di: http://www.columbia.edu/cu/thefed/v3/volume19/1/bombmaking.shtml

Fed Fun Guide: How Not To Make A Bomb

  • Do not seal dry ice in a pressurized container.


  • Do not get gunpowder from model rocket engines.


  • Do not play with ammonium nitrate. Ever.


  • Do not extract ammonium nitrate from fertilizer.


  • Do not mix calcium carbide and water. If you did that, you would produce gaseous acetylene, which is very flammable, and very bad. You can avoid making calcium carbine by not heating a mixture of lime and calcium to about 2100 degrees celsius.


  • Do not make nitroglycerine. Do this by not introducing glycerin into a body of nitric acid at a temperature below 10 degrees celsius. This is a very bad idea.


  • Do not create flash powder using potassim perchlorate and aluminum powder (you should also not consider adding barium nitrate or sulfur to this mixture that you should not make).


  • Do not harvest magnesium oxide from alkaline batteries and mix it with hydrogen peroxide, it’ll explode.


  • Do not pack two hemispherical portions of plutonium-239 (at least 10 pounds worth) in hundreds of pounds of TNT. This is an atomic bomb and it is bad for you.


  • Do not mix equal parts of chlorate and household sugar. When pressurized, this substance could blow your arm off.


  • Do not boil drug store iodine over an open flame in a metal container while holding a container of ice over the iodine. If you don’t do this, you won’t make iodine crystals, which you won’t have to use in explosives or meth.


  • Do not fill a tennis ball with strike-anywhere type match heads. Such a tennis ball, if thrown, would explode on impact from the match heads lighting against one another.


  • Do not dissolve purified aspirin in sulfuric acid and potassium nitrate while keeping the mixture at a low temperature. Just don’t do it. The resulting chemical, TNP, is very toxic and very explosive.

Jadi..
Jangan dicoba yah? :P

Jangan coba meledakkan Gedung Sate dan Monas seperti di bawah ini (aku gak bertanggung jawab yah)