Wednesday, December 01, 2010

Yogya Monarki?




Bapak Presiden kita lupa tampaknya bagaimana Sultan Hamengkubuwono X yang sekarang menjadi seorang Sultan dan kemudian Gubernur.

Sultan yang sekarang menjadi gubernur ditetapkan oleh pemerintah tanggal 3 Oktober 1998, itu dengan keraguan. Mereka baru berani setelah 6 juta rakyat Yogya mengadakan Mimbar Maklumat Rakyat di akhir bulan Agustus 1998 dan pilihan mereka jelas, Sultan sebagai gubernur.

sumber: arsip Pusat Data dan Analisis Tempo
http://www.pdat.co.id/ads/html/S/ads,20030701-23,S.html

Jadi masih mau bilang Yogya Monarki, Pak?

Penguasa Yogya sebelumnya adalah Paku Alam VIII yang wafat tanggal 11 September 1998. Eyang Paku Alam sendiri, ditetapkan sebagai Gubernur Yogya tahun 1988 setelah Eyang Sultan sebelumnya (HB IX) wafat.


Pemilihan Pangeran Mangkubumi (BRM Herjunodarpito) sebagai Sultan Hamengkubuwono X pun juga melalui musyawarah keraton. Artinya bukan sekedar 'anak tertua' atau 'anak permaisuri' (bahkan Sultan HB IX tidak memiliki permaisuri). Ia juga melalui pertimbangan-pertimbangan, misalnya sempat diragukan karena tidak memiliki anak laki-laki.

Detail musyawarahnya bisa dibaca di arsip majalah Tempo:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/01/14/NAS/mbm.19890114.NAS21737.id.html


Jadi,
Bapak Presiden kita yang terhormat,
sangat, sangat, sangat, sangat salah besar mengatakan Yogya adalah monarki!

Pernyataan Yogya Monarki sangat-sangat-sangat menyinggung rakyat Yogya yang memilih Sultan sebagai Gubernur di tahun 1998. Bahkan ketika Sultan menyatakan tidak berminat dicalonkan kembali untuk jadi gubernur saat Pisowanan tiga tahun lalu, banyak rakyat dan pendukung sultan yang menyayangkan pernyataan tersebut.

Mungkin usul Sultan tanggal 28 September lalu benar adanya.. Referendum saja, ambil suara pada Rakyat Yogya, baik KTP Yogya, yang bertempat tinggal di Yogya, yang memiliki bisnis di Yogya, hingga yang lahir di Yogya tetapi berada di daerah lain.

Dan ngomong2, Sultan gak pernah menaruh saudara-saudaranya atau putrinya atau besannya di jabatan strategis di Yogya lho.. Beliau jauh lebih demokratis daripada Bapak sementara Bapak jauh lebih monarkis daripada Sultan.

2 comments:

amamoto said...

Bedo balung mas bro, siji balungan kere sijine maneh balungan rojo, yen balung rojo deweke iso rumangsa, yen balungan kere mung rumangsa biso...wedi yen keluargane ora iso dadi presiden maneh

Kunderemp said...

Waduh, Mas.. kula mboten saget basa Jawa Mas. Aslinepun kulo tiyang Jakarta. Untung garwane kulo sanggup nerjemahkan sampeyan.

Nggih, Mas. Sing balungan kere mestinya kan iso rumangsa. Nanging, iki kok ora rumangsa nanging rumangsa iso.

Nyuwun ngapunten, Mas kalo kata-kata kulo campur aduk.