Sunday, September 02, 2007

Turut Berduka

Hari ini,
aku membuka milis Budaya Tionghua. Sudah lama sekali aku tak melihatnya. Dan aku terkejut mendengar bahwa Ong Hok Ham telah wafat.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'uun.

Buatku,
walau aku tak pernah bertemu dengannya,
Ong Hok Ham adalah sosok yang perlu dikagumi.

Jika kalian pernah menonton film Gie, di mana saat adegan Soe diundang ke Istana Negara, di situ disertai narasi oleh Gie (bila tidak salah ingat.. karena narasinya sudah diubah dari catatan Gie sendiri), "Kawan saya yang biasanya saya tak sependapat namun kali ini saya mengiyakan, menyatakan bahwa Soekarno sebenarnya adalah kelanjutan dari raja-raja Jawa". Kawan yang dimaksud dalam narasi itu tak lain adalah Ong Hok Ham yang entah mengapa namanya disensor dalam film itu.

Buku Ong Hok Ham yang pertama kali saya baca hingga habis adalah Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, buku yang membuat saya malu sebagai seorang pribumi. Sayangnya, setiap kawan-kawan pribumi yang pernah saya ajak bicara tentang buku menganggap buku tersebut hanya propaganda, padahal buku itu adalah hasil penelitian Ong Hok Ham saat menemani peneliti luar.

Sikap kawan-kawan saya tadi berbeda sekali dengan Patih Natakusuma, patih terakhir Mataram (sisanya adalah patih boneka dari VOC) yang tidak menyukai kesewenangan-wenangan Belanda, bersimpati pada imigran Tionghoa yang teraniaya di Batavia terutama setelah pembantaian 1740 dan mendesak sang sultan untuk membantu mereka. Sayang sekali, sang sultan kemudian berkhianat yang akhirnya menyebabkan para bangsawan Jawa tidak mempercayai lembaga kesultanan dan kelak terpecah menjadi dua (Surakarta dan Yogyakarta).

(actually.. cuma ada dua orang, dan dua-duanya wanita :p ... Yeah.. I mean you!! )

Kembali ke Ong Hok Ham sendiri,
di tahun 50-60-an, Ong Hok Ham termasuk pendukung asimilasi, bersama dengan Junus Jahja, PK Ojong (salah satu pendiri Kompas dan majalah Intisari) bahkan namanya pun sempat direkatkan menjadi Onghokham. Pendapat ini yang juga menjadi bahan perdebatan antara ia dengan Soe Hok Gie yang menganut integrasi.

Tentu saja, walau banyak perbedaan pendapat antara Gie dengan Onghokham, dalam catatan hariannya Gie sangat menghormati Onghokham. Ada beberapa pendapat Onghokham yang ia kutip dalam catatannya.



Saya jujur saja terkejut mendengar berita kematiannya. Saya pernah bertanya pada kawan di FIB mengenai beliau, namun sayangnya, menurut kawan saya, ia sudah pensiun. Katanya, orangnya agak2 nyentrik. Tentu saja, saya tidak memiliki kesempatan untuk membuktikannya.

Sejujurnya,
saya kehilangan. Sebagai pecinta sejarah, saya tahu, betapa sedikit, orang Indonesia (yeah you heard me right... orang Indonesia... tanpa embel2) yang mau menulis sejarah lepas dari segala propaganda para pemimpin. Ong Hok Ham adalah salah satunya.

Selamat jalan, Bapak...
Walau kita tak pernah bertemu..





(di bawah ini kutipan dari milis BT, di-post oleh Kidyoti)

Sumber: www.myrmnews.com

Sejarawan Ong Hok Ham Tutup Usia
Jumat, 31 Agustus 2007, 07:56:18 WIB

Jakarta, myRMnews. Ong Hok Ham, sejarawan terkemuka Indonesia, meninggal dunia kemarin petang. Pak Ong -panggilan akrab Ong Hok Ham- tutup usia pada umur 74 tahun setelah berjuang melawan penyakit stroke yang dideritanya sejak 2001.

Bambang, keponakan mendiang, menuturkan bahwa Pak Ong meninggal pada pukul 18.00 di kediamannya, kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur. Oleh keluarga, jasad doktor sejarah lulusan Yale University, Amerika Serikat, itu dibawa ke RS Mitra Keluarga untuk divisum. Sampai berita ini diturunkan pada pukul 24.00, jasad Pak Ong masih disemayamkan di ruang jenazah RS Dharmais. Direncanakan, jenazah mendiang akan dibawa ke rumah persemayaman Dharmais No E dan F, Jalan S. Parman, Slipi, sekitar pukul 11.00.

Saat wartawan koran ini mendatangi rumah Pak Ong di kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur, tadi malam, keadaan sepi. Hanya ada beberapa tetangga dan keluarga dekatnya.

Penyakit stroke memang memaksa Pak Ong beraktivitas di atas kursi roda sebelum meninggal. Saat wartawan koran ini, Ridlwan Habib, berkunjung ke rumahnya akhir tahun lalu, Ong Hok Ham tak terlihat patah semangat. Meskipun tubuhnya terlihat kurus, ilmuwan kelahiran Surabaya itu masih aktif menulis dan menjadi jujukan para peneliti dan sejarawan muda. "Saya masih menulis, baca buku, baca koran, dan melayani wawancara," kata Pak Ong saat ditanya tentang aktifitasnya saat itu.

Dosen ilmu sejarah Universitas Indonesia yang pensiun pada 1989 itu masih aktif melayani peneliti dan mahasiswa yang berkunjung ke rumahnya. Setiap hari ada saja bekas mahasiswa mulai angkatan 1978 hingga 1990 yang menjenguk.

Selain itu, penulis buku Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa itu juga masih antusias mengikuti perkembangan berita aktual di masyarakat. Salah satu yang menjadi perhatiannya adalah Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru saja disahkan tahun lalu. "Itu bukan sebuah terobosan baru, seharusnya sejak dulu. Prinsipnya ius soli, berdasar tempat lahir. Bukan darah, bukan keturunan," katanya. Pak Ong memang paham benar soal diskriminasi. Panjang jalan sudah dilalui anak pertama Ny Tan Siang Tjia itu sebelum akhirnya tumbuh menjadi sejarawan dengan spesialisasi sejarah Jawa sekitar abad ke-19.

Menyelesaikan pendidikan di HBS Surabaya, Ong melanjutkan ke SMA di Bandung. Singgah sebentar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Ong muda pindah ke Fakultas Sastra, masuk Jurusan Sejarah dan selesai pada 1968. Gelar doktor diraihnya pada 1975 dengan disertasi berjudul The Residency of Madiun; Priyayi and Peasant in the Nineteenth Century.

Sifat ulet dan bersemangat Pak Ong diakui murid dan koleganya. Salah satunya adalah Andi Achdian. Kandidat doktor di Universitas Nottingham itu mengaku salut dengan komitmen mendiang gurunya dalam menjelaskan sejarah. "Bapak selalu memulai dengan bertanya apa amarahmu terhadap masalah ini," katanya. Ong, kata Andi, juga kurang suka unggah-ungguh yang formal dan birokratis. "Kami tidak pernah dianggap murid, tapi teman," tambahnya.

Menurut Andi, yang paling unik adalah keahlian Ong mengenal karakter orang. "Bapak bisa mengenal watak orang dengan hanya melihat matanya. Tiba-tiba, dia sudah bilang orang ini pemberani atau pengecut, orang ini jujur atau tidak. Ini bagi saya luar biasa," katanya.

Untuk mengenang ketokohan Ong Hok Ham, Andi dan beberapa kawannya berencana mendirikan Ong Hok Ham Institute. Lembaga ini diharapkan menjadi learning centre (pusat pembelajaran) yang terbuka bagi siapa saja. jpnn

1 comments:

jpmrblood said...

Another Indonesian diamond and yet we not know? :(