Rumah Ibadat dan Hak Beribadah
Kita perlu membedakan antara izin rumah ibadah dengan hak beribadah. Hak beribadah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29. Berbeda dengan kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat yang menurut pasal 28 diatur oleh undang-undang, hak beribadah tidak dibatasi oleh undang-undang. Benar, tidak boleh ada undang-undang apalagi peraturan di bawahnya yang dengan sengaja diniatkan untuk membatasi aktivitas beribadah.
Kita ambil contoh konkret, sebuah perusahaan yang berdomisili di kota atau kabupaten mayoritas kristiani kebetulan memiliki sejumlah pegawai yang beragama Islam. Tentunya jika perusahaan memiliki inisiatif menyediakan ruang untuk shalat bagi pegawai tersebut, masyarakat sekitar tak punya hak untuk menggrebek perusahaan tersebut.
Atau kita ambil contoh lain, salah satu pegawai Muslim berinisiatif menjadikan rumahnya menjadi tempat pengajian setiap malam Minggu sekaligus sebagai sarana silaturrahim. Tentunya masyarakat sekitar yang beragama Kristen tak punya hak untuk menggrebek rumah tersebut dengan dalih kegiatan ibadah itu tak punya izin.
Memang kegiatan pengajian tersebut dapat menimbulkan kebisingan dan kemacetan jalan tetapi jika pun si pemilik tersebut ditegur, maka isunya adalah kebisingan dan kemacetan bukan larangan beribadah. Dan hal-hal seperti ini sebenarnya bisa dikelola dengan kepala dingin.
Rumah ibadah adalah hal yang berbeda dan memang perlu diatur. Rumah ibadah adalah simbol keberadaan, bukan sekedar tempat beribadah lagi. Jika tidak diatur dapat menimbulkan kecemburuan atau bahkan syak wasangka. Jadi kapan sebuah tempat menjadi rumah ibadah? Untuk sementara saya pakai definisi dari Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006: RUMAH IBADAT adalah bangunan yang MEMILIKI CIRI-CIRI yang KHUSUS DIPERGUNAKAN untuk BERIBADAT bagi para pemeluk masing-masing agama secara PERMANEN, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.
Memang definisi di atas tidak sempurna tetapi untuk sementara bisa kita pinjam dahulu. Memang ada celah untuk bikin suasananya abu-abu tetapi pembahasannya akan membawa kita keluar dari tujuan opini ini -- tapi saya tak keberatan kalau ada yang komentar.
Jadi kalau ada kegiatan liburan religius, apapun namanya (mabit, daurah, retret) dilakukan di sebuah villa milik pribadi, maka kegiatan itu tidak boleh dilarang. Kalaupun ada masalah terkait kebisingan, maka yang dapat ditegur atau digugat adalah hal-hal terkait kebisingan itu bukan karena kegiatan itu bersifat ibadat agama yang tidak dipeluk masyarakat sekitar.
Berbeda halnya jika di dinding luar villa itu dipasang simbol-simbol agama yang terlihat jelas dari luar dan kemudian ada papan nama dan kepemilikan villa itu berada di tangan ormas agama, maka villa itu sudah bukan lagi villa tetapi rumah ibadat. Bahkan dalam situasi itupun, tidak seharusnya ditanggapi dengan perusakan.