Monday, September 14, 2015

Tiga Pertanyaan Terkait Uber dan Jawaban Pengguna (atau saya anggap Pengguna yang Pro)

Saya sebenarnya masih belum paham mengenai pola bisnis dan regulasi Uber. Jadi di salah satu status kawan, saya bertanya tiga pertanyaan.

Setahu kami, saat ini kan Uber menolak dikategorikan taksi dan Mas Rene sendiri sudah mengonfirmasi bahwa Uber adalah perkembangan lanjut dari sharing semacam Nebeng. (yang terpikir oleh saya malah Nebengers di Twitter lho, bukan situs Nebeng.com). 
Setahu kami juga, dan silakan koreksi,para sopir di Uber tidak dikategorikan sebagai pegawai melainkan sebagai penyedia jasa lepas (freelance atawa independent contractor) kecuali di negara bagian California. 
Pertanyaan pertama saya:1. ketika seseorang sudah memiliki penghasilan dan di atas PTKP (Penghasilan Pajak Tidak Kena Pajak) maka seharusnya ada yang membayar PPh, entah itu perusahaan memotong dari gaji karyawan atau si pegawai lepas yang melaporkan penghasilannya. Terkadang, jasa profesional lepas juga mencantumkan PPh ini dalam fakturnya. 
Dalam kasus sharing economy Uber, siapakah yang bertanggung jawab untuk PPh ini? Apakah Uber ataukah para sopir? 
2. Dalam ide sharing semacam Nebeng, para sopir punya kepentingan sendiri untuk melalui jalur tersebut. Apakah sopir-sopir Uber ini juga punya dipastikan punya kepentingan sendiri melalui jalur tersebut atau justru ada penyalahgunaan si sopir memang hanya mengantar penumpang dari tempat penumpang ke tempat tujuan? Bila yang terakhir, maka jelas, sudah bisa disebut sebagai usaha taksi. Tidak ada "sharing" di sini. Ini murni jasa pengantaran. 
3. Dalam penentuan rate tarif Uber, anda menyebut soal "geopositioning", "supply & demand". Apakah konsumen diikutkan dalam menentukan tarif? Apakah semua sopir-sopir Uber bersama-sama, secara transparan, kompak menentukan tarif (entah berbasis posisi, jarak, dan sebagainya)? Atau secara tidak transparan ditentukan oleh perusahaan Uber sendiri? Bila yang terakhir jawabannya, maka tidak ada "supply & demand" di sini.



Dan ada kawan yang nimbrung menjawab
@nar, nimbrung ya, 1. Imo, dalam operasional kendaraan yg bertanggung jawab atas PPh adalah mitra Uber (pemilik unit mobil) dan atau driver (pengemudi unit mobil), sebagian besar keduanya orang yg sama. Karena Uber sendiri memposisikan diri sebagai penyedia aplikasi.  
2. Kebanyakan mitra Uber bertindak dan atau berbentuk sebagai perusahaan penyewaan mobil plat hitam, yg sebelumnya juga sudah marak, yg terbantu oleh adanya aplikasi ini sehingga unit kendaraan mereka tidak mangkrak tak menghasilkan. Saya sendiri kurang tahu, apakah jasa penyewaan kendaraan ini, baik perorangan atau badan hukum, sebelumnya sudah diatur dalam UU atau Perda.  
3. Yang saya tangkap, perusahaan Uber secara transparan menentukan tarifnya, yg perkiraannya bisa dilihat ketika calon pengguna memesan kendaraan lewat aplikasi Uber. Sehingga tidak ada pemaksaan tarif, sebagaimana terjadi pada taksi konvensional.
Ada yang nimbrung komentar tetapi menurut saya tidak menjawab pertanyaan saya
Ada kok breakdown biayanya di confirmation pembayaran...
Sementara yang saya tanya menjawab.

 Narpati Wisjnu Ari Pradana 
waduhh...pembicaraannya jadi meluas sekali ya...tapi begini...Uber memang tidak terdaftar sebagai perusahaan taksi...jadi beda ya terdaftar sebagai dengan menolak dikategorikan...karena yg lebih penting sebenarnya dalam ekonomi dan jasa tradisional Uber dikategorika sebagai perusahaan ICT bukan perusahaan taksi...supaya menjadi jelas perbedaannya...

tentang nebenger...yang di twitter itu adalah jenis "ridesharing" apakah itu di twitter atau nebeng.com...silakan saja...tapi kenyataannya ada upaya "ridesharing" yang dikebangkan berbasis apps

tentang pegawai....memang rumusannya menjadi tidak jelas...apakah penyedia jasa lepas/freelance/independent contractor...itu juga persoalan lain...yang pasti mereka bukan pegawai karena memang mereka yang menyediakan jasa Uber bekerja sambilan bukan sebagai pekerjaan tetap utk menambah uang saku istilah kerennya

sekarang mengenai pertanyaan:

1. pertanyaan ttg PTKP dan PPh itu kan cara pemikiran ekonomi tradisional...Uber sebagai perusahaan ICT ya dia punya skema pajak sendiri sesuai dengan jenis perusahaan yang didaftarnya dan harus melaporkan mekanisme penerimaan dan pengeluaran pendapata seperti perusahaan biasa....

tentang pegawainya....ini yg menjadi rancu karena keterlibatan para supir Uber kan kira2 sama dengan keterlibat kita semua di Facebook, WA atau Twitter...karena saya sebagai pengguna apps Uber kan memang tidak dikenakan pajak apa pun, walaupun dalam cara saya menggunakan apps ada konsekuensi ekonomi yg ditimbulkan, misalnya jual beli barang, jual informasi, dan sejenisnya...jadi Uber memang tidak bisa serta merta dituduh bertanggung jawab atas PPh "ridesharing" ini...demikian juga dengan si pengguna Uber...karena penggunaannya memang bergerak mengikuti ciri2 sosmed pada umumnya

jadi pertanyaan ini menjadi tidak relevan karena secara hukum Uber bukan perusahaan transportasi...kalau memang ada konsekuensi ekonomi dan bisnis dari usaha yang dia lakukan kan tetap mekanisme pajaknya ya sebagai perusahaan ICT

karena ini tidak diatur oleh pemerintah c/q negara, makanya perlu penjelasan secara hukum...dan satu-satunya cara adalah membawa Uber ke pengadilan...karena sifat distorsi Uber harus dibuktikan oleh pengadilan sebagai menyebab terjadinya kekacauan dalam sistem transportasi nasional...bukan kaya sekarang bikin tim bersama antara Dishub dan pulisi...kaya preman aja donk jadinya

2. pertanyaan ini juga saya nggak ngerti maksudnya....kan saya jelaskan kalau Uber bukan perusahaan transportasi atau perusahaan taksi, dia adalah perusahaan ICT yang menyediakan apps untuk berbagai pengguna, apakah itu supir atau penumpang ditambah dengan skema utk mengelola tata jasa "ridesharing." jadi yg harus dirumuskan dengan seksama oleh semua kita adalah "ridesharing" ini supaya tidak terjadi kerancuan dalam cara kita melihat persoalan Uber

3. pertanyaan ini kan juga menjadi rancu...di dalam "ridesharing" tidak ada konsumen atau produsen, tapi mereka sama sama menggunakan apps...Uber hanya menjadi perantara yang memberikan indikasi kalau harga dari titik A ke titik B adalah sekian rupiah....suply & demand bukan menyangkut persoalan harga, tapi menyangkut ada permintaan untuk bergerak dari titik A ke titik B dan adan penyedia yg bersedia untuk bergerak dari titik A ke titik B...dan semua permintaan dan pasokan ini disediakan dalam apps yang namanya Uber itu...

jadi kita tidak bisa menilai Uber dalam prisma ekonomi tradisional, karena dalam kasus Uber keseluruhan skema nya mengikuti permintaan dan penyediaan "ridesharing" yang sampai sekarang tidak ada penentuan mekanisme ekonomi yg disepakati...kenapa?...karena apps sejenis Uber dan sosmed lainnya menikuti asas believe or not believe...jadi tidak bisa diukur transparan atau tidak transparan...

dalam pendapat saya...skema Uber menghilangkan satu mata rantai,,,yaitu regulator yang dalam dunia apps menjadi komponen yang tidak penting ketika harus menentukan trayek, biaya trayek, biaya jasa jalanan, biaya ijin, dan biaya-biaya lainnya....pengembangan apps menyebabkan terjadinya efisiensi karena berbagai hambatan tarif dan non-tarif hilang sekejap dan mereka yang dirugikan banyak sekali...

oleh karena itu, pemerintah "harus" membuat rumusan2 yang jelas menghadapi tekanan2 apss yang akan menjadi semakin banyak seperti Uber ini...

tentang nebenger...yang di twitter itu adalah jenis "ridesharing" apakah itu di twitter atau nebeng.com...silakan saja...tapi kenyataannya ada upaya "ridesharing" yang dikebangkan berbasis apps 
tentang pegawai....memang rumusannya menjadi tidak jelas...apakah penyedia jasa lepas/freelance/independent contractor...itu juga persoalan lain...yang pasti mereka bukan pegawai karena memang mereka yang menyediakan jasa Uber bekerja sambilan bukan sebagai pekerjaan tetap utk menambah uang saku istilah kerennya 
sekarang mengenai pertanyaan:
1. pertanyaan ttg PTKP dan PPh itu kan cara pemikiran ekonomi tradisional...Uber sebagai perusahaan ICT ya dia punya skema pajak sendiri sesuai dengan jenis perusahaan yang didaftarnya dan harus melaporkan mekanisme penerimaan dan pengeluaran pendapata seperti perusahaan biasa....
tentang pegawainya....ini yg menjadi rancu karena keterlibatan para supir Uber kan kira2 sama dengan keterlibat kita semua di Facebook, WA atau Twitter...karena saya sebagai pengguna apps Uber kan memang tidak dikenakan pajak apa pun, walaupun dalam cara saya menggunakan apps ada konsekuensi ekonomi yg ditimbulkan, misalnya jual beli barang, jual informasi, dan sejenisnya...jadi Uber memang tidak bisa serta merta dituduh bertanggung jawab atas PPh "ridesharing" ini...demikian juga dengan si pengguna Uber...karena penggunaannya memang bergerak mengikuti ciri2 sosmed pada umumnya 
jadi pertanyaan ini menjadi tidak relevan karena secara hukum Uber bukan perusahaan transportasi...kalau memang ada konsekuensi ekonomi dan bisnis dari usaha yang dia lakukan kan tetap mekanisme pajaknya ya sebagai perusahaan ICT 
karena ini tidak diatur oleh pemerintah c/q negara, makanya perlu penjelasan secara hukum...dan satu-satunya cara adalah membawa Uber ke pengadilan...karena sifat distorsi Uber harus dibuktikan oleh pengadilan sebagai menyebab terjadinya kekacauan dalam sistem transportasi nasional...bukan kaya sekarang bikin tim bersama antara Dishub dan pulisi...kaya preman aja donk jadinya 
2. pertanyaan ini juga saya nggak ngerti maksudnya....kan saya jelaskan kalau Uber bukan perusahaan transportasi atau perusahaan taksi, dia adalah perusahaan ICT yang menyediakan apps untuk berbagai pengguna, apakah itu supir atau penumpang ditambah dengan skema utk mengelola tata jasa "ridesharing." jadi yg harus dirumuskan dengan seksama oleh semua kita adalah "ridesharing" ini supaya tidak terjadi kerancuan dalam cara kita melihat persoalan Uber 
3. pertanyaan ini kan juga menjadi rancu...di dalam "ridesharing" tidak ada konsumen atau produsen, tapi mereka sama sama menggunakan apps...Uber hanya menjadi perantara yang memberikan indikasi kalau harga dari titik A ke titik B adalah sekian rupiah....suply & demand bukan menyangkut persoalan harga, tapi menyangkut ada permintaan untuk bergerak dari titik A ke titik B dan adan penyedia yg bersedia untuk bergerak dari titik A ke titik B...dan semua permintaan dan pasokan ini disediakan dalam apps yang namanya Uber itu... 
jadi kita tidak bisa menilai Uber dalam prisma ekonomi tradisional, karena dalam kasus Uber keseluruhan skema nya mengikuti permintaan dan penyediaan "ridesharing" yang sampai sekarang tidak ada penentuan mekanisme ekonomi yg disepakati...kenapa?...karena apps sejenis Uber dan sosmed lainnya menikuti asas believe or not believe...jadi tidak bisa diukur transparan atau tidak transparan...
dalam pendapat saya...skema Uber menghilangkan satu mata rantai,,,yaitu regulator yang dalam dunia apps menjadi komponen yang tidak penting ketika harus menentukan trayek, biaya trayek, biaya jasa jalanan, biaya ijin, dan biaya-biaya lainnya....pengembangan apps menyebabkan terjadinya efisiensi karena berbagai hambatan tarif dan non-tarif hilang sekejap dan mereka yang dirugikan banyak sekali...
oleh karena itu, pemerintah "harus" membuat rumusan2 yang jelas menghadapi tekanan2 apss yang akan menjadi semakin banyak seperti Uber ini...

Untuk sementara, saya catat dahulu jawaban mereka.

3 comments:

Ramot said...

Nar, gue titip tambahan satu pertanyaan dong:

Apakah perusahaan2 apps seperti Uber dan Gojek masih bisa dibilang tidak bisa dikategorikan dalam usaha transportasi kalau mereka yang memberikan tarif promo, mengatur banyak hal termasuk seragam yang dipakai?

Kalau misalnya abang2 Uber nya yang ngasih promo ya gue masih ngerti sih. Tapi ini kan perusahaan Uber nya yang ngasih promo, abang2 nya gak pernah ngasih promo. Artinya kan mereka bukan hanya sedang memfasilitasi abang2 ojek nya dari sisi apps, tapi juga dari sisi keuangan (sejenis investor?).

That or I might be wrong there.

Ramot said...

Err kecampur uber dan gojek, but you know what I mean lah, diedit aja supaya sinkron :))

Ramot said...

Sebagai tambahan info, saya sudah wawancara langsung para pengemudi Uber saat naik. Mereka mengaku bahwa tarif yang diperlakukan sebenarnya terlalu murah dan tidak mencukupi penghasilan, yang membuat mereka mau adalah Uber sebenarnya yang membayar mereka juga. Jadi sebelas dua belas dengan Gojek bahwa tarifnya banyak tarif promo yang bukan ditetapkan oleh si pengemudi.