Kerancuan Pemahaman Ustadz-Ustadz Hizbut Tahrir tentang Ijab Qabul
Pernah membaca Rancangan Undang-Undang Dasar Daulah Khilafah versi Hizbut Tahrir? Salah satu pasalnya (pasal 132 di versi yang kudapat, mungkin agak bergeser sedikit di versi lain ) berbunyi
Penggunaan hak milik, terikat dengan izin dari Allah -selaku pembuat hukum-, baik pengeluaran maupun untuk pengembangan pemilikan. Dilarang berfoya-foya, menghambur-hamburkan harta dan kikir. Tidak boleh mendirikan perseroan berdasarkan sistem kapitalis, atau koperasi dan semua bentuk transaksi yang bertentangan dengan syara’. Dilarang mengambil riba, memanipulasi harta secara berlebihan, penimbuan, perjudian dan sebagainya.
Lho, kenapa tidak boleh mendirikan perseroan berdasarkan sistem kapitalis? Kenapa tidak boleh mendirikan koperasi? Salah satu penyebabnya adalah mereka menganggap baik perseroan maupun koperasi tidak memenuhi ijab qabul.
"Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdi (2004) menegaskan bahwa perseroan terbatas (PT, syirkah musâhamah) adalah bentuk syirkah yang batil (tidak sah), karena bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam. Kebatilannya antara lain karena dalam PT tidak terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam akad syirkah. Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan cara membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa ada perundingan atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun pesero (investor) lainnya. Tidak adanya ijab-kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan pasangan laki-laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar‘i. " -- KH M. Shiddiq al-Jawi
sumber pernyataan: https://tsaqofah.id/jual-beli-saham-dalam-pandangan-islam/
"dalam pembentukan koperasi yang ada adalah negosiasi atas syarat-syarat (AD). Lalu siapa yang setuju secara sukarela boleh membubuhkan persetujuannya dan dengan itu ia menjadi anggota dan pendiri. Saat semua pendiri sudah membubuhkan persetujuannya, berdirilah koperasi itu. Jadi, semuanya hanya menyatakan persetujuan atau qabul, tidak ada yang menyatakan ijab. Keikutsertaan tiap orang itu semata didasarkan pada kehendak sepihak dari masing-masing. Anggota lainnya tidak ditanya apakah menyetujuinya atau tidak. Kalaupun sebagian tidak setuju seseorang menjadi anggota, maka hal itu tidak berpengaruh dan orang itu tetap menjadi anggota selama ia secara sukarela membubuhkan persetujuannya atas AD itu. Jadi, di situ tidak ada ijab-qabul, sebab yang ada hanya qabul saja. Padahal salah satu rukun akad yang syar’i itu harus ada ijab-qabul. Itu artinya harus ada kehendak bersama (irâdah musytarakah), bukan kehendak sepihak (irâdah munfaridah). Dengan begitu maka akad koperasi itu dalam pandangan Islam adalah batil." -- Yahya Abdurrahman
sumber pernyataan: http://hizbut-tahrir.or.id/2011/11/29/koperasi/ (sudah tidak aktif, bisa dilihat pakai archive )
Logika mereka menyangkal keberadaan ijab-qabul dalam proses jual beli saham ini menggelikan. Kalau keberadaan perantara membuat si penjual dan pembeli tak bertemu lalu dianggap tidak ada ijab qabul, maka bagaimana dengan vending machine ? Pemilik produk-produk makanan dan minuman yang memasok isi vending machine tersebut jelas tidak bertemu dengan pembeli. Pada hakekatnya, ketika si pemilik perusahaan awal melepas saham perdananya kepada masyarakat umum (Initial Public Offering [IPO]) maka pada saat itulah terjadi ijab dan saat masyarakat membeli maka di saat itulah terjadi qabul. Selanjutnya, ijab qabul adalah antara pemilik saham lama yang mau melepas dengan calon pemilik baru, dengan proses negosiasinya adalah si pemilik saham lama melepas saham di harga tertentu dan calon pemilik baru sepakat membeli di harga tersebut.
Tentu saja, perseroan masih bisa dikritik, misalnya bahwa si pemilik sudah tak perlu mengorbankan apa-apalagi, cuma ongkang-angking, lalu kemudian mendapatkan hasil dari pembagian dividen. Karena itulah sebagai alternatif bentuk usaha yakni koperasi tetapi alas! Hizbut Tahrir juga menolak bentuk koperasi.
Tentu saja dalil si ustadz menolak koperasi tidak kalah konyolnya . Sebuah musyawarah penentuan AD/ART pada hakekatnya adalah proses ijab dan penerimaannya adalah qabul dan dalam qabul mereka sudah setuju bahwa kalau ada anggota baru, mereka akan setuju selama si anggota menerima AD/ART. Ketika ada anggota baru mau bergabung dan diserahkan AD/ART, pada hakekatnya adalah ijab, dan saat dia tetap bergabung, maka itu qabul.
Aya-aya wae!
0 comments:
Post a Comment