Wednesday, October 08, 2008

Pelajaran Dari Debat Presiden dan Calon Presiden Amerika

Lihatlah Catatan Kami



"Looks on our records!"
"You can see our records!"
"He voted tax raise many times"
"I didn't see his name on the proposal"
"He did nothing on those years!"

Berulang-ulang kata-kata tersebut atau kalimat dengan maksud sama diucapkan oleh para kandidat (Obama dan McCain) baik kepada para penonton yang langsung hadir di tempat maupun kepada para warga Amerika yang menyaksikannya melalui televisi.


Saya jadi penasaran,
selama kita mendengar berbagai macam RUU diusulkan di rapat-rapat DPR tetapi kita tidak pernah tahu siapa sajakah yang mengusulkan. Selama ini kita juga sering mendengar beberapa aturan disahkan atau ditolak melalui voting tetapi kita tidak pernah tahu persis siapa saja kah yang menyetujui dan siapa sajakah yang menolak.

Tentu saja, yang dimaksud catatan bukan sekedar merupakan catatan kinerja sebagai anggota DPR melainkan juga catatan opini, pendapat, dan segala perilakunya yang berkaitan dengan kebijakan publik.

Setahu saya, sejauh ini catatan-catatan tersebut tidak pernah terbuka untuk umum. Baru tersingkap setelah terjadi skandal. Misalnya, tahun lalu terjadi skandal Yahya Zaini dan di sebuah forum online terungkap bahwa Yahya Zaini bukan sekedar anggota DPR melainkan juga salah satu yang mengajukan RUU APP.

Sementara pemilih hanya menebak-nebak keterlibatan seseorang melalui kasus-kasus tertentu. Misalnya seorang blogger yang dikenal Kang Kombor, menebak Rizal Ramli (Update: Maaf.. seharusnya Rizal Mallarangeng, bukan Rizal Ramli) bertanggung jawab atas Blok Cepu.


Kita kekurangan catatan sehingga bisa dipastikan tidak akan pernah pencerdasan pemilihan presiden, apalagi pemilihan legislatif. Lebih buruk lagi, budaya unggah-ungguh menyebabkan moderator dan penonton tidak pernah bisa mengajukan pertanyaan sensitif dan lawan bicara tidak bisa melakukan kampanye hitam.

Kampanye hitam tidak buruk bila memang ada buktinya dan bila tidak dilakukan secara provokatif. Dalam pertarungan Obama dan McCain, kedua kubu resmi saling menyerang masing-masing berdasarkan catatan tentang lawan mereka. Tentu saja ada isu-isu lebih provokatif seperti isu "Obama seorang Muslim" tetapi isu-isu tersebut tidak dilakukan oleh kampanye resmi.

Kampanye menyerang lawan misalnya iklan di TV tentang rencana-rencana Obama akan berakibat naiknya pajak. Tentu saja diimbuhi kata-kata seperti "pesan ini disetujui oleh John Mc Cain" untuk menyatakan resmi. Atau iklan yang menyatakan McCain sama saja dengan pendahulunya ("more of the same" dan "a lot less of different") di TV oleh pihak Obama dan bahkan diperkeras oleh pernyataan langsung Obama di salah satu kampanye langsung, "membubuhkan lipstik ke b.a.b.i".

Dan serangan-serangan tersebut tidak berhenti di iklan-iklan TV atau kampanye-kampanye individual. Serangan tersebut juga berlangsung hingga debat. Tetapi di sinilah perbedaan debat resmi di Amerika dengan debat-debat yang diselenggarakan oleh inisiatif LSM atau mahasiswa di Indonesia. Debat resmi di Amerika memiliki peraturan-peraturan sehingga rakyat akan fokus pada isi perdebatan.

Contoh-contoh peraturannya adalah:
1. pendukung tidak boleh bersuara, berteriak, bahkan sekedar bertepuk tangan memberi dukungan.

2. moderator adalah raja dan dia yang menentukan siapa yang berhak berbicara. Ada moderator yang lebih suka sedikit berbicara dan membiarkan kandidat beradu sendiri. Tetapi ada moderator (seperti perdebatan kedua Obama-McCain) yang memberi giliran pada masing-masing dan kandidat tidak boleh bersuara.




PASCA PERDEBATAN
Yang menarik dari perdebatan antara kandidat presiden dan wakil presiden di Amerika adalah apa yang terjadi sesudahnya. Yang perlu diingat adalah, debat antara kandidat bukanlah lomba debat menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kemenangan adalah saat kandidat yang terpilih di pemilihan berhasil menjalankan tugasnya.

Kembali ke perdebatan, tidak semua bukti-bukti dan pernyataan yang dikeluarkan oleh para kandidat adalah akurat. Tidak semua orang yang melihat perdebatan juga mengerti apa yang diutarakan para kandidat. Karena itu, biasanya, pada hari berikutnya, koran-koran, blog-blog, radio, televisi membantu warga memahami perdebatan para kandidat setidaknya dengan dua cara.

Pertama, dengan membahas pandangan mereka tentang perdebatan tersebut. Misalnya, Palin disindir keras saat tampak tak perduli saat Biden menceritakan tragedi masa lalunya. Kadang-kadang, pembahasan ini tampak seperti acara ngobrol santai pagi-pagi bagaikan gosip. Tetapi yang kusuka adalah pembahasan di TV dalam bentuk komedi seperti yang dilakukan oleh stasiun TV Comedy Central. Tentu saja, ada yang membahas dalam bentuk serius dan bentuk tersebut tentu saja yang paling banyak ditemukan.

Kedua, dan ini yang paling sering dilakukan sehari-dua hari setelah perdebatan adalah, para editor dan jurnalis memeriksa semua pernyataan dilontarkan oleh para kandidat dan memeriksa fakta sejauh mana para kandidat berkata jujur. Metode ini disebut sebagai Fact Check. Isinya tidak membahas tentang kapasitas kandidat melainkan sekedar melihat sejauh mana kebenaran pernyataan yang dilontarkan oleh para kandidat. Metode ini juga tidak sekedar diterapkan pada perdebatan tetapi juga pada kampanye para kandidat sehari-hari.



Yang Harus Dilakukan di Indonesia
Sudah saatnya media massa tidak hanya sekedar melaporkan apa yang dilihat saat kampanye nanti. Perlu adanya usaha untuk membandingkan apa yang diucapkan oleh para kandidat dan apa yang telah dilakukan kandidat. Misalnya, seandainya ada yang berjanji memberi kesejahteraan petani, maka perlu ada yang melacak sejauh mana si kandidat pernah melakukan sesuatu untuk kesejahteraan petani. Bahkan seandainya si kandidat tidak pernah melakukan apa-apa padahal ia bisa melakukannya, hal tersebut perlu dikritik.

Dan tentu saja,
seharusnya kampanye hitam diperbolehkan! Bahkan kalau perlu, pada acara debat yang disiarkan oleh televisi se-nasional, kampanye hitam diizinkan agar para kandidat tidak segan-segan untuk menyerang. Tentu saja, dibutuhkan kemampuan moderator agar isi perdebatan tidak berlarut-larut pada topik yang sama karena banyaknya bidang yang harus diperhatikan oleh para calon pemimpin.

Dan para pelawak (dan penulis skenario untuk parodi) juga harus memperhatikan politik. Saat ini, di Amerika Serikat, yang terkenal adalah Tina Fey yang memparodikan Sarah Palin. Walaupun kata-kata Palin diplesetkan tetapi dengan bentuk humor dan membesar-besarkan beberapa ciri khasnya, tetapi dengan cara demikian kita dapat gambaran seperti apa karakter para kandidat. Tentu saja, di sini tidak semua berhasil tetapi Tina Fey menjadi terkenal karena leluconnya benar-benar berhasil menyindir perilaku Palin.

Bayangkan saja Republik Mimpi tetapi para aktornya tidak perlu malu-malu. Gus Pur (plesetan Gus Dur) dari Republik Mimpi selama ini masih punya rasa hormat pada karakter aslinya sehingga tidak berani menampilkan sisi negatif Gus Dur seperti pikun, salah sebut, tidak konsisten.


Dan sejujurnya,
selama ini, alih-alih menonton perdebatan atau kampanye calon presiden Amerika langsung, saya lebih suka melihat analisis, lelucon, dan fact check setelah wawancara atau perdebatan para kandidat berlangsung.

0 comments: