Wednesday, May 27, 2009

Sekilas Ngalor-Ngidul Bersama "Boediono" (yup.. Cawapres)

Tulisan ini aslinya di forum Ajangkita
http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?t=26098&start=21
Kuformat ulang untuk blog.

==================================================================

Aku baru bertemu dengan Boediono di Wetiga (Warung Wedang Wifi) di Langsat. Saya jadi memahami maksud tulisan Faisal Basri yang sempat tersebar di milis-milis dan forum-forum.


Kesan saya terhadap beliau kurang lebih bisa digambarkan sebagai berikut: Saya dan ibu saya punya banyak perbedaan pandangan tetapi bukan berarti ibu saya adalah musuh saya. Dan perasaan yang sama juga saya rasakan saat melihat, bertanya dan mendengar jawaban-jawaban dari Pak Boediono.

Jujur,
saya jadi ingat Presiden Habibie yang kasarnya, gak jadi Presiden pun tak apa-apa karena Pak Habibie sendiri bukan seorang politikus. Begitu juga dengan Pak Boediono, sangat terlihat, bila kalian langsung bertatapan, mendengar dari awal, bukan sekedar klip-klip video atau tulisan wartawan, bahwa beliau bukan seorang politikus.

Seorang blogger sampai menimpali moderator, "bagaimana saya bisa menagih janji dia (Pak Boed), ia memberi janji juga tidak".

Benar, begitu takutnya ia memberi janji sampai berkali-kali meminta maaf tidak bisa memberikan jawaban pada kami, bahkan termasuk pertanyaan saya mengenai kebijakan pemerintah yang akan datang terhadap perfilman Indonesia.


Pak Boediono juga sepanjang acara, adalah seorang yang konsisten. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak berkaitan langsung dan ditanyakan dalam selang waktu yang panjang (diselingi pertanyaan-pertanyaan lain), ternyata dijawab dengan sikap yang konsisten.

Saya bahkan baru menyadari bahwa pertanyaan saya berhubungan dengan pertanyaan seorang penuduh Pak Boed adalah Neo-lib setelah saya mengobrol dengan Goenawan Muhammad (yup.. dari Tempo). Lucunya, ketika Pak Boed menjawab pertanyaan seorang pembenci Pak Boed, saya memihak pembenci Pak Boed. Tetapi ketika Pak Boed menjawab pertanyaan saya, saya memihak Pak Boed. Padahal ternyata jawaban beliau didasarkan pada sikap yang sama.

Artinya, saya tidak konsisten sementara Pak Boediono konsisten.

Untuk BLBI, saya melihat, apa yang dialami Pak Boed adalah hal yang sama dengan apa yang dialami oleh ibu saya saat masih di salah satu bank dahulu. Kebijakan saat itu adalah simalakama, bila nasabah tidak dibantu maka bisa menyeret perekonomian. Memang ada nasabah-nasabah nakal dan karena itu ada BPPN yang bisa dibilang sebagai tukang tagih (debt collector).

Aku masih ingat, saat ibuku masih bekerja di perbankan, diriku selalu menyiapkan mental bila suatu hari ada salah kebijakan dan menyeret ibuku masuk penjara karena situasinya bagai di tepi jurang. Berapa kali ibu saya harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari DPR dan kejaksaan bahkan kadang-kadang, mereka yang bertanya itu tidak disertai niat yang tulus.

Mengenai keterlibatannya pada kasus BLBI, Pak Boed sendiri, menyatakan:
1. itu kebijakan resmi dan itu juga dengan persetujuan DPR. Dan itu bukan keputusan satu orang melainkan menggunakan rapat-rapat kabinet.

Bahasa sederhananya (ini kata-kataku, bukan kata-kata Pak Boed), kalau ada yang teriak padahal dia termasuk anggota DPR saat itu atau anggota kabinet (atau bahkan yang jadi presidennya) maka sama saja maling teriak maling. Menyalahkan Pak Boed seorang adalah tidak adil.



2. Pak Boed sendiri lebih menyukai menyerahkan semua persoalannya pada hukum walau Pak Boed mengakui bahwa ia percaya kebijakan BLBI saat itu dibutuhkan.



Soal privatisasi,
jujur saja,
berapa banyak di antara kalian berharap supaya persaingan dibuka supaya BUMN berkompetisi? Karena kalian tidak terlalu jauh berbeda posisinya.

Sebenarnya saya mau menanyakan hal tersebut tetapi karena semua sudah menanyakan bidang ekonomi dan politik, akhirnya saya malah lebih memilih bidang film.

Tetapi inti jawaban Pak Boediono sama.. Intinya, ia ingin meningkatkan standar produksi Indonesia. Tidak ingin memanjakan. Sikapnya ini tercermin pada jawaban untuk tiga pertanyaan yakni

1. analogi penjual mangga dan importir mangga:
Pak Boed mementingkan konsumen mangga. Bila ada pedagang mangga dari Sumatera tidak bisa bersaing dengan importir mangga karena setiap melintasi propinsi ia ditarik biaya maka menurut Pak Boed, bukan dengan menutup impor mangga solusinya, melainkan dengan memangkas peraturan-peraturan dan pungutan-pungutan di daerah-daerah sehingga penjual mangga bisa bersaing.
(aku tidak puas dengan jawaban yang ini karena menurutku, konsumen tidak perlu dimanja soal ini)


2. privatisasi:
Pak Boed menginginkan masyarakat membedakan antara privatisasi dan divestasi. Obyek Divestasi adalah perusahaan yang sejak awal milik publik yang kemudian dibeli pemerintah untuk diselamatkan dan setelah itu dijual kembali. Obyek Privatisasi adalah perusahaan yang memang dilepas untuk:
a. mendapatkan dana bagi pemerintah
b. meningkatkan kinerja BUMN bersangkutan karena BUMN selama ini sering jadi sasaran pemerasan (ingat kasus Bapindo dan Golden Key serta surat Katebelece?)

Aku sebenarnya pengen bertanya juga tentang ini karena saya ingin tahu apakah privatisasi BUMN tidak bertentangan dengan pernyataan "dikuasai negara" dalam UUD namun akhirnya tidak kutanyakan saat mendapat kesempatan.


3. Industri Film:
Pak Boed percaya, tidak ada hitam dan putih. Pemerintah tidak bisa bersikap sok nasionalis dengan mengatakan industri perfilman harus dari lokal semuanya. Bila memang perlu ada kerjasama dengan pihak luar untuk meningkatkan mutu, mengapa tidak. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memperbanyak muatan lokalnya.
(Di sini saya sepakat dengan Pak Boed, mungkin karena saya konsumen film tetapi berarti sebenarnya menunjukkan ketidakkonsistenanku)

Sekedar catatan, Pak Boed sebelum menjawab mengatakan ia tidak terlalu menguasai masalah-masalah dan isu-isu di bidang perfilman dan jawabannya untukku bukan jawaban resmi. SBY dan Menbudpar tampaknya punya pandangan berbeda 180 derajat soal ini. Sekali lagi, Pak Boed tidak memberikan janji.



Dan waktu ditanya Enda Nasution mengenai apa yang membedakan ia dengan calon lain, Pak Boed mengatakan, ia tidak membuat kontrak apapun dengan SBY. Ia hanya mengatakan bersedia menjadi wakil (tampaknya nyindir salah satu cawapres nih). Beliau percaya bahwa beliau dan SBY akan menjadi tim yang kompak.

Salah satu beritanya bisa dibaca di:
http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/05/26/21453646/Boediono.Minta.Komunitas.Blogger.Ciptakan.Iklim.Kondusif
(aku adalah yang berbaju hitam [berjaket hitam lebih tepatnya], duduk paling depan)



Kesimpulannya,
Saya percaya Pak Boed adalah orang tulus, santun, dan jujur walaupun saya memiliki beberapa perbedaan pandangan terhadap beliau. Dan, jujur saja, saya pikir label neolib sangat tidak pas untuk beliau.

Saya pernah terkejut pada salah satu pemikiran salah satu tokoh yang pernah mencoba ikut bursa capres karena pandangan tokoh tersebut begitu liberal dan begitu kapitalis, dan pandangan seperti itu tidak saya temui pada Pak Boed.

Saya lebih percaya, kebijakan beliau lebih dikendalikan oleh situasi. Itu sebabnya, seorang blogger gemas dan meminta kejelasan kebijakan beliau ke depan namun lagi-lagi, Pak Boed yang cenderung bermain berhati-hati memilih untuk tidak memberikan janji.

Yang saya suka dari Pak Boed adalah, ketika ia tidak tahu, ia akan mengatakan 'tidak tahu'.


5 comments:

jpmrblood said...

Wah, Nar, ini namanya kampanye... heheheh...

Tapi, ya, gitu, deh. SBY paling pinter deh strateginya. Gw juga yakin SBY pasti menang. Calon yang laen juga begitu...

edel said...

tapi elu maunya sapa yang menang jep?

Yoga said...

Ari, tentu kamu tak bisa konsisten karena mengenakan kacamata yang berbeda, saat diskusi tentang mangga kamu pakai kacamata birokrat atau mungkin pedagang, sedangkan ketika bicara tentang film, kamu berbicara sebagai konsumen. Pak Boediono konsisten menggunakan kacamata konsultan (kalau bisa dibilang begitu ya), yang kadang kedengarannya tak terlalu menarik dan terkadang konservatif.

Overall aku menyukai "style" dan kepribadian beliau, masih seperti yang semalam aku sampaikan, beliu ini benar-benar sosok seorang dosen.

kunderemp said...

Ha ha ha.. bukan kampanye dong.
Kalau dapat kesempatan dengan Prabowo atau Wiranto kurasa aku juga akan menulis.

Aku sendiri kan tidak sreg dengan jawabannya Pak Boediono. Tetapi aku suka kepribadiannya.

jpmrblood said...

@edel:
ud pasti si sby. Yang laen punya masalah HAM, terutama prabowo.