Kumpulan Kutipan Akhir Riwayat Raja Terakhir Majapahit
Saya menolak mempercayai Majapahit menjadi Kerajaan Islam bahkan hingga di masa akhir di mana masyarakat Islam sudah cukup banyak di Kerajaan ini dan ada riwayat yang mengatakan Raja Majapahit terakhir beragama Islam.
Ada beberapa versi akhir riwayat Majapahit tetapi semuanya selalu sama:
1. Majapahit diserbu (entah penyerbunya Demak atau Kediri);
2. Raja Majapahit (Brawijaya V) belum beragama Islam saat penyerbuan.
Beberapa versi riwayatnya antara lain:
1. Raja Majapahit terakhir tewas dalam penyerbuan;
2. Raja Majapahit terakhir melarikan diri;
3. Raja Majapahit terakhir melarikan diri kemudian setelah dibujuk, pindah ke agama Islam;
4. Raja Majapahit terakhir memilih jalan moksha.
Tak ada satupun dari versi yang saya temukan menyebutkan semasa menjadi raja, Brawijaya V menjadi Islam walaupun ada anggota keluarganya yang sudah beragama Islam.
Berikut adalah kutipan-kutipan dari buku-buku dan artikel jurnal yang saya baca sepintas lalu, menghabiskan waktu saya selama 4 jam terakhir sia-sia. (oh iya, kutipan ini seenaknya saya potong karena terlalu panjang kalau saya kutip semuanya).
1. dalam membahas Sunan Tembayat, Arifuddin Ismail menyebutkan salah satu versi mengatakan Sunan Tembayat adalah Prabu Brawijaya V setelah runtuhnya Majapahit.
Mesti kedudukan Sunan Tembayat sebagai salah satu anggota Walisongo masih diperdebatkan tetapi statusnya sebagai seorang wali di tanah Jawa tidak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai orang yang telah berjasa menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Tengah Bagian Selatan (Purwadi dan Maharsi, 2005: 63). Atas petunjuk Sunan Kalijaga, beliau meninggalkan Semarang menuju Jabalkat yang berada di Bayat demi memenuhi perintah sang guru.
Mengenai silsilah Sunan Tembayat ada banyak versi. Ada yang mengatakan beliau adalah Brawijaya V (penguasa terakhir Majapahit yang oleh banyak literature dikatakan moksa), ada yang mengatakan beliau adalah putera Brawijaya V. Selain terkait dengan Majapahit, adapula sumber yang mengatakan bahwa beliau adalah anak dari saudagar Timur Tengah yang bernama Abdullah (dan kemudian bergelar Sunan Pandan Arang I) yang meminta ijin kepada Sultan Demak untuk berdagang dan bertempat tinggal di Semarang (Harder dan de Jong 2001: 332). Nama Sunan Tembayat itu sendiri merupakan pemberian Sunan Kalijaga karena metode berdakwah yang digunakan oleh Sunan Tembayat adalah tembayatan (musyawarah).
Versi yang mengatakan bahwa Sunan Tembayat sebenarnya adalah Prabu Brawijaya V mengatakan bahwa setelah runtuhnya Majapahit Prabu Brawijaya V meninggalkan istana dan melakukan perjalanan ke Jawa hingga tibalah ia di Semarang. Di sana ia menikah dengan seorang puteri bangsawan yang kaya raya sehingga ia mewarisi harta yang melimpah ruah ketika mertuanya meninggal (Fox, 1991:29). Sedang berdasarkan Serat Sejarah Dalem karya Ki Padmasoesatro, Sunan Tembayat adalah putera Brawijaya V yang ke-94 yang bernama Raden Jaka Supana alias Raden Tembayat.
.....
Sedang menurut serat Kandha Sunan Tembayat bukanlah putera Prabu Brawijaya V melainkan anak putera Brawijaya V, yakni Batara Katong, yang memiliki memiliki anak perempuan yang dinikahi oleh Sunan Tembayat
sumber: Ismail, Arifuddin. Ziarah ke Makam Wali: Fenomena Tradisional di Masa Modern.Jurnal Al-Qalam Vol 19, No 2. 2013. Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar,
http://www.jurnalalqalam.or.id/index.php/Alqalam/article/view/156/140
2. John Pemberton membahas Gunung Lawu sebagai salah satu tempat di mana konon Prabu Brawijaya V muksa dalam legenda.
There are two great geological foci of magical Power and Supernatural forces in south Central Java: Mt. Lawu, situated forty kilometres due east of Solo, and the south coast area of Parangtritis facing the Indian Ocean immediately south of Yogyakarta. The latter opens out into the oceanic realm of the Queen of the South (Ratu Kidul), the powerful spirit-queen who, as noted in earlier chapters, performed as spiritual consort and protectress of Central Javanese kings. The former is reckoned the site of the ascetic vanishing (muksa) of Majapahit's last king, Brawijaya V, and the realm of the spirit-king Sunan Lawu.
....
The entire area is crisscrossed with spiritual traces of political exiles, legendary ascetics, aspiring kings, and revolutionaries -- traces left, for example, by the late fifteenth-century Brawijaya V, Javano-Islamic ascetic heroes of the fifteenth and sixteenth centuries, Hamengkubuwana I and Mangkunagara I of the eighteenth century, and recent figures such as the Indonesian revolutionary General Sudirman.
sumber: Pemberton, John. On the Subject of Java. 1994. Cornell University Press
3. Dhurorudin Mashad menceritakan beberapa versi penyerbuan terhadap Majapahit. (Sayangnya banyak salah ketik di buku yang bersangkutan).
VERSI PERTAMA (I) menyebutkan Majapahit yang kala itu dipimpin oleh R. Kertabhui [sic] (Brawijaya V) diserang kerajaan Demak pimpinan Raden Patah, anak kandungnya sendiri dari seorang selir (putri) cina anak peranakan muslim yang bernama Kia[sic] Bantong atau Syekh Bantong).
....
Kadipaten Demak pimpinan R. Patah membentuk Dewan Penasehat diberi nama Walisanga oleh Sunan Ampel(tahun 1474). Karena adipati Demak lama sekali tak menghadap ke Majapahit, adipati Terung (R. Kusen) ditugaskan raja untuk menjemput R. Patah menghadap Prabu Brawijaya V/Raja Majapahit. Tapi Tapi Sultan Demak tidak mau karena ayahnya dianggap masih kafir. Bahkan sebagai antisipasi penghukuman dari Majapahit akibat pembangkangannya, R. Patah telah lebih dahulu mengumpulkan para bupati pesisir seperti Tuban, Madura, dan Surabaya serta para Sunan untuk bersama-sama menyerbu Majapahit.
....
Dalam perang itu, tentara Majapahit berhasil dipukul mundur sampai ke ibukota, cuma rumah adipati Terung yang selamat karena ia memeluk Islam. Karena terdesak, Brawijaya V mengungsi ke (Tanjung) Sengguruh beserta keluarganya diiringi sang Patih. Akibat serangan dari puteranya sendiri di tahun 1399 Saka atau 1477 M ini Brawijaya V meloloskan diri bersama pengikut setia, sehingga ketika Raden Patah (termasuk para Sunan) tiba, istana sudah kosong.
....
Dengan dikawal Pasukan Bhayangkara dan beberapa kesatuan pasukan yang tersisa, Brawijaya V menyingkir ke arah timur, dan sementara tinggal di Blambangan. Adipati Blambangan, memperkuat barisan pasukan ini. Penduduk Blambangan juga sukarela ikut menggabungkan diri untuk melindungi Brawijaya V secara ekstra ketat. Selama di Blambangan, Prabhu Brawijaya terus terusik batinnya. Raden Patah, yang biasa beliau panggil dengan nama Patah ternyata tega melakukan pemberontakan. Sabdo Palon dan Naya Genggong menambahkan[sic] hati Sang Prabhu bahwa : Nasi sudah menjadi bubur, dan tidak patut disesali lagi.
Sementara itu, setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak bergelar Panembahan Jinbun, adipati Bintara mengutus Lembu Peteng (saudara seayah R. Patah) dan Jaran Panoleh ke Sengguruh meminta sang Prabu agar masuk Islam. Menurut satu versi, beliau tetap menolak sehingga Sengguruh disebut dan Prabu Brawijaya V lari kepulau Bali. Namun versi lain yang lebih kuat menyebut R. Patah mengutus Sunan Kalijaga yang ternyata berhasil mengislamkan Brawijaya V.
.....
Adapun cerita VERSI KEDUA (II) menyebutkan fakta lain bahwa Majapahit runtuh diserang Girindrawardana (Kediri), bukan oleh Demak. Informasi bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Demak, dapat ditelusur akibat kesalahpahaman semata. De Graf (juga Mohammad Yamin) mencatat bahwa nama Girindrawardhana yang menyerang Majapahit dan merebut kekuasaan Brawijaya V seringkali disalahpahami sebagai sosok yang sama dengan tokoh Sunan Giri, seorang ulama muslim anggota Walisanga. Pendapat serupa dikemukakan Muhammad Yamin, yang menyatakan bahwa nama "Giri" dalam beberapa babad yang menceritakan tentang keruntuhan Majapahit merupakan nama seorang penganut Hindu bernama: Girindrawardhana. Pengarang Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda (ditulis abad XVII) telah mencampuradukkan antara nama Girindrawardhana dan Sunan Giri. Padahal kedua tokoh itu sama sekali berbeda. Dari sinilah kesalahpahaman tersebut berlanjut, bahwa sampai pada pendapat bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Demak.
Prof Dr. N.J. Krom dalam buku Javaansche Geschiedenis juga menolak anggapan bahwa penyerang Majapahit era Brawijaya V (Kertabhumi) adalah Demak. Menurut Krom serangan yang dianggap menewaskan Brawijaya V itu dilakukan oleh Girindrawardhana. Prof Moh. Yamin dalam buku Gajah Mada juga menjelaskan bahwa Kertabhumi/Brawijaya V tewas dalam keraton yang diserang Rama Wijaya (nama lain Girindrawadhana) dari Keling/Kediri. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibukota kerajaan.
Sumber: Mashad, Dhurorudin. Muslim Bali: Mencari kembali Harmoni yang Hilang. 2014. Pustaka Al-Kautsar.
4. Nancy Florida, dalam meringkas Pustaka Raja Puwara menyebutkan Brawijaya V wafat.
Pustaka Raja Puwara: Sri Pamekas VI sumambet Babad Itih I, dumugi Sinuhun Ing Kalijaga
Author: Ronggawarsita, R Ng. (1802-1873)
Composed: Surakarta, mid 19th c.
....
Having migrated to Java from Palembang, Raden Patah, the son of Brawijaya and the Chinese princess is installed by his father as the adipati of Bintara (Demak). The wali grant him the title Senapati Jimbun, and with their support, he and his allies attack and defeat Majapahit (MS p. 180). Brawijaya escapes and flees to the west; he dies at Saparhuru to the south of Ardi Sewu. Senapati Jinbun finds his father's body and buries it in Demak. For forty days Sunan Giri Kadhaton (Sunan Giri II) reigns as (temporary) ruler of Demak. At the end of the forty-day period, the wali install Senapati Jimbun as the first Sultan of Demak with title Sultan Syah Alam Akbar.
Sumber: Florida, Nancy K. Javanese Literature in Surakarta Manuscripts vol 2: Manuscripts of The Mangkunagaran Palace. 2000. Cornell University.
5. Bagus Laksana, membahas tentang konsep Moksa dalam kisah akhir Brawijaya V dan dugaan bahwa kisah tersebut sengaja agar ada kesinambungan antara kekuasaan lama dan kekuasaan baru.
In other words, the last episode of Brawijaya's life is depicted both in term of Javano-Islamic mystical anthropology of sangkan paran as well as as in the Hindu understanding of moksa. It has to be recalled that the moksas of last Hindu-Buddhist kings of Java have been used by certain Javanese text as a way to assert the unbroken continuity between the dying dynasties and the upcoming ones. This is so because in this framework of moksa these kings did not die in the violent battle against the Muslim forces, but rather they disappeared and attained a spiritual height. Thus the idea of moksa evades the problem of radical and violent change, something that is culturally troubling for Javanese.
This principle of continuity, however, takes on another different form in Javanese account of Brawijaya, namely, through certain kind of conversion, understood not as a radical break with past, but rather as a deeper reconciliation and continuity. The accounts of Brawijaya V's conversion to Islam are known in Java, and, very interestingly and probably quite intentionally, are put next to the narratives of his moksa. As Rinkes has pointed out, the Javanese seem to see this conversion as continuity on account that "there is little difference between Hinduism in Java and the forms by which Islam found its acceptance, apart from terminology. In this framework, Brawijaya could have been a Muslim but still had an experience of moksa. Again, what is at stake in the various accounts of the last days of Brawijaya V is the idea of continuity with all its possible tensions and the ambiguities.
sumber: Laksana, Bagus. Muslim and Catholic Pilgrimage Practices: Explorations Through Java. 2014. Ashgate Publishing.
6. Terjemahan Babad Jaka Tingkir oleh Moelyono Sastronaryatmo
Selesai dan sempurnalah sudah segala puji-pujian kepada mereka, berikut diceritakan Babad Tanah Jawa. Dinamakan jaman Srikalaraja, cerita para ratu-ratu diawali cerita sesudahnya. Ialah Prabu Dewaraja. Raja Majapahit yang terakhir, beliau bernama sang Prabu Brawijaya ke V, tatkala mudanya bernama Raden Alit. Konon Negara Majapahit berdiri sampai 100 tahun umurnya, beliau Prabu Brawijaya ke V yang bertakhta terakhir, merupakan turun ke tujuh dari Raja-Raja terdahulu yang menguasai negara Majapahit.
Prabu Suruh sebagai awal Raja di Negara Majapahit, setelah mangkat beliau diganti putranya bernama Sang Prabu Anom sebagai Raja Majapahit yang ke II, belum disebut Prabu Brawijaya. Setelah mangkat diganti putranya bergelar Sri Brawijaya ke I, kemudian putranya bergelar Brawijaya II sebagai penggantinya, setelah mangkat diganti lagi putranya.
Gelar Prabu Brawijaya III, diganti oleh putranya bergelar Brawijaya IV. Kemudian diganti oleh putranya bergelar pula Prabu Brawijaya V atau nama kecilnya Raden Alit. Beliau Prabu Brawijaya V adalah turun ke tujuh dari Raja-raja Majapahit terdahulu. Cerita yang berikut di bawah ini dimulai dari sesudah Negara Majapahit bedah, atau dimulai sesudah Prabu Brawijaya V (yang terakhir) meloloskan diri dari Kraton Majapahit (musna, muksa tak diketahui ke mana perginya, mati atau hidup).
Hilang dari manusapada (dunia) ini, beliau mempercepat dirinya kembali ke alam muksapada (muksapada lawan kata dari manusapada), tiada karena "mati", akan tetapi beliau musna beserta badannya. Beliau kembali ke jaman kesucian atau jaman kesempurnaan, sesungguhnya beliau Prabu Brawijaya V adalah manusia yang sempurna. Beliau adalah seorang yang sahid waskita tahu akan apa yang akan terjadi, tahu pula akan apa yang dinamakan mula dan akhir kehidupan di dunia ini.
Beliau tiada was-was akan kehidupan di dunia ini, beliau hidup di dunia ini maupun beliau hidup pula di jaman kelanggengan (di alam baka maupun di alam fana). Sesungguhnya pula kehidupan di dunia kelanggengan itu, segala kemulyaan yang sesungguhnya ada di situ. Kalaupun dibandingkan dengan kehidupan kemulyaan yang ada di keraton di dunia ini bukan lagi menjadi bandingannya. Sang Prabu Brawijaya (V) muksa pada waktu itu diikuti oleh para punggawa negara yang sudah tahu pula akan kemuksaan.
Mereka di antaranya Rakyan Mahapatih Gajahmada, para satriya, dan para bupati, para mantri dan para punggawa, para wadya bala Majapahit. Kesemuanya dapat turut bersama-sama muksa Sang Prabu Brawijaya kembali sempurna kejaman kelanggengan dikarenakan mereka pula telah putus akan "ilmu kelanggengan" (kemuksaan). Mereka tabu akan ilmu sejati, mereka tahu pula akan ilmu kasunyatan. Mereka pula turut serta mengiringkan Prabu Brawijaya (V) mencapai alam muksa, namun bagi mereka yang 'bodoh' (belum menghayati arti kasunyatan hidup ini), tentu saja tak dapat mencapai alam muksa.
Tak ada bedanya dulu dan sekarang, manakala orang tak bertanya akan hakekat kehidupan kesunyatan ini, akhirnya pun akan sengsara menyesal di kelak kemudian harinya. Mereka adalah orang yang goblog pandir, bodoh tak tahu akan rahasia kehidupan manusia di dunia ini. Kenyataan akan ilmu kehidupan, merupakan ilmu yang utama yang membicarakan pengertian-pengertian bagaimana melepas diri ini, mencapai kebebasan dari panandang akhirnya ke alam kemuksaan atau kelepasan. Itulah akhir dari orang-orang yang goblog dan pandir celaka dirinya, lain pula dengan mereka orang-orang yang telah menghayati hakekat kehidupan nyata di dunia ini (ilmu kesempurnaan).
Mereka yang turut bersama-sama muksa dengan Prabu Brawijaya (V) sejumlah sepertiga punggawa Majapahit, namun mereka tergolong yang sudah lanjut usia saja. Adapun mereka yang tergolong masih muda-muda diperintahkan raja untuk tinggal di Negara Majapahit, maksud raja tak ada lain mereka diharapkan (ditugaskan) untuk meneruskan keturunan-keturunan. Mereka diperintahkan untuk tidak melawan kepada pendatang baru, mereka pula diperintahkan untuk masuk Agama Islam yang luhung itu. Namun kepada mereka kawula Majapahit yang telah menghayati akan keimanannya terhadap agama, tak ada bedanya mereka pun sebenarnya telah membawa pada dirinya iman Islam yang suci itu. "
Namun ada juga kebahagiaannya mereka yang diperintahkan oleh Prabu Brawijaya (V) untuk tinggal di Negara Majapahit itu, sebagai penganut Agama Buda mereka menerima menganut Agama Islam yang suci. Sesungguhnya Agama Islam yang luhung itu mulai masuk di Majapahit awal bedahnya kerajaan, dengan ditandai sengkalan 'Sirna Ilang Kertaning Bumi' atau Hilang musna ketentraman dunia" atau tahun 1400 A.J. (1478 A.D.), jaman berganti menginjak jaman Kalawijisaya.
.....
Amabakduana pon sawusing,
sampat paripurnaning pamudya,
kang winarneng panggalange,
lelagon kang ginelung,
pamugeling carita Jawi,
babading Tanah Jawa,
lelampahanipun,
para nata kang ginita,
wusing jaman Srikalaraja pepati,
Dewaraja semana.
Jaman iku ingkang amekasi,
panjenenganira naranata,
Raden Alit duk timure,
jumeneng sang aprabu,
Erawjjaya ping gangsal nenggih,
ing nagri Majalengka,
jangkep satus tahun,
umuring ponang nagara,
turun sapta kang jumeneng narapati,
ing nagri Majalengka.
Wiwit prabu Suruh duk ing nguni,
sasedane ginantya ing putra,
Sang Prabu Anom namane,
pan kekalih puniku,
dereng nama Brawijaya Ji,
anulya putranira,
wiwit namanipun,
Sri Brawijaya kapisan,
putra nama Brawijaya kaping kalih,
nulya malih putranya.
Nama Brawijaya kaping katri,
putranipun nama Brawijaya,
ingkang kaping sekawane,
Raden Alit puniku,
Brawijaya pingg limaneki,
jangkep ing tedhak sapta,
kuneng kang winuwus,
ing carita kang cinegat,
sabedhahe nagari ing Majapahit,
musnane Brawijaya.
Lenyep saking manusapadeki,
apan sumengka mengawak braja,
minggah mring muksapadane,
datan kalawan lampus,
paripurna waluya jati,
ing jaman kasucian,
kasampurnanipun,
sang aprabu Brawijaya,
sampun putus patitising jatimurti,
waskitheng sangkan-paran.
Datan samar kawuryaning urip,
urip trusing jaman kalanggengan,
pira-pira kamuktene,
ing karaton kang sestu,
sestu datan kena winilis,
pan tikel pira-pira,
lan duk meksihipun,
neng jaman nungsapada,
cinarita duk muksane Sribupati,
dinulur ing punggawa.
Gajahmada Rakyan Mahapatih
lawan sagung bupati satriya,
punggawa para mantrine,
sawadya-kuswanipun,
ingkang sampun sami winasis,
putus ring kamuksan,
tan samar ing kawruh,
tinarimeng kasunyatan,
bisa milu ing muksane Sribupati,
kang bodho datan bisa.
Nadya nguni sumilih ing mangkin,
yen wong tanpa ataki-takia,
kapataka ing temahe,
anelangsa ing pungkur,
kumprung pengung tan wrin ing wadi,
wadining widayaka,
nayakaning kawruh,
kawruh marng kalepasan,
praptaning don si bodho aneniwasi,
beda lan kang wus bisa.
Watawise kang tumut sang aji,
sapratigan wadya Majalengka,
ingkang tuwa-tuwa bae,
kang anem kinen kantun,
amencarna wiji ing wuri,
kinen sami nungkula,
manjing Islam luhung,
kejawi kang sampun samya,
nungkul batin wus anggawa Islam suci,
samya anandhang iman.
Nanging ana bekjane kang kari,
ingkang datan bisa milu muksa,
dene salin agamane,
kang tata Buda kupur,
sinalinan agama gusti,
sami anandhang iman,
Islam pan linuhung,
sirnaning kang tata Buda,
duk bedhahe nagari ing Majapahit,
semana sinengkalan.
Sirna Ilang Pakartining Bumi,
duk semana sinalinan jaman,
Kalawijisaya alame
Sumber: Babad Jaka Tingkir, diterjemahkan tahun 1981 oleh Moelyono Sastronaryatmo.
http://perpustakaansidodadi.com/wp-content/uploads/2014/04/Babad-Jaka-Tingkir-Moelyono-Sastronaryatmo.pdf
0 comments:
Post a Comment