Wednesday, November 22, 2017

[Bukan Review] NAURA & GENG JUARA : Petualangan Sherina + Home Alone

*Spoiler*
*bagian untuk orang tua ada di bagian menjelang akhir*
*bagian tuduhan pelecehan agama ada di bagian akhir artikel*






"Kalian cuma perduli piala! Buat apa kalian pintar (tapi) kalau melihat penculik satwa kalian diam saja" -- Kipli

Jujur saya awalnya tidak tertarik dengan film ini karena saya sudah pasang target menonton dua film lain. Poster filmnya pun tak mengesankan, tidak menunjukkan tema khusus yang membedakan film ini dengan film lainnya. Kurasa, puteri 6-tahunku akan lebih tertarik menonton film bertema gebuk-gebukan atau film kartun sekalian.

Semua berubah ketika seorang ibu mengajak kawan-kawannya tidak menonton film ini. Selain itu ada juga seorang ibu lain yang sudah menonton dan menyayangkan ucapan istighfar dan takbir dalam film ini. Penasaran akibat berita tersebut, saya pun melihat iklannya dan... oke, saya kelak harus mengajak putri saya menonton ini. Namun karena agak khawatir film ini turun layar sebelum akhir pekan, saya memutuskan menonton film ini selepas bekerja semalam. Tentu saja penonton di bioskop saya sedikit, hanya para ibu-ibu berjilbab bersama putra-putranya.

PLOT CERITA
Awal film, kita diperkenalkan pada tiga dari empat tokoh utama film ini yakni Naura, Bimo, Okky yang sedang berkompetisi di sekolah mereka, SD Angkasa. Seusai penjurian, sekolah mereka memutuskan tiga tokoh ini menjadi wakil untuk perkemahan kreatif di Situ Gunung. Bimo, yang meraih nilai tertinggi, sayangnya tidak terpilih menjadi pemimpin tim. Sekolah memutuskan Naura yang punya pengalaman sebagai pemimpin kelompok. Ini konflik pertama.

Setelah menelusuri selintas tentang latar belakang Naura dan minat Naura serta minat-minat dua tokoh lainnya, kita diperkenalkan pada tiga karakter jahat yang sedang menjelajah hutan dan masuk ke dalam ruang karantina. Di bagian ini kita diperkenalkan pada tokoh utama keempat, Kipli, anak yatim piatu yang dipekerjakan di Kemah Kreatif.

Cerita pun bergulir, dari basa-basi perkenalan di Kemah Kreatif, konflik meningkat antara Bimo dan kedua temannya, dan cerita akhirnya baru benar-benar dimulai ketika alat yang dibuat Bimo tak bisa didemonstrasikan karena satu komponennya hilang dan pencariannya membawa mereka bertemu Kipli di tengah hutan. Pencarian komponen ini juga akhirnya membawa mereka ke mobil para pencuri satwa yang disembunyikan.

Naura dan kawan-kawan menolak ikut campur tetapi Kipli memaksa mereka untuk bertindak tetapi akhirnya berujung pada ditahannya Okky oleh para penjahat. Menyadari kurangnya kekuatan mereka, Kipli, Naura, dan Bimo berlari ke Kemah Kreatif melaporkan pada kakak-kakak "rangers" tetapi mencurigai ada oknum bermain, tiga anak ini akhirnya memutuskan menggunakan kawan-kawan sebayanya sebagai pasukan pelacak penjahat.

KEUNGGULAN TEKNIS
Jika ada yang bilang "sains-nya hanya tempelan", "petualangan so and so", percayalah, mereka sudah bias dengan film ini.

Ada beberapa film anak-anak Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir, sebagian saya lewatkan, sebagian lagi sudah saya tonton, dan film ini, sebenarnya termasuk di atas rata-rata.  Lagipula, saya juga menonton Petualangan Sherina di bioskop (dengan segala degradasi audio-visual) sekitar satu-dua tahun lalu, jadi ingatan saya masih cukup jelas, dan saya berani bilang, dalam beberapa hal Naura di atas Petualangan Sherina.

Pertama, sebagai film anak-anak, tentu saja wajar karakter antagonis dibuat selucu mungkin. Berbeda dengan Petualangan Sherina yang penjahatnya tampak tidak kompeten bahkan tidak tahu apa yang  harus dilakukan, tiga karakter antagonis ini jelas tahu apa yang mereka lakukan. Melihat postur tubuh mereka, kamu tahu bahwa jangan macam-macam dengan mereka.

Kedua, skenario Petualangan Sherina menempatkan tokohnya dalam situasi terisolasi dan hanya di bagian akhir mereka baru bertemu dengan orang dewasa. Cerita Naura melibatkan karakter dewasa namun ternyata situasi menempatkan para anak-anak harus bertindak sendiri. Di sini, Eugene jelas lebih terinspirasi model Home Alone daripada Petualangan Sherina. Ini juga sebenarnya kritikan kita buat orang dewasa yang kadang mengabaikan permintaan tolong dari anak-anak.

Ketiga, saya suka bahwa di Kemah Kreatif, para anak-anak ditugaskan agar karya mereka berhubungan dengan alam. Ada perdebatan panjang di film ini membahas apa pengaruh karya mereka terhadap alam. Sayangnya, penulis skenario tidak membahas lebih panjang, tetapi orang tua yang ajak nonton anaknya mungkin bisa memperpanjang diskusi ini setelah menonton filmnya.



KELEMAHAN TEKNIS
Film ini bagus dan karena bagusnya, saya jadi tergoda untuk mengurangi kelemahan teknis film ini. Sekali lagi, kelemahan di sini bukan berarti film ini buruk.

Juru Keker Kamera di bagian awal film tampak gagap. Ada beberapa ruang kosong yang mengganggu, tampak tidak seimbang dan tidak pula menuruti kaidah sepertiga. Untungnya, kegagapan ini hanya terjadi pada adegan di SD Angkasa di awal film.

Sebagai sutradara film musikal, Eugene Panji tampaknya kurang galak dalam mengarahkan. Ada beberapa adegan menyanyi yang gerakan bibirnya kurang jelas dan begitu disatukan dengan musik oleh penyunting, jadi tampak tak sesuai antara audio dan visual. Selain itu, ada beberapa ketidakkompakan di antara penari yang membuat saya bertanya-tanya, si Eugene ini butuh berapa take untuk setiap adegan tarian? Pengalaman pribadi menemani adik saya, untuk video klip kurang dari 4 menit, bisa butuh seharian di Ancol.

Selain itu, tarian dan musikal bukan berarti harus menghancurkan karakternya. Si Bimo yang sedang kesal pada teman-temannya, begitu adegan musikal tiba-tiba menjadi berwajah riang gembira. Seharusnya, sebagai sutradara, ia memasang Bimo tetap berwajah kesal.

Ada satu ide bagus namun gagal dalam eksekusi, yakni memanfaatkan api obor sebagai "equalizer" untuk panggung musik. Sayangnya ide tersebut tak berhasil karena dua hal, yakni sutradara lebih suka menampilkan tarian Naura sementara ketika si gitaris dan equalizer obor ini ditampilkan, pas bagian yang kurang greget.

Namanya film yang dibiayai sponsor, wajar bila ada penempatan produk. Namun saya menyayangkan minimnya inisiatif sutradara untuk menyusupkan pesan kebersihan. Seharusnya Eugene bisa menyelipkan pesan dengan sederhana, seperti menampilkan kakak pembina yang mengingat untuk membuang sampah pada tempatnya, atau adegan tokoh utama, menaruh sampahnya di dalam tas mereka seusai mengonsumsi produk sehingga tidak mencemari alam.

Pakaian Naura juga layak dikritik, bukan soal moralitas, tetapi soal fungsi. Saya tak bisa membayangkan berjalan dengan celana pendek di tengah hutan melewati rumput-rumput dan semak-semak. Belum lagi dengan suasana yang mungkin berubah dingin dengan cepat. Dan lucunya, saya mencoba memperhatikan anak-anak lain, mereka celana relatif lebih panjang daripada karakter Naura. Jadi bisa disimpulkan, pemilihan pakaian ini hanya sekedar untuk pemanis saja.

Celakanya, pemilihan pakaian ini juga menimbulkan problem kesinambungan ketika adegan beralih dari dunia nyata ke dunia khayal yang divisualkan dalam bentuk kartun. Jelas tidak ada komunikasi antara studio kartun dengan tim produksi sehingga pakaiannya tidak sama. Memang, ketidaksinambungan ini bisa dibela bahwa yang satu adalah dunia nyata sementara yang lain adalah dunia khayal tetapi bukankah  akan lebih baik jika model pakaian sama, untuk menunjukkan persamaan karakter.

Saya juga mengritik penggunaan istilah "ranger" di sini. Kenapa harus menggunakan istilah asing? Kenapa tidak menggunakan istilah macam "Jagawana" atau sesederhana "Kakak Pembina" ?


UNTUK ORANG TUA
Saya bilang, ini film wajib untuk ditonton orang tua dan anak. Ada beberapa pesan yang bisa diajarkan melalui film ini.

Pertama, film ini mengajari anak untuk inisiatif menolong. Tentu saja, ada hal yang membutuhkan bantuan orang dewasa tetapi kurangnya bantuan bukan berarti anak harus diam pasif mengabaikan tindakan kejahatan yang berada di depan matanya.

Kedua, film ini mengajari anak untuk bersedia mengalah untuk kepentingan yang lebih besar baik itu kepentingan kelompok atau bahkan kepentingan universal. Masing-masing anak di film ini memiliki keunggulannya sendiri dan di babak akhir, masing-masing alat punya kegunaan walau ya... mungkin tak semuanya.

Ketiga, film ini mengajari anak untuk mencintai ilmu pengetahuan. Bahkan ada satu adegan anak-anak ini menciptakan hantu menggunakan salah satu sifat koloid.

Memang nyaris semua percobaan yang dilakukan di film ini, kita sudah sering melihatnya di pameran-pameran ilmu pengetahuan tetapi kapan terakhir anda melakukan percobaan ilmiah bersama anak anda? Lagipula, apakah anak anda sudah pernah melihat seluruh hasil oprekan yang tampil di film ini ?


TUDUHAN PELECEHAN AGAMA
Jawaban singkat, saya berpendapat film ini tidak melecehkan agama.
Anggota-anggota LSF yang menonton dan meloloskan film ini untuk Semua Umur berpendapat film ini tidak melecehkan agama.

Namun untuk yang penasaran, baik saya jelaskan.
Ada tiga adegan menyerempet di film ini, dan adegan-adegan ini sangat singkat. Saya mulai dari adegan kedua di tengah film dahulu sebelum membahas yang pertama dan ketiga karena dua adegan tersebut berkaitan.



Di tengah-tengah film, untuk menghentikan aksi, Naura dan teman-temannya menciptakan hantu. Dua dari tiga penjahat yang sedang ditakut-takuti, bergidik dan langsung meringkuk di dalam mobil. Salah satunya langsung membaca doa, namun entah karena panik atau karena memang dungu, ia membaca doa sebelum makan. "Hei, itu kan doa sebelum makan," tegur temannya. Yang ditegur langsung mengambil cemilan, "kalau takut, bawaannya pengen makan".

Ini adegan humor. Tidak ada unsur pelecehan Islam di sini.

Adegan pertama dan ketiga, semua ucapan istighfar dan asma Allah itu dilakukan oleh karakter yang bercelana pendek (di atas lutut), berbaju jingga, bertopi kupluk, jelas bukan simbol Islam. Karakter ini, tampaknya memang dahulu dibiasakan mengucapkan asma Allah. Jadi di bagian awal, ketika dia menerangkan rencana sementara temannya tidak memperhatikan, dia kesal dan bilang, "Astaghfirullah, Li! Dengarkan!".

Di bagian akhir, mobil yang membawa ketiga penjahat ini dihunjam berbagai macam bom dari roket air, bom pasir warna-warni, bom semangka. Dalam rasa takut ini, si karakter spontan mengucapkan, "astaghfirullah.. ya allah.. allahu akbar... astaghfirullah..".

Saya berpendapat ketiga adegan itu bukan pelecehan Islam. Ketiga karakter tersebut memang berasal dari daerah yang beberapa kali terjadi kejahatan pencurian hewan dan mereka melarikan diri ke Jawa. Silakan googling "pencurian satwa [nama daerah tersebut]" dan niscaya anda akan menemukan banyak berita. Kebetulan,  orang-orang di daerah tersebut memang rata-rata beragama Islam. Saya curiga, aktor yang memerankan antagonis bercelana pendek dan bertopi kupluk, dalam menghayati peran, melakukan improvisasi. Ia mungkin mempertimbangkan, kalau seandainya ia menggunakan kata-kata umpatan padahal film ini untuk anak-anak, mungkin malah takutnya ditiru oleh penonton cilik.

Saya tidak berpendapat film ini melecehkan agama dan begitu juga para anggota LSF.

Kalaupun ada yang bisa dikritik, maka saya menyayangkan sterilisasi film ini dari unsur-unsur agama untuk karakter protagonisnya. Seharusnya, kalau antagonis sudah dibuat latar khusus budaya tertentu, maka protagonis pun seharusnya demikian. Namun mungkin karena terlalu takut, maka setiap dialog protagonis bersih dari unsur budaya dan agama. Dengan demikian ucapan spontan karakter antagonis malah jadi terasa menonjol untuk mereka yang sensitif.



Sekali lagi, saya berpendapat film ini tidak melecehkan agama.
Bahkan kalau mau teliti, karakter Bu Laras -- salah satu tokoh baik dewasa -- , yang sangat medok Sunda-nya, kemungkinan besar ya beragama Islam.

Selain itu, di kantor pengurus Kemah Kreatif, selain stiker-stiker bernada pelestarian alam ( macam stiker "STOP DEFORESTATION" ), ternyata juga nyempil stiker wanita berjilbab menggunakan bendera Amerika Serikat (model macam poster "We The People Are Greater Than Fear"). Jelas berarti salah satu tokoh dari jagawana di Kemah Kreatif (dan jelas bukan sosok oknum) juga seorang muslim yang tergolong idealis.

0 comments: