Sunday, December 24, 2017

Fenomena Sejumlah "Skeptis" Terhadap Palestina: Netral atau Berkhayal Netral ?

Ada bedanya antara mencoba bersikap netral dengan berkhayal telah bersikap netral tetapi sebenarnya telah menelan mentah-mentah propaganda Zionis. Keinginan bersikap netral dan adil adalah hal yang layak dipuji. Namun apatah artinya netral jika sikap kritis itu ternyata tak lebih dari hasil menelan mentah-mentah propaganda?

Sepuluh tahun lalu, propaganda zionis biasanya hanya beredar di antara kecil orang-orang Kristen yang percaya Yahudi adalah bangsa terpilih. Sementara kaum Muslimin, bahkan yang paling liberal sekalipun, yang menginginkan hubungan dagang dengan Israel sekalipun, tidak akan menyebarkan propaganda zionis melainkan hanya bersikap realistis bila tidak bisa disebut opportunis.

Sekarang, saya melihat sejumlah skeptisme menyebar bahkan di antara kaum muslim. Dengan gagah berani, menyatakan diri bersikap netral, mereka menyebarkan sejumlah propaganda-propaganda zionis yang sebenarnya tak asing. Propaganda ini mencoba menyebarkan keraguan di antara para pendukung perjuangan Palestina. Bahwa sudah ada beberapa muslim yang mulai ikut menyebarkan propaganda ini, bukti bahwa propaganda ini sudah mulai berhasil.

Berikut tiga contoh propaganda zionis yang mulai menyebar di antara orang-orang yang mengira bersikap netral:

1. BANGSA PALESTINA TIDAK ADA, YASSER ARAFAT BUKAN ORANG ASLI PALESTINA
Bangsa Palestina sesungguhnya memang tidak ada dalam sejarah zaman dahulu, dan bisa disebut bangsa khayalan -- tunggu dulu -- sama fiktifnya dengan Bangsa Indonesia yang tak pernah ada hingga munculnya Perhimpunan Indonesia dan dikukuhkan oleh Sumpah Pemuda. Jika Bangsa Indonesia awalnya adalah etnis Melayu-Austronesia yang memiliki persamaan nasib dijajah oleh Belanda, maka Bangsa Palestina adalah etnis Arab yang memiliki persamaan nasib, yakni tanah mereka dijajah oleh Zionis atau bahkan mereka terusir dari tanah mereka dan tidak terserap secara emosional oleh etnis Arab lain yang sudah membentuk negara sendiri yang tercipta di masa pan-Arabisme.

Yasser Arafat memang lahir di Mesir, sebelum negara Israel lahir. Namun ayahnya dan keluarga dari ayahnya punya ikatan emosional dengan tanah Palestina. Seandainya Yasser Arafat tak punya hubungan keluarga dengan penduduk Palestina, maka kepeduliannya dan rasa emosi terhadap tanah Palestina sudah tak diragukan lagi bahkan ia sudah diakui oleh rakyat Palestina sebagai bagian dari mereka. Ini bukan hal yang asing bagi Bangsa Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, sejumlah kaum Indo-Belanda macam Setiabudi (Douwes Dekker) atau HC Princen juga diakui sebagai Bangsa Indonesia oleh rakyat Indonesia.


2. BANGSA PALESTINA SUKA MENCARI MASALAH, TERPECAH BELAH
Para sok-netral biasanya akan memberikan daftar kekerasan yang dilakukan oleh faksi-faksi yang ada dalam perjuangan Palestina terhadap rakyat sipil Israel. Terkadang mereka juga memberikan pertikaian antar faksi-faksi di Palestina, mencoba memberikan pesimisme bahwa perjuangan Palestina akan gagal karena dinilai "menciptakan neraka sendiri".

Seharusnya para sok-netral itu paham bahwa dalam perjuangan meraih kemerdekaan, terkadang munculnya faksi-faksi yang saling bertikai tidak terelakkan. Bahkan Indonesia pun pernah mengalami semula di mana antar faksi saling mengejek, culik-menculik, bahkan bunuh-membunuh. Bahkan di antara faksi yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, kadang ada juga yang melakukan kejahatan perang. Namun semua insiden dalam perjuangan itu tidak berarti keinginan sebuah bangsa untuk merdeka layak diabaikan.

Selain itu, salah seorang sok-netral itu tak sadar, bahwa di antara faksi-faksi bertikai di Palestina sudah ada usaha-usaha rekonsiliasi bertahun-tahun. Bahkan salah satu usaha terbaru untuk rekonsiliasi itu terjadi di tahun 2017 ini. Tapi karena pada dasarnya si sok-netral itu memang sudah menelan propaganda zionis, pengetahuan tentang perpecahan faksi yang ia sebarkan di medsosnya itu tak lebih dari sekedar berita basi.

3. ISRAEL ADALAH NEGARA MODERN YANG JAUH LEBIH DEMOKRATIS DARIPADA NEGERI-NEGERI ARAB
Pertama, harus dibedakan antara bersikap realistis dengan menelan propaganda.
Kita menerima Amerika Serikat adalah negeri yang berdaulat tetapi bukan berarti kita membenarkan berbagai konflik terhadap penduduk asli dalam sejarah negeri mereka. Begitu pula, kita menerima Australia adalah negeri yang berdaulat tetapi bukan berarti kita membenarkan berbagai kebijakan yang merugikan penduduk asli di negeri mereka.

Israel, adalah negara yang sudah menunjukkan kekuatannya berkali-kali, jadi adalah wajar keinginan untuk mengakui kedaulatannya. Namun, bahkan seandainya diakui kedaulatannya pun, bukan berarti harus menutup mata atas penjajahannya terhadap Palestina, menutup mata atas sejarah mereka mengusir etnis Arab di awal-awal berdirinya negara mereka.

Berbicara tentang keterwakilan pun, benar bahwa etnis Arab cukup terwakili secara proporsional di Knesset mereka namun itu hanya jika kita mengabaikan sejarah perubahan drastis perbandingan populasi etnis di wilayah ini pasca Aliyah dan juga mengabaikan populasi yang terusir dari tanah mereka dan belum terserap di negeri tetangga melainkan masih mendamba kembali ke tanah leluhur.

Berbicara tentang "kebaikan Israel", mungkin sebaiknya kenang juga "kebaikan Belanda" atas negeri ini. Dahulu, pasca Perang Jawa, Belanda hanya minta seperlima tanah untuk ditanam tanaman komoditas dan mereka membantu menjualkan ke pasar Eropa dan membagi sebagian kepada penguasa-penguasa lokal. Belanda dengan politik etisnya juga mendidik bangsa Indonesia, bahkan memberikan beasiswa kepada beberapa siswa untuk belajar di negeri mereka. Belanda juga menyediakan posisi-posisi kerja dengan upah lumayan. Perusahaan-perusahaan Belanda di negeri Indonesia juga mempekerjakan tenaga-tenaga kerja pribumi. Lalu kenapa Indonesia masih ingin merdeka dari Belanda ?

Selalu ada kisah di balik kisah, narasi di balik narasi. Tak perlulah saya yang awam ini memaparkan beberapa perbedaan antara teori legal Israel dan praktek di lapangannya. Kalau para sok-netral itu bisa bersikap skeptis kepada perjuangan Palestina, kenapa mereka juga tidak bisa melakukan hal yang sama kepada setiap cerita indah dari Israel ?



SAYA TIDAK BISA NETRAL, SETIDAKNYA SAAT INI TAK BISA NETRAL
Berbeda dengan para sok-netral, saya akui saya tak bisa netral.
Walau sudah bertahun-tahun saya berusaha obyektif, membaca dari kedua sisi, namun saya tetap tak bisa netral dalam memandang konflik ini.
Ketidaknetralan saya sebenarnya irasional dan emosional, yakni hanya karena saya melihat banyak kemiripan antara kisah Indonesia dengan Palestina.

Untuk saya, argumen para zionis yang merasa berhak menguasai tanah Palestina, bergelombang penuh bagai air bah datang dengan gerakan Aliyah mereka, sudah ketinggalan zaman selama tiga belas abad. Ya, sebenarnya, sejak Muslim menguasai Yerusalem, sejak itu pula lah kaum Yahudi sudah bebas pulang ke Yerusalem. Tentu saja, prakteknya, beberapa Yahudi pra-Islam sebenarnya juga sudah ada yang pulang walau harus takluk dan berpindah agama menjadi Kristen di masa Romawi. Sungguh, tak ada alasan buat para imigran Yahudi yang belakangan untuk membuat negeri sendiri dengan mengusir etnis Arab dari tanah mereka yang sudah ditinggali berabad-abad.

Bicara tentang kedaulatan Yahudi pun, bahkan dalam sejarah pasca pendudukan oleh Babylonia, hanya beberapa masa singkat Yerusalem benar-benar merdeka. Kebanyakan berada di bawah kekuasaan bangsa-bangsa lain seperti Persia, Yunani (Seleucid), dan tentu saja Bangsa Romawi. Sangat menggelikan kalau para imigran Yahudi merasa berhak mendirikan negara sendiri dengan alasan sejarah karena kenyataannya, sebagian besar sejarah mereka pasca Babylonia, tak lepas dari campur tangan bangsa lain.

Sejujurnya, ada masa saat berita-berita baik dari Israel membuat saya terlena dan mengira bahwa konflik akan cepat selesai jika Palestina mengakui kekuasaan Israel dengan segera namun ternyata praktek-praktek penyebaran propaganda ini membuat saya kembali berpihak pada Palestina.  Kenyataannya, perlawanan-perlawanan itu tetap ada bahkan usaha-usaha rekonsiliasi antara faksi-faksi Palestina yang selama ini bertikai membuktikan bahwa keinginan Palestina untuk merdeka itu masih ada.

Dan selama nyala api perjuangan Bangsa Palestina masih ada,
saya tetap mendukung Palestina.

0 comments: