Thursday, April 26, 2018

[Bukan Review] AVENGERS: INFINITY WAR *Spoiler*

(petunjuk bagi orang tua di akhir tulisan)

Di dasawarsa 1970an Dennis O'Neil menciptakan Ra's Al-Ghul, seorang teroris pecinta lingkungan yang berniat melakukan langkah ekstrim untuk melindungi flora dan fauna. Karakter ini muncul ke layar lebar tahun 2005 dengan perubahan motiasi dari kepedulian terhadap lingkungan hidup menjadi kebencian terhadap pemerintahan korup, dan Gotham adalah wakil dari korupnya dunia.

Pada masanya, kemunculan Ra's Al-Ghul di genre film superhero cukup radikal. Bahkan Iron Man yang muncul tahun 2008 yang mencoba meniru gaya Batman Begins, dikritik karena tidak memiliki penjahat dengan motivasi kuat. Karakter-karakter supervillain berideologi vacuum dari Marvel Cinematic Universe hingga akhirnya muncul kisah Civil War (Zemo) dan Black Panther.

Enam tahun lalu, saya tidak terlalu tertarik dengan Thanos maupun rencana Infinity War. Saya tak pernah menyukai pertempuran antar kosmik macam Fantastic Four vs Galactus, Justice League vs Apokolips, yada-yada-yada. Russo bersaudara tampaknya punya selera yang sama sepertiku dan mereka sudah dua kali mem-politisasi film Captain America dan kini mereka melakukan hal yang sama. Jika harus memilih antara karakter penjahat super yang memiliki motivisi mabuk kepayang cinta dan penjahat super yang ingin mengembalikan keseimbangan alam semesta, saya lebih menyukai kisah yang belakangan.

Maka, Thanos di adaptasi film pun berubah, menjadi seorang pungguk-merindukan-bulan menjadi sosok 'ala Thomas Robert Malthus yang meramalkan overpopulasi dan sudah terjadi di planetnya sendiri. Karena itu, ia menjelma menjadi pemimpin kultus berideologi macam Polpot, demi mencegah overpopulasi terjadi di alam semesta. "Aku sudah pernah menghindari takdirku dan tidak berakhir dengan baik, kini aku harus memenuhi takdirku" ujarnya pada putri kesayangannya, dan maka sepanjang film, Thanos berupaya mencari akik-akik mestika untuk mempermudah tugasnya semudah menjentikkan jari.

Setidaknya ada dua hal yang cukup rumit untuk membuat film ini, yang pertama adalah karakter terlalu banyak. Itu sebabnya Russo bersaudara tak terlalu ambil pusing menjelaskan masing-masing karakter dan berasumsi semua penonton atau setidaknya sebagian besar sudah mengerti karakter-karakter protagonisnya. Russo bersaudara justru lebih menekankan pada keluarga tak sempurna Thanos yang mengambil unsur-unsur Agamnenon.

Tantangan kedua adalah, bagaimana membumikan adegan perang kosmik superhero, dan Marvel tidak salah memilih Russo bersaudara untuk mengarahkan adegan ini. Russo berhasil di mana Joss Whedon, apalagi Zack Snyder gagal, yakni membuat pertempuran massal superhero memiliki kengeriannya. Dahulu saat Whedon membuat Avengers, tidak ada satupun adegan di mana kita cemas para penduduk bumi akan terluka oleh serangan Chitauri apalagi kekhawatiran tentang nasib protagonisnya. Snyder, walau mengumbar darah di mana-mana dalam film Watchmen tetapi tidak ada perasaan tegang saat menontonnya karena gayanya yang terlalu 'nyeni visual' apalagi ketika ia menyutradarai film superhero remaja yang minim darah, tak ada ketegangan sama sekali. Adegan Batman menyelamatkan Martha? Cih, itu cuma menunjukkan Snyder kebanyakan main game Arkham, tetapi tidak ada greget sama sekali.

Russo bersaudara fasih bermain dengan waktu ketegangan. Misalnya, ketika serangan pertama anak buah Thanos muncul, mereka menampilkan dari hal-hal kecil dahulu seperti getaran gempa, lalu suara-suara kepanikan dari luar. Dan ketika akhirnya karakter protagonis bertemu dengan anak buah Thanos pertama kali, ditampilkan betapa rapuhnya mereka. Ya, seperti kata teman-teman SD-ku dahulu, film laga yang bagus adalah kalau jagoannya kalah duluan.

Alhasil, bahkan walaupun sudah mendapat bocoran akhir film ini, saya tetap bisa menikmati ketegangan sepanjang film. Di sini, tak bisa hanya mengandalkan kekuatan untuk mengalahkan Thanos dan anak buahnya tetapi juga kecerdasan, kesabaran, dan tekad untuk mengorbankan diri maupun orang lain yang disayangi. Kata "war" yang berarti perang memang layak menjadi bagian dari judul film ini.


Petunjuk untuk orang tua:
Walau tanpa darah, adegan kekerasan di film ini cukup ganas. Dari adegan dada tertusuk tombak hingga dada tertusuk kapak ada di sini. Adegan mencekik leher hingga mati lemas juga muncul, begitu juga karakter sekarat karena leher tersaya juga ada. Adegan penyiksaan dengan benda-benda tajam juga muncul begitu juga adegan penyiksaan dengan cara mutilasi juga ada. Selain itu banyak ditampilkan tangan, perut, dan sejumlah anggota-anggota tubuh terpotong-potong.

Walau tidak ada ketelanjangan maupun hubungan seksual, film ini cukup banyak memuat ciuman antara karakter-karakternya sehingga mungkin untuk penonton Indonesia yang membawa anak akan kerepotan.

0 comments: