Thursday, October 25, 2018

Presiden Joko Widodo, Isu Kebangkitan Komunisme, dan Kebijakan Lahan

Komik Gump n Hell tentang pemaksaan konversi lahan adat di Kalimantan Barat menjadi lahan sawit

Saat ini, kebijakan Pak Joko Widodo adalah pembagian sertifikat, sama seperti dahulu di masa ia menjabat sebagai gubernur, ia mendukung PRONA.

Ini solusi jangka pendek sedikit bisa membantu tetapi sebenarnya juga punya masalah sendiri. YLBHI pernah nyinyir bahwa sertifikat yang dibagikan ini malah bisa jadi legalitas saat kelak dengan cara 'halus' mengambil alih tanah dengan membujuk mereka meminjam dengan menjaminkan tanah. Para projo, seperti biasa, nggak ngerti apa-apa, langsung nyerang YLBHI.

Pak Joko Widodo sendiri, tampaknya mendengarkan kritikan YLBHI, sehingga di Jatim Expo tanggal 6 September 2018, dia berpesan agar kalaupun misalnya sertifikat ini terpaksa buat jaminan, jangan untuk hal konsumtif macam membeli mobil.

Sayangnya, tanggapan macam ini baru bersifat anjuran namun jelas beliau mengakui bahwa solusi yang ia berikan barulah bersifat jangka pendek dan tidak lepas dari masalah.

Alkisah, dulu di tahun 1950an, melalui sejumlah perdebatan bertahun-tahun, DPR akhirnya berhasil mengeluarkan UU Pokok Agraria tahun 1960 yang membatalkan semua konsep tanah warisan zaman Belanda. Namun di tahun yang sama, Partai Masyumi dibubarkan.

Sepanjang tahun 1960an hingga 1965, terjadi konflik-konflik tanah akibat perbedaan tafsir antara Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia tentang UU ini (dan UU Bagi Hasil bila tidak salah ingat).

Pasca 1965, PKI, partai yang cerewet soal isu ini, dinyatakan terlarang. Bagaimana nasib partai-partai lain? Nahdlatul Ulama tidak menjadi partai di Pemilu 1971 dan terisolasi dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan. Begitu juga Partai Nasional Indonesia, terisolasi di dalam Partai Demokrasi Indonesia.

Sepanjang masa orde baru, baik PDI maupun PPP bisa dikatakan dikendalikan oleh pemerintah. Pada saat yang sama, setiap upaya mengungkit masalah hak-hak tanah bakal dicap sebagai upaya membangkitkan komunisme.

Pada dasawarsa 1980an, tenggat waktu pengubahan bentuk sertifikat dari model lama ke model baru telah tiba dan banyak girik-girik yang belum gagal terkonversi. Kemudian pemerintah orde baru membentuk BPN untuk menyelesaikan masalah namun sejarah membuktikan banyak kasus-kasus ganjil terjadi seperti SHM yang tiba-tiba terbit dan dimiliki oleh orang tak dikenal atau sebaliknya banyak permintaan yang ditolak dengan berbagai alasan, antaranya "tanah milik negara". Padahal konsep "tanah milik negara" (domein verklaaring) secara sepihak ini seharusnya ditiadakan dengan keberadaan UU Pokok Agraria 1960.

Nah,
camkan ini.
Setiap kalian mendukung gerakan-gerakan "anti komunis", berteriak "awas komunis", pada hakikatnya kalian telah membantu mempermudah para kapitalis yang berniat mencaplok lahan-lahan rakyat seperti yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda.

PS: Dengan tulisan ini, semoga juga cukup jelas bahwa Pak Joko Widodo bukan seorang komunis, terlihat dari kebijakan yang ia lakukan. Siapapun yang menuding jari bahwa beliau adalah komunis, sesungguhnya ia adalah pendusta.

[penyangkalan: tulisan ini dibuat oleh saya -- orang sok tahu -- yang cuma baca-baca dari hasil pencarian googling alias gak punya ilmu soal hukum pertanahan kecuali sepintas lalu]

sumber gambar: https://www.facebook.com/GumpnHell/photos/a.1039934929398181/2019430171448647/?type=3&eid=ARD_OYoLHRM9P0kfu2iDHhMcOLqdQt5g5zhmNZ9ZN_5A7-iq9JSTxZWtXPXqjqFlUEdhlnG7EeiHRwuG&__tn__=EEHH-R

0 comments: