Monday, January 28, 2019

Penodaan Agama -- Dari Masa Soekarno hingga Penambahan Hukuman Penjara oleh Presiden Joko Widodo

Hukum penyalahgunaan atau penodaan agama sebenarnya tergolong baru di Indonesia. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Soekarno menjelang akhir masa kejayaannya, yakni Januari 1965. Sebelum Januari 1965, Indonesia relatif bebas dalam mengritik agama.
Pertentangan politik yang keras antara PKI dan kelompok Islam (Masyumi & NU) membuat konflik-konflik yang tadinya sekitar sosial ekonomi menjadi persoalan agama. Konflik-konflik berikut antara lain:
  • pengajaran logika kritik agama yang dilakukan oleh guru-guru SD berasosiasi PGRI non-vaks sentral;
  • gugatan terhadap wakaf-wakaf yang dianggap menghalangi pelaksanaan UU Pokok Agraria dan UU Perjanjian Bagi Hasil;
  • pementasan lakon-lakon drama yang bertema kritik namun menggunakan simbol-simbol agama seperti Malaikat KimpoiGusti Allah Ngunduh MantuPatine Gusti Allah.
Lebih lengkap bisa dilihat di buku Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional yang diterbitkan oleh Yayasan Obor.



Berbeda dengan komunis macam Tan Malaka yang walau kritis terhadap agama namun memiliki rasa hormat, generasi muda PKI di masa itu tidak segan untuk menyerang agama.
Bisa jadi karena selama dasawarsa 1950an, PKI melihat beberapa praktik-praktik kemunafikan yang dilakukan kader-kader partai agama di daerah. Misalnya, Njoto melaporkan bagaimana kader Masyumi bermain-main dengan Pasar Malam. Bisa dilihat di buku Njoto: Biografi Pemikiran 1951–1965 karya Fadrik Aziz Firdausi.
Lepas dari apapun latar belakangnya, Presiden Soekarno memutuskan bahwa serempet-menyerempet topik-topik agama ini sudah menjurus ke konflik yang mengerikan sehingga beliau berinisiatif mengeluarkan Penetapan Presiden No 1 tahun 1965 yang memperkenalkan sejumlah konsep:
“Agama yang dianut di Indonesia”
Sebelum peraturan ini, nyaris tak ada diskusi pembatasan agama kecuali Pancasila sila pertama. Pancasila ini pun juga sempat dikritik oleh Njoto di tahun 1957
"Sebagai demokrat tentu tak dapat kita menutup mata terhadap kenyataan, bahwa di samping monoteisme dan ateisme, juga ada politeisme. Umat Perbegu di Tapanuli misalya, mereka mengakui adanya Tiga Tuhan sehingga jika perumusan 'Tuhan Yang Maha Esa' yang dipakai, mereka itu harus diusir dari Indonesia! Di mana lagi, demokrasi, jika demikian?"
Penetapan Presiden 1965 membatasi agama yang dianut oleh rakyat Indonesia dengan pernyataan berikut dalam bagian penjelasan:
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).”
Tentu saja, Presiden Soekarno tidak menginginkan peraturan ini ditafsirkan sebagai larangan memeluk agama lain sehingga beliau melanjutkan dalam penjelasan peraturan bahwa:
“Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.”
Sayangnya, penjelasan ini nyaris tidak pernah dibaca karena penegak hukum biasanya langsung merujuk pada KUHP pasal 156a. Pada masa orde baru, Kong Hu Cu bahkan tidak diakui sebagai agama oleh Penguasa. Barulah pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Kong Hu Cu menempati posisi terhormatnya seperti semula.
“Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama”
Di peraturan ini, dijelaskan bahwa penyalahgunaan dan/atau penodaan agama adalah (dalam bentuk pernyataan negatif):
“di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Dengan demikian, bukan sekedar ucapan menghina belakang yang bisa dikenakan delik ini tetapi juga tafsir yang tidak sesuai pendapat utama (seperti Syiah dan Ahmadiyah yang tidak mengikuti penafsiran Sunni).
Memasukkan Delik Penyalahgunaan Ke Dalam KUHP
Secara sepihak, tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, melalui penetapan ini Presiden Soekarno menambahkan pasal baru di dalam KUHP, yakni 156a yang berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."

Penambahan HUKUMAN oleh Presiden Joko Widodo
Selama masa Orde Baru, KUHP pasal 156a ini dipandang sudah cukup untuk menjerat orang-orang yang dianggap melakukan penodaan agama tetapi di masa reformasi, sejumlah orang merasa tidak cukup.
Di tahun 2013, di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui masuknya delik penodaan agama ke dalam UU Ormas baru yakni UU no 17 tahun 2013.
Dalam Pasal 59 ayat 2(a) dan 2(b) di Undang-Undang Ormas tersebut, organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia dilarang melakukan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan, dan juga dilarang melakukan permusuhan, penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia. Organisasi kemasyarakatan yang melanggar hal ini dapat dikenakan sanksi administratis seusai Pasal 60 ayat 1.
UU Ormas tahun 2013 ini tidak membahas hukuman untuk pengurus atau anggota dari ormas tersebut sehingga hukuman yang dikenakan pada individu sesuai dengan KUHP pasal 156a yakni paling lama 5 tahun penjara. Misalnya pada tahun 2015, enam pengurus Gafatar dihukum 3–4 tahun penjara.
Presiden Joko Widodo, tampaknya menganggap hukuman untuk para pelaku pencemaran agama ini kurang dahsyat. Maka, pada tahun 2017, Presiden Joko Widodo memutuskan membuat Peraturan Pengganti Undang-Undang No 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menempatkan delik pencemaran agama di pasal 59 ayat 3(a) dan 3(b). Sementara itu dalam pasal 82 disisipkan ketentuan Pasal 82A terutama ayat (2) yang menyatakan hukuman untuk anggota dan/atau pengurus ormas adalah pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun.
Salam hormat untuk Anda, duhai Presiden Joko Widodo.
Belum setahun rekan anda semasa menjadi gubernur dahulu — Basuki Tjahja Purnama — dihukum atas penodaan agama dan anda memperberat hukuman untuk delik ini.

0 comments: