Kartini dan Diskriminasi Bahasa Penjajahan
Dikutip dari surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar tertanggal 13 Januari 1900, diterjemahkan dari bahasa Inggris hasil terjemahan Joos Cote yang ada di buku Kartini: The Complete Writings 1898-1905.
"... jadi tidak sia-sia ia diasingkan bertahun-tahun di tempat terkucil itu -- ia telah belajar tentang kehidupan, di antaranya, tak ada cara yang lebih baik untuk melayani orang-orang Eropa selain merangkak di depan mereka bersimpuh debu dan tidak berbahasa Belanda di lingkungan mereka. Ia boleh berbicara bahasa Prancis kepada babi-babi yang menghancurkan kebun-kebun warga desa, bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dengan anjing-anjing yang membuatnya terjaga di malam hari, dan berdiskusi dalam bahasa Jerman bersama sapi atau kucing-kucing. Orang lain kini telah mengambil alih kursi atasannya dan ketika posisi penerjemah bahasa Jawa tersedia, ia dipercaya dengan posisi itu. Kini ia bukan penghalang siapa-siapa!
Stella, aku tahu seorang asisten residen yang berbicara Melayu kepada bupati walaupun ia tahu persis bahwa si bupati bisa berbicara bahasa Belanda dengan fasih. Semuanya, bahkan berbicara bahasa Belanda kepada penguasa-penguasa pribumi di sini kecuali si asisten residen ini. Kakak-kakakku harus berbicara dengan bahasa Jawa Kromo (Jawa Halus) kepada atasannya dan atasannya akan berbicara dalam bahasa Belanda atau Melayu. Yang berbicara dalam bahasa Belanda adalah kawan-kawan kami dan beberapa di antara mereka mengajak kakak-kakakku menggunakan bahasa Belanda tetapi kakak-kakakku menolaknya dan Romo tidak mengizinkannya. Kakak-kakakku serta Romo tahu persis bahwa mereka harus menahan diri dalam hal ini. Terlalu banyak perhatian kepada 'gengsi' diberikan para pejabat yang mengira mereka adalah para dewa. Saya tak menaruh perhatian kepada kepura-puraan mereka: sungguh, saya terhibur melihat cara mereka membela gengsi itu di depan kami, para orang Jawa. Aku telah bercakap-cakap tentang ini bersama para pelayan sipil yang bersahabat. Mereka tidak menunjukkan ketidaksetujuan ataupun persetujuan dengan penilaianku tetapi aku yakin dalam hati mereka setuju. Tentunya ini juga demi gengsi mereka. Bisakah kau mengerti aku sulit menahan senyum di situasi seperti itu ? Betapa menarik para pria-pria besar itu mencoba menanam rasa hormat pada mereka di jiwa kami.
Aku harus menggigit bibirku untuk menahan tawa ketika, selama perjalanan, aku melihat asisten residen bepergian dari kantornya ke rumahnya di bawah bayang-bayang payung emas yang dipegang pelayannya di atas kepala "ningrat" sang asisten. Sungguh pemandangan yang menggelikan! Oh, manusia dewa, jika kau tahu betapa mayoritas, yang menyingkir dari jalan penuh hormat karena payung megah itu, kelak mengejekmu di belakang punggungmu. Apa yang engkau pikirkan terhadap fakta bahwa banyak, ya, sangat banyak, para pejabat pemerintah resmi meminta kepala-kepala desa mencium kaki mereka ? Ciuman kaki adalah penghormatan tertinggi yang diberikan kami, orang Jawa, kepada orang tua kami, anggota keluarga yang lebih tua, atau pemimpin kami. Kami tidak rela menunjukkan penghormatan ini kepada orang asing dan kami hanya melakukannya karena terpaksa, jika dibutuhkan.
Tidak! Orang Eropa hanya membuat dirinya tampak konyol di mata kami ketika ia meminta kami menunjukkan penghormatan yang hanya layak diberikan kepada pemimpin kami. Para residen dan asisten residen meminta kami memanggil mereka "Kanjeng" seperti seharusnya tetapi kini bahkan mandor kebun, mandor jalan, dan bisa jadi esok kepala stasiun pun juga akan meminta bawahan mereka memanggil gelar seperti itu yang sebenarnya bodoh. Apa mereka tahu arti 'Kanjeng' ? Mereka meminta bawahan mereka menghormati seperti menghormati pemimpin besar. Oh! Oh! Kukira hanya orang-orang Jawa bodoh yang suka pencitraan berlebihan itu, tetapi kini kulihat bahwa orang-orang barat yang berbudaya, berpendidikan, juga tidak lepas dari itu -- ya -- bahkan dengan semangat telaten terhadap pencitraan.
Aku tak akan mengizinkan wanita yang lebih tua dariku, walau status sosial mereka di bawahku, menunjukkan rasa hormat semacam itu walau aku layak. Aku tahu mereka bersedia, walau aku lebih muda, aku adalah keturunan bangsawan yang mereka puja, yang mereka bersedia mengorbankan nyawa dan harta. Sungguh menyentuh melihat orang-orang sederhana ini menyanjung atasannya. Sangat melukaiku melihat orang-orang, lebih tua dariku, berjongkok merayap bersimpuh debu di depanku.
Ketika kakakku pergi ke Belanda, ia juga meninggalkan musuh-musuhnya di sini. Bukannya ia pernah bersikap buruk kepada mereka tetapi mereka tidak akan memaafkan si Jawa yang berani berinisiatif untuk meraih keterampilan dan pengetahuan yang menjadi milik penguasanya. Banyak orang-orang Eropa di sini khawatir bahwa orang-orang Jawa -- bawahan mereka -- perlahan belajar mendidik diri sendri, dan kini seorang kulit coklat muncul menunjukkan bahwa ia juga punya otak di kepala dan hati di badan yang sama seperti kulit putih.
Banyak perhatian kepada ceramah kakakku itu, bahkan dikutip di pidato anggaran tahu 1900. Sebuah komisi akan didirikan untuk menyelidiki kebenaran perkataannya tentang betapa besar keinginan untuk membuat bahasa Belanda menjadi sebagai bahasa wajib antara orang-orang Eropa dan para pelayan sipil lokal. Dan, oh senangnya, semua koran-koran Hindia berada di sisi kakakku. Sebagai tanggapan, seorang kawan kaum Jawa menulis berbagai editorials membahas kepentingan murid-muridnya (para orang Jawa). Oh, aku tahu saat kakakku pulang nanti, ia bisa menghitung banyaknya kebencian para pejabat Eropa di sini dan ia juga akan menemukan perlawanan yang sama dari warga swasta Belanda.
Tapi lakukanlah terserah kalian, kalian tak akan bisa menahan gelombang waktu. Aku senang dengan orang Belanda dan aku bersyukur banya hal hal yang bisa kunikmati dari mereka. Banyak dari mereka yang bisa kami panggil teman tetapi juga cukup sangat sangat banyak yang membenci kami tanpa alasan selai karena kami berani bersaing dengan mereka dalam akademis dan budaya. Mereka menunjukkan hal ini dengan jelas kepada kammi dengan cara yang menyakitkan. 'Saya Eropa, Engkau Jawa' atau dengan kata lain, 'Saya penakluk, engkau yang ditaklukkan' Tidak hanya sekali tetapi beberapa kali kami disapa dalam bahasa Melayu terbata-bata walaupun mereka tahu persis kami fasih berbahasa Belanda. Sebenarnya tidak masalah bagi kami bahasa apa yang digunakan selama niatnya tulus. Akhir-ahir ini, seorang Raden Ayu disapa dengan cara tak hormat seperti ini oeh seorang pria dan dengan percaya diri, ia menjawab, 'Tuan, maafkan aku untuk meminta, tetapi maukah Anda dengan baik berbicara kepadaku dengan bahasa Anda sendiri. Saya bisa berbicara dan paham bahasa Melayu tetapi sayangnya hanya Melayu tinggi. Saya tidak bisa berbahasa Melayu pasar.' Apakah rupa hidung tuan kita itu berubah?! Ya, dengan sangat buruk!
Kenapa betapa banya orang-orang Belanda yang tak suka bercakap dengan kita dengan bahasanya sendiri? Oh! Aku tahu! Bahasa Belanda pastilah terlalu indah untuk diucapkan oleh mulut kulit coklat. Di hari lain kami mengunjungi beberapa kaum Totok. Orang-orang yang melayani di sana adalah mantan sahabat-sahabat kami. Kami tahu persis mereka bisa mengerti dan berbicara bahasa Belanda secara fasih. Aku katakan pada orang-orang tentang ini dan apa tanggapan dari tuan rumah kami? 'Tidak! Mereka tak boleh berbahasa Belanda.' 'Kenapa tidak? Kenapa?', tanyaku. 'Orang-orang inlander tak boleh berbicara bahasa Belanda.' Dengan terkejut, aku menatap tuan rumah kami. Aku sadar cukup cepat dari rasa terkejut dan senyum mengejek kecil muncul di sudut bibirku. Pria necis ini memerah, menggumamkan sesuatu di jenggotnya, dan tamapaknya menemukan sesuatu menarik di sepatunya, setidaknya ia memberikan seluruh perhatiannya ke arah itu."
0 comments:
Post a Comment