Thursday, April 01, 2021

Kesinambungan Ilmu, bukan sekedar Barat vs Timur



 



"Ilmuwan barat curang! Yang pertama menemukan teori heliosentris bukan Copernicus dari Polandia tetapi Al-Biruni dari Persia".


Sebentar! Sebentar!

    Pertama, teori heliosentris sudah ada berabad-abad sebelum Copernicus ataupun Al-Biruni. Astronomer Seleukus dari Seleukia sudah menyatakan itu di abad 2 SM. Matematikawan Aristarkhus dari Samos juga sudah menduga itu di abad 3 SM. Bahkan menurut Sayyed Hossein Nasr, Al-Biruni berdiskusi dengan ilmuwan India. Kejutannya adalah, Al-Biruni, walau menyadari Heliosentris, sebenarnya cenderung ke Geosentris walaupun ia mengakui Heliosentris ada benarnya.

    Nah, balik lagi ke soal Copernicus, kenapa ia yang lebih sering disebut sebagai Heliosentris? Kenapa bukan Seleukus atau Aristarkhus ?

    Ada dua alasan:

1. alasan heroisme, ia menuliskan itu ketika menyatakan teori itu bisa berdampak serangan secara fisik dari pihak penguasa. Bahkan sebenarnya tulisan itu baru disebarkan setelah Copernicus wafat;

2. terbitan Copernicus mendorong gelombang pemikiran sains, dalam pengertian teori tersebut tidak berhenti di situ.


    Setelah teori Copernicus muncul, maka kemudian muncul Johannes Kepler dari Jerman yang mengamati pergerakan bintang dan mengritik pola lingkaran Copernicus dan menyederhanakanya menjadi lintasan elips. Selain itu perlawanan Copernicus juga menginspirasi Galileo untuk menyelidiki sejumlah klaim seperti perbedaan berat benda akan mempengaruhi kecepatan benda jatuh, yang ternyata tidak demikian. Setelah itu muncul generasi selanjutnya, Isaac Newton dari Inggris, yang menemukan persamaan gravitasi sehingga lintasan elips yang diajukan oleh Kepler menjadi mungkin. Dan demikian dunia sains sahut menyahut sehingga ilmu tersebut sampai ke masa modern.

    Pertanyaannya adalah, seandainya Al-Biruni memang benar-benar mendukung Heliosentris, mengapa Copernicus tetap lebih diutamakan ? Selain bahwa Al-Biruni tidak benar-benar mendukung penuh Heliosentris, tidak ada pengaruh besar teori dia terhadap generasi masa kini, sama halnya tidak ada pengaruh besar teori Aristarkhus. Para penganut heliosentris pra-Copernicus hanyalah menjadi catatan kaki belaka, sama seperti Democritus menjadi catatan pinggir sementara John Dalton tetap lebih utama dalam bidang kimia. Sebaliknya, Euclid dan Phytagoras tetap dapat nama begitu juga bukunya Al-Khawarizmi yakni Hisab Al-Jabru wa Muqabala (disingkat Aljabar) masih dikenang karena ilmunya masih tersambung ke masa kini. Bahkan konon Algoritma (Algorithmi) berasal dari nama Al-Khawarizmi.

    Saya paham bahwa dalam melawan perasaan inferioritas terhadap bangsa Barat, terkadang kita menggali kembali budaya non-Barat, tetapi berbicara sejarah sains, kadang harus periksa juga apakah tulisan ilmuwan bersangkutan mempengaruhi generasi setelahnya. Jadi, jangan hanya sekedar cuplik nama orang-orang terdahulu saja tetapi kembangkan juga.


Keterangan buku yang ada di foto:

Nasr, Sayyed Hossein. An introduction to Islamic cosmological doctrines : conceptions of nature and methods used for its study by the Ikhwān al-Ṣafāʾ, al-Bīrūnī, and Ibn Sīnā. 1993. State University of New York Press.

Bisa dipinjam di Archive.org 

https://archive.org/details/introductiontois00nasr

0 comments: