Tuesday, August 17, 2021

Hatta dan Papua

 "Benarkah Bung Hatta menolak Papua bagian dari Indonesia?"

Itu adalah pertanyaan yang pernah diajukan kepada saya. Jawaban singkat dari pertanyaan di atas adalah "tergantung, Bung Hatta pada periode apa yang kita bicarakan." 


Keterangan foto: Bung Hatta dan Obahorok, Kepala Suku Dani di Wamena, Lembah Baliem. Juga ada Halida, Meutia, Subijakto, dokter Nurhay Abdurrahman, Sudjarwo Tjondronegoro. Foto diambil dari Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya yang diterbitkan tahun 2015 oleh Kompas Media Nusantara.



Pada dasarnya sikap Bung Hatta terhadap Papua bisa dibagi menjadi tiga periode:

1. periode ketika Bung Hatta menolak Papua bagian dari Indonesia (1945-1949)

2. periode ketika Bung Hatta mendukung Indonesia merebut Papua (1957-1961)

3. periode ketika Bung Hatta mengunjungi kembali Papua (1970an)


Jadi berikut saya akan meringkas sikap-sikap Bung Hatta tersebut sekaligus memberikan gambaran mengapa Bung Hatta memiliki perubahan sikap seperti itu. 

Sekedar catatan, karena topik ini adalah tentang Bung Hatta, maka saya akan cenderung mengutip sumber-sumber yang pro-Indonesia. Jika Anda ingin membahas tentang Papua itu sendiri maka sebaiknya Anda juga memperkaya diri dengan sumber-sumber yang mengisahkan sejarah Papua dari sudut pandang orang-orang Papua termasuk yang menginginkan kemerdekaan Papua.



Ketika Bung Hatta Menolak Papua (1945-1949)

Periode ini adalah periode paling terkenal karena sering dikutip oleh orang-orang yang mendukung kemerdekaan Papua. Banyak dari orang Indonesia yang tidak tahu tentang hal ini dan kadang justru membuat terkaget-kaget. Untuk memahami kenapa, kita harus tahu mengapa banyak dari pendiri bangsa ini yang ingin memasukkan Papua.

Alasan memasukkan Papua

Alasan-alasan yang sering diutarakan untuk memasukkan Papua antara lain:

1. Papua adalah bagian dari Hindia Belanda; .; (argumen Woerjaningrat dan Soemitro Kolopaking pada rapat BPUPKI 10 Juli 1945.  Papua baru dipisahkan dari Hindia Belanda ketika perubahan konstitusi diajukan tahun 1952 dan akhirnya dipisah pada revisi konstitusi Belanda tahun 1956 [1])

2. Tanah Papua bisa juga jadi sumber kekayaan Indonesia; (argumen AK Moezakir pada rapat BPUPKI 10 Juli 1945)

3. Papua tidak asing bagi penduduk Tidore, Ambon, Halmahera, Timor; (argumen M. Yamin pada rapat BPUPKI 10 Juli 1945)

4. Papua sudah menjadi bagian wilayah Majapahit; (argumen M. Yamin -- sekedar catatan Wanin / Onin atau sekarang dikenal sebagai Fakfak memang disebut dalam Negarakertagama)

5. Putera-putera Indonesia sudah menumpahkan darahnya melawan sekutu, jadi jangan dibatasi oleh sekutu; (argumen Abdul Kaffar pada rapat BPUPKI 10 Juli 1945)

6. Papua adalah wilayah dari Tidore (argumen ini tidak muncul di rapat BPUPKI, tetapi muncul di Konferensi Meja Bundar, terutama dari Negara Indonesia Timur);


Maka pada tanggal 11 Juli 1945, Bung Hatta meminta agar rekan-rekan di BPUPKI berhati-hati dalam menuntut Papua.

1. Keinginan mendapatkan Papua tidak boleh karena strategi. Pernyataan ini adalah pernyataan imperialistis. Bila ini dilakukan, bisa jadi Indonesia akan meminta daerah lain seperti Kepulauan Solomon;

2. Keinginan mendapatkan Papua harus juga melihat situasi politik internasional. Pada saat itu (1945), Indonesia akan mendapatkan wilayah dari Pemerintahan Nippon;

3. Tidak ada bukti kuat bahwa orang-orang Papua sebangsa dengan Indonesia. Orang Papua adalah bangsa Melanesia. Memang di wilayah Timur Hindia Belanda, banyak bercampur orang Melanesia dengan bangsa lain tetapi kondisi Papua jangan disamakan dengan wilayah-wilayah itu. 

Perlu diingat, dibandingkan kawan-kawan di BPUPKI, Bung Hatta pernah mengalami hidup di pedalaman Papua (Digul) dan bergaul dengan penduduk setempat seperti suku Kaya-Kaya.

4. Tidaklah tepat argumen wilayah karena putera Indonesia telah menumpahkan darah di tempat itu. Jika demikian, maka Jepang lebih punya hak atas Papua;

5. Jika ingin mendapatkan Papua, berarti juga harus bisa mendidik bangsa Papua menjadi bangsa yang merdeka. Indonesia belum sanggup  melakukan ini, tidak pula dalam beberapa tahun ke depan.

 

Dari sisi fakta, sebenarnya pada saat rapat BPUPKI itu, Jepang sudah kehilangan beberapa wilayah Papua. Pada bulan April 1944, Sekutu sudah mendarat di Hollandia (sekarang Jayapura). Pada tahun 1944 itu, wilayah Biak dan Merauke sudah dikuasai oleh sekutu. Jan Pieter Karel van Eechoud bahkan sudah membuka sekolah polisi di Merauke.[2]

Setelah itu, masih pada tahun yang sama, van Eechoud juga membuka Sekolah Pamong Praja (Bestuurschool) di Kota NICA (sekarang Kampung Harapan, Jayapura).  Pergerakan-pergerakan Papua dimulai dari sekolah ini. Ironisnya, gerakan nasionalisme Indonesia juga dimulai dari sekolah ini karena van Eechoud merekrut bekas buangan Digul, Soegoro Atmoprasodjo untuk mengajar orang-orang Papua di sekolah ini.

 Lepas dari fakta-fakta tersebut Bung Hatta kalah suara di rapat BPUPKI. Pada pemungutan tanggal 11 Juli tersebut, ada tiga pilihan, mereka adalah:

1. Hindia Belanda - dipilih oleh 19 suara;

2. Hindia Belanda, Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor - dipilih oleh 39 suara

3. Hindia Belanda minus Papua - dipilih oleh 6 suara. 


Dengan demikian, isu Papua juga dibawa ke Konferensi Meja Bundar, terutama didorong oleh Ide Anak Agung Gde Agung dari Negara Indonesia Timur. Menurutnya, Papua adalah bagian dari Tidore dan karena itu harus bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Sebaliknya Belanda bersikukuh mempertahankan Papua.

Bung Hatta, mempertimbangkan pernyataan TB Simatupang bahwa Indonesia sedang kekurangan logistik dan akan berat menempuh jalan peperangan, memilih untuk menunda pembicaraan tentang Papua [3]. Untuk Hatta, mendapatkan pengakuan kedaulatan lebih penting.



Ketika Bung Hatta Mendukung Indonesia merebut Papua (1957-1961)

Pada bulan November 1961, tulisan Bung Hatta, Colonialism and The Danger of War dimuat di jurnal Asian Survey Vol I No 9 [4]. Dimuat sebulan sebelum Bung Karno mengumumkan Operasi Trikora, Bung Hatta bersuara lebih tegas dibandingkan Konferensi Meja Bundar, meminta agar Irian Barat (sekarang Papua Barat) diserahkan kepada Indonesia. Berikut adalah argumen Hatta dalam tulisan tersebut:

1. Perjanjian Linggarjati pasal 3 menyebutkan bahwa Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Bila ada  populasi wilayah yang tidak ingin bergabung maka harus ada pemilihan demokratis yang menghasilkan suara bahwa mereka memang tidak mau bergabung dengan Republik Indonesia Serikat.
Tidak ada wilayah yang menyatakan demikian sebelum pembentukan Republik Indonesia Serikat. Jadi suara-suara ingin memisahkan diri setelah pengakuan kedaulatan, menurut Bung Hatta, adalah hasil dari kerja kolonial;
2. Dalam perundingan Linggarjati maupun Renville, Belanda sama sekali tidak pernah membahas tentang Irian. Wilayah Irian baru disinggung pada perundingan persiapan Konferensi Meja Bundar, yakni perundingan yang kini dikenal sebagai perjanjian Roem Royen. 

3. Isu tentang Papua seharusnya usai dibahas setahun setelah penyerahan kedaulatan tetapi Belanda tetap menahan-nahan dan upaya menahan penyerahan Irian tidak lebih dari sekedar menjaga gengsi.  

4. Akibat perubahan sikap Belanda, maka Indonesia menarik diri dari Perserikatan Indonesia-Belanda pada tahun 1956 dan melakukan langkah nasionalisasi.

 

Sebenarnya, apa yang ditulis oleh Bung Hatta pada tahun 1961 ini sudah pernah diungkapkan pada tanggal 18 November 1957 di depan Rapat Rakyat yang bertema Aksi Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta [5]. Pertanyaannya, apakah yang mengubah sikap Bung Hatta pada tahun 1957 ini ?

Menggali informasi seadanya, ternyata karena ada banyak migrasi orang-orang Belanda dan Indo-Belanda ke Papua pada masa 1949 hingga 1955.

Sebenarnya, pada tahun 1930an sudah ada migrasi Indo-Belanda ke Papua diinisiasi oleh dua kelompok yakni Stichting Immigratie en Kolonisatie Nieuw Guinea (SIKNG) dan Vereeniging Kolonisatie Nieuw Guinea (VKNG). Misalnya antara 1930 dan 1934, ada 377 orang koloni yang pergi ke Manokwari dan 203 koloni yang pergi ke Hollandia (Jayapura) [6]. Dari koloni itu, ternyata 124 orang kembali ke Jawa dari Manokwari dan 106 kembali dari Hollandia. Setelah itu, sekitar 250 orang koloni ada di Manokwari pada tahun 1935 dan 93 orang koloni bertahan di Hollandia pada September 1934. 

Namun ketika kemerdekaan Indonesia tampak tak terbendung, maka pada Desember 1949, Manokwari didatangi 1400 Indo-Belanda dari Jawa, alias tiga kali lebih banyak daripada tahun 1930an. Setelah itu pun masih ada ratusan Indo-Belanda yang datang ke Manokwari.  Pemerintah Belanda pun mulai peduli pada kaum koloni dan memberi bantuan, berbeda dengan sikap mereka pada tahun 1930an.

Bagaimana dengan Kota Hollandia? Menurut Broekhuyze, jumlah penduduk di Hollandia berkembang pesat pada dasawarsa 1950an. Pada tahun 1940, hanya ada 300 penduduk di kota Hollandia. Pada tahun 1952, ada 2043 penduduk di kota Hollandia. Pada tahun 1955, jumlah penduduk melesat menjadi 5977. 

Bagaimana dengan komposisi penduduk? Menurut Lucas, Jumlah penduduk Belanda  di Kota Hollandia  pada tahun 1955 berjumlah 2815 orang. Karena menurut Lucas jumlah penduduk Kota Hollandia berjumlah 7844 maka persentase Belanda di Kota Hollandia adalah 35,8 persen.  [7]

Jadi pada dasarnya, Bung Hatta melihat pola sama berulang di Irian Barat, yakni sebuah upaya memulai penjajahan baru. Dan pada tahun 1958, Belanda mulai merazia gerakan-gerakan pro-Indonesia di Papua seperti penyitaan bendera merah putih dari Yakop Thung Tjing Ek dan Benjamin Kajai.

Memang kemudian Belanda berubah sikap di tahun 1960, lebih memprioritaskan penduduk lokal daripada koloni. Bahkan terjadi proses repatriasi, perpindahan penduduk Indo-Belanda dan warga Belanda dari Papua ke Belanda. Selain itu juga mulai dibentuk Dewan Nieuw Guinea dan berdirilah partai-partai lokal pada tahun 1960. Namun langkah-langkah itu ditanggapi dengan skeptis oleh pihak Indonesia dan Operasi Trikora dideklarasikan pada tanggal 19 Desember 1961.


Ketika Bung Hatta Mengunjungi Kembali Papua (1970an)

Pada fase ini, Bung Hatta tidak berbicara banyak tetapi sikapnya tercatat dalam pengamatan sekretarisnya, I Wangsa Widjaja.  Sebelum membahas sikap Bung Hatta, mungkin ada baiknya kita melihat Perjanjian New York pada tanggal 15 Agustus 1962 yang mengakhiri Perang Indonesia-Belanda.

Perjanjian New York, pada dasarnya adalah penyerahan Papua dari Belanda kepada Indonesia dengan diselingi penyerahan kepada PBB diwakili komisi khusus UNTEA. Jadi selama setahun, Papua di bawah PBB. Kemudian setelah segala urusan beres, UNTEA menyerahkan Papua kepada Indonesia dengan beberapa syarat yakni:

Indonesia akan menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) selambat-lambatnya akhir 1969. Sebelum Pepera itu dilakukan, setelah penyerahan dari UNTEA, Indonesia harus meningkatkan pendidikan terhadap rakyat, membasmi buta huruf, dan memajukan pengembangan sosial ekonomi dan kebudayaan Papua(pasal 15-20). [8]. 

Apakah Indonesia berhasil menepati perjanjian itu ? Pada Musyawarah ke-I Rakyat Propinsi Irian Barat, Kolonel Sutjipto menyayangkan terjadinya perkelahian antara prajurit dari Jawa dengan pelajar Papua. Perkelahian itu ternyata pun juga ada di Jakarta. Seorang pemuda pelajar dari asrama Irian tak sengaja menyenggol orang Jawa di Tanah Abang lalu orang-orang Jawa berencana untuk menyerbu Asrama Irian. Pak Tjipto di depan rakyat Papua mengatakan bahwa ia tak suka perkelahian individu dibawa menjadi perselisihan suku dan mengatakan nanti kalau sudah saling kenal, beliau percaya tidak akan terjadi salah paham lagi. [9].

Namun optimisme Sutjipto dalam Musyawarah Rakyat Irian tahun 1964 itu tampaknya tak tercapai. Jusuf Wanandi bercerita, pada Mei 1967, ia menjadi tim pencari fakta. Beliau melaporkan:

"Irian Barat telah lama diabaikan sejak kembali ke Indonesia pada awal 1963, terutama karena krisis nasional yang berkembang di Jakarta. Sementara itu, seluruh wilayah sudah dijarah oleh Angkatan Bersenjata kita. Situasi ini disebabkan oleh kondisi ekonomi Indonesia semakin buruk. Apa pun yang saya periksa telah dijarah. Tidak ada lagi bahan makanan atau barang-barang lain. Sampai sampai botol bir dan alat-alat listrik di perumahan pun dibawa ke Jawa atau daerah lain di Indonesia.

Memang ekonomi lokal sudah dalam keadaan yang menyedihkan sebelumnya, dan menjadi semakin parah. Jelas penduduk sangat marah kepada Indonesia karena penjarahan dan ketidakpedulian. Kalau Pepera diadakan pada waktu itu juga, kita pasti akan kalah."

Jadi, selama dua tahun menjelang Penentuan Pendapat Rakyat, Jusuf Wanandi di bawah Ali Moertopo melakukan operasi membujuk Papua, mulai dari mengimpor rokok Belanda merek Van Nelle de Weduwe dan juga bir yang disukai rakyat Papua. Selain itu ia juga meminta bantuan Gereja Katolik dan Protestan untuk menjelaskan Pancasila kepada rakyat Papua. Lalu dengan bantuan 250 mahasiswa, membangun rumah dan membagikan bahan pokok. [10]. 

Singkatnya, pada Pepera tahun 1969, lepas dari berbagai kontroversi, perwakilan Papua memutuskan bergabung dengan Indonesia. Namun apakah kemudian Indonesia peduli kepada Papua? Perjalanan Bung Hatta ke Digul ternyata tidak memberi kesan baik kepada beliau.

Sekitar awal 1970, seseorang yang disebut Mas Marmo membujuk Bung Hatta untuk berkunjung ke Papua. Mas Marmo ini dahulu menyambut Bung Karno pada Mei 1963 di Papua dan merasa tugasnya belum lengkap kalau belum menyambut Bung Hatta.

Bung Hatta menolak karena tidak punya ongkos tetapi Mas Marmo mendesak dan menjamin. Bung Hatta bersedia asalkan ia diperbolehkan mengajak sejumlah orang seperti kawan yang dahulu juga dibuang (Sajuti Melik), dokter pribadi, dua sekretarisnya, dan sejumlah orang lain termasuk dua putrinya, Meutia dan Halida. Mas Marmo menyatakan pemerintah bersedia menanggung ongkos maka berangkatlah Bung Hatta dan rombongan ke Papua.

Sesampainya di Jayapura, Mas Marmo menyodorkan amplop berisi uang. Bung Hatta menolak karena menurutnya sudah cukup pemerintah mengongkosi rombongannya. Mas Marmo mendesak karena Bung Hatta dianggap sebagai pejabat dan harus diberikan amplop. Bung Hatta menolak karena uang itu adalah uang rakyat. Mas Marmo pun tidak berdebat lanjut dan hanya menyimpan amplop tersebut.

Di Digul, Bung Hatta ternyata tidak terkesan pada tempat tersebut setelah berada di tangan Indonesia. Wangsa Widjaya melaporkan:

"setelah kami kembali dari lokasi pembuangan orang-orang pergerakan itu, saya melihat Bung Hatta agak termenung. Beliau tampaknya amat terharu menyaksikan keadaan rakyat di sana, yang pada kenyataannya jauh lebih buruk dari keadaan ketika Bung Hatta tinggal di sana sebagai orang bunangan. Dari keterangan beberapa orang penduduk, kami baru mengetahui, bahwa suplai obat-obatan ataupun bahan-bahan kebutuhan vital lainnya jarang sekali mereka peroleh dari pemerintah, karena pengiriman barang ke daerah itu amat sulit. Bila keadaannya memang memaksa, maka mereka akan mengirim utusan ke Merauke, dengan menyusuri Sungai Digul, untuk mendapatkan sekadar apa yang mereka butuhkan."


Jadi ketika berada di rumah camat daerah Digul, Bung Hatta diminta sambutannya oleh pemuka masyarakat Digul. Sebelum memberikan pidato, Bung Hatta memanggil Mas Marmo meminta uang amplop yang ditolaknya saat di Jayapura. Mas Marmo ternyata masih menyimpan uang tersebut dan memberikannya kepada Bung Hatta.

Bung Hatta berpidato tidak terlalu panjang. Namun menjelang menutup pidato, Bung Hatta menyodorkan amplop kepada pemuka Digul yang memintanya berbicara dan Bung Hatta mengatakan,"Sebelum saya dan rombongan saya meninggalkan daerah Digul ini, saya ingin menitipkan sesuatu .... Ini sekadar oleh-oleh dari saya untuk masyarakat ini."

Ketika pulang, Bung Hatta sempat berkelakar kepada Mas Marmo yang mengundangnya, uang itu adalah uang rakyat dan karena itu harus kembali kepada rakyat. [11]


Bung Hatta wafat pada Maret 1980. Setelah kunjungannya ke Digul, saya tidak menjumpai sikap atau pendapat beliau tentang Papua. Namun pada tahun 1975, ketika beliau dan rekan-rekan mantan BPUPKI diminta menjelaskan tentang Pancasila, beliau mengeluarkan sebuah kritikan keras. 

"Kadang-kadang dalam lingkungan petugas negara Pancasila itu tidak diamalkan. Beberapa tahun yang lalu terjadi di Jakarta suatu hal yang menyedihkan dan memalukan Pemerintah dan Negara. Seseorang yang dituduh mencoba mencuri becak ditahan dalam bui. Selama 15 hari ia ditahan, tetai tidak diberi makan. Akibatnya jatuh meninggal di muka pengadilan, waktu perkaranya akan diadili.

Alasan polisi yang menahannya yang mengatakan, bahwa polisi tidak diberi uang untuk ongkos makannya adalah suatu alasan yang tidak berdasarkan tanggung jawab, bertentangan sama sekali dengan dasar negara, dengan dasar kemanusiaan dan dasar keadilan ..... dan terutama dasar Pancasila. Kalau tidak sanggup memberi makan, janganlah orang ditahan!"[12]


Walaupun kritik tersebut menanggapi kasus di Jakarta, saya rasa kritik tersebut juga bisa diterapkan pada kasus-kasus di Papua mengingat kasus-kasus extrajudicial killing (pembunuhan di luar sidang) yang cukup banyak. Seandainya beliau masih hidup setelah reformasi, mendengarkan kasus-kasus yang terjadi di Papua, niscaya beliau juga akan keras mengritik kasus-kasus tersebut. 



Daftar Rujukan

[1] Perubahan konstitusi Belanda tahun 1956 bisa dilihat pada  https://repository.overheid.nl/frbr/sgd/1956/0000275744/1/pdf/SGD_1956_0000051.pdf  (terakhir diakses tanggal 17 Agustus 2021)

[2] Meteray, Bernarda. Nasionalisme Ganda Orang Papua. (2012). Kompas Media Nusantara

[3] Sitompul, Martin. Demi Pengakuan Kedaulatan. (2017). Historia.id. Bisa dibaca di https://historia.id/politik/articles/demi-pengakuan-kedaulatan-P9jMZ/  (terakhir diakses tanggal 17 Agustus 2021).

[4] Hatta, Mohammad. Colonialism and The Danger of War. (1961). Asian Survey Vol 1 No 9.

Bisa dibaca secara daring di https://online.ucpress.edu/as/article-abstract/1/9/10/19781/Colonialism-and-the-Danger-of-War (diakses terakhir tanggal 17 Agustus 1945).

Bisa pula dibaca di buku Portrait of Patriot yang diterbitkan oleh Mouton & Co tahun 1972. 

Bisa pula dibaca terjemahannya pada Karya Lengkap Bung Hatta: buku 3: Perdamaian Dunia dan Keadilan Sosial yang diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 2001. 

[5] Pidato ini diterbitkan oleh Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat pada tahun 1957 dan dimasukkan ke dalam Karya Lengkap Bung Hatta: buku 2: Kemerdekaan dan Demokrasi yang diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 2000. Pidato ini dimasukkan dengan judul Jangan Ragu-Ragu Lagi

[6] Sinaga, Rosmaida. Kolonisasi Belanda di Nederlands Nieuw Guinea. (2007) Jurnal Sejarah Lontar Vol 4 No 2. Juli-Desember 2007. 

[7] Herman Renwarin dan John Pattiara. Sejarah Sosial Daerah Irian Jaya dari Hollandia ke Kota Baru (1910-1963). (1984). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 

[8] Indonesia and Netherlands. Agreement (with annex) concerning West New Guinea (West Irian). Signed at the Headquarter of the United Nations, New York, on 15 August 1962.  bisa diakses di https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/Volume%20437/volume-437-I-6311-English.pdf (terakhir diakses tanggal 17 Agustus 2021). 

[9] Sutjipto. Pembangunan Irian Barat dalam Hubungan Pembangunan Nasional - dalam buku Musjawarah ke-I Rakjat Propinsi Irian Barat (30 April - 9 Mei 1964). (1964). Sekretariat Kordinator Urusan Irian Barat pada Wakil Perdaana Menteri I. 

[10] Wanandi, Jusuf. Menyibak Tabir Orde Baru: Memor Politik Indonesia 1965-1998. (2018). Kompas Media Nusantara. 

[11] Widjaja, I Wangsa. Mengenang Bung Hatta. (1988). CV Haji Masagung Jakarta

[12] Hatta, Subardjo, Maramis, Sunario, Pringgodigdo. Uraian Pancasila. (1977). Penerbit Mutiara, Jakarta.

0 comments: