Tuesday, December 12, 2023

Perkara Bendera Papua

Berdasarkan UU Otonomi Papua no 21 tahun 2001, Papua berhak memiliki lambang daerah berupa dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah. Lambang daerah Papua di sini bukan sembarang lambang melainkan "simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua".




Undang-undang ini ditandatangani di awal masa pemerintah Megawati, lima bulan setelah ia menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid. Presiden sebelumnya, akrab dipanggil Gus Dur, membolehkan Provinsi Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora. Ya! Bendera Bintang Kejora!



Ketika kita bicara tentang bendera yang memiliki simbol kultural Papua, maka kita bicara tentang Bintang Kejora. Bintang di bendera itu bukanlah lambang Ketuhanan terinspirasi Pancasila seperti pada bendera Provinsi Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Daya. Bukan!

Bintang kejora adalah lambang dari mitologi Koreri khas Papua. Sementara biru, putih, dan merah, adalah ramalan dari Angganitha, pemimpin gerakan melawan Belanda dan Jepang pada tahun 1938-1942.

Namun Bintang Kejora tetap dimusuhi setelah itu, dianggap sebagai bendera kedaulatan. Setiap kali ditemukan, akan segera disita. Bahkan begitu sensitifnya urusan bendera, pada Juni 2018, ketika sedang ramai-ramainya Piala Dunia, tiba-tiba Kepolisian Sorong sampai mengancam warga yang mengibarkan bendera negara lain.




Jadi, ketika pada 1 Desember 2018, sejumlah karyawan proyek TransPapua diduga memergoki pengibaran bendera bintang kejora dan merekamnya, maka hal itu pun bukanlah perkara sepele.

Pelarangan Bintang Kejora, termasuk dengan membuat pasal 6 ayat 4 Peraturan Pemerintah No 77 tahun 2007, adalah bentuk kearoganan Jakarta yang menolak memahami budaya Papua.

Jika Pemerintah selanjutnya berniat membuka dialog, maka revisi Peraturan Pemerintah no 77 tahun 2007 tentang bendera ini perlu dilakukan dan Pusat harus berani memberi toleransi.

Catatan: Tulisan ini ditulis setelah mendengarkan Debat Capres 12 Desember 2023.

0 comments: