Monday, March 27, 2006

Dari Nineteen Eighty-Four (1984) ke V for Vendetta:
Penggambaran Pemerintah nan Kejam di dalam Fiksi
...

Diputarnya film V for Vendetta produksi Warner Bross dan Silver Pictures di bioskop-bioskop mendapat tanggapan yang cukup positif dari para pengunjung situs Internasional Movie Database (imdb.com). Film V for Vendetta menambah jumlah karya fiksi yang bertemakan hal yang cukup jarang, yaitu dystopia (distopia) dengan karakter pemerintah sebagai antagonis. Jenis dystopia tipe ini memang jarang dijumpai karena cerita seperti ini membutuhkan watak-watak yang banyak, yang mewakili masyarakat dan partai yang berkuasa. Beberapa cerita yang nyaris mendekati distopia anti pemerintah menjadi distopia belaka ketika sang tokoh, alih-alih berniat menghancurkan sebuah pemerintahan, hanya berniat menghancurkan sebagian kecil dari pemerintahan, seperti Fortress yang dibintangi Christoper Lambert yang hanya menghancurkan penjara.

Ketika tokoh antagonis cerita jenis ini selalu sama, yakni pemerintah itu sendiri, setiap kekejaman yang dilakukan para pemerintah fiksional di kisah-kisah ini selalu didasari motivasi yang berbeda-beda. Walaupun begitu, masyarakat yang menjadi korban, selalu menjadi masyarakat yang serupa: apatis, lemah motivasi, homogen, mempercayai apapun yang disebarluaskan pemerintah. Akan menarik tampaknya bila motivasi-motivasi dari pemerintah-pemerintah fiksional tersebut diperhatikan secara baik-baik. Berikut ini adalah contoh-contoh kisah distopia anti-pemerintahan yang bisa mewakil beberapa di antaranya.


UTOPIA

Utopia mungkin adalah karya fiksi pertama yang membahas sistem pemerintahan. Dalam buku ini, Thomas More berpendapat pemerintahan ideal adalah pemerintahan dengan jumlah peraturan yang sedikit dan memperhatikan rakyatnya. Perlu diperhatikan bahwa di masa Thomas More hidup, Eropa adalah benua yang tidak aman, dengan jumlah pencurian yang banyak. Menghadapi situasi carut marut seperti itu, umumnya, para raja yang memang dari awal tidak perduli kehidupan rakyatnya, langsung menjatuhkan hukuman mati.

Melalui cerita ini, More mengritik kebijakan raja-raja yang langsung menjatuhkan hukuman mati tanpa memperdulikan sebab-sebab banyaknya kasus pencurian. Menurut More, kasus pencurian terjadi karena masyarakat dipaksa untuk menjadi pencuri sementara tuan-tuan tanah yang jumlahnya sangat sedikit, menghabiskan uangnya secara berlebih-lebihan. More berpendapat salah satu cara untuk mengurangi jumlah pencuri adalah dengan mengurangi keadaan yang memaksa mereka menjadi pencuri, antara lain adalah mengusahakan penyeragaman kehidupan rakyat. Selain itu, dengan terus-terusan mengingatkan rakyat, masyarakat menjadi kelompok orang-orang yang waspada, mencegah kekacauan yang akan terjadi sekecil apapun.

Ironisnya, ide masyarakat ideal ini menjadi inspirasi untuk sebuah sistem yang pada gilirannya menginspirasi salah satu distopia legendaris, Nineteen Eighty-Four (1984) karya George Orwell.



NINETEEN EIGHTY-FOUR (1984)
Nineteen Eighty Four adalah novel pertama yang menyebut dan mempopulerkan kata "Big Brother" yang kini menjadi sebuah alegori, simbol sebuah kekuasaan tak terbantahkan yang tak bisa dihancurkan, dan selalu mengawasi bawahannya. Judul novel ini berasal dari tahun novel ini ditulis, yakni 1948, yang diputar untuk menggambarkan kesan masa depan yang tidak terlalu jauh. Karakter Big Brother sendiri diduga terinspirasi dari Joseph Stalin dan The Party yang berkuasa melambangkan Partai Komunis yang berkuasa di Rusia. George Orwell sendiri memang terkenal sebagai pengarang yang anti komunis dan selain 1984, ia juga pernah menulis buku lain yang mencerminkan anti-komunisnya, Animal Farm. Ironisnya, komunisme sendiri sebenarnya juga dipengaruhi oleh konsep yang ada di Utopia yang kini namanya sinonim dengan "masa depan ideal".

Pemerintah IngSoc di 1984, mempunyai persamaan dengan Utopia, antara lain persamaan kekayaan sehingga tidak ada jarak kekayaan yang jauh antara warga yang paling kaya dengan warga yang paling miskin. Selain itu, dengan memberikan perhatian kepada rakyat dalam bentuk pengawasan yang ketat, tak ada warga yang berani melakukan pencurian dan tak ada yang perlu dihukum mati karena mencuri. Propaganda yang intensif, mencuci otak rakyat hingga lupa betapa laparnya perut mereka. Bukankah situasi seperti ini mendekati situasi yang diceritakan Utopia-nya Thomas More? Karena itu, 1984 sebenarnya adalah wujud utopia yang juga sekaligus distopia. Motivasi partai yang benar-benar tanpa basa-basi hanya ingin berkuasa menjadikan Inggris di 1984 menjadi tempat sempurna untuk mereka yang ingin menjadi zombie.

Pada akhirnya, 1984 menginspirasi penulis-penulis lain seperti Alan Moore untuk menciptakan distopia-distopia lain.



V FOR VENDETTA (KOMIK)
Pada bagian depannya, Alan Moore mengakui novel V for Vendetta dipengaruhi oleh 1984. Perbedaannya, ketika 1984 diinspirasi oleh komunisme, V for Vendetta dipengaruhi oleh Hitler dan Nazi. Ketika tujuan Ingsoc adalah sekedar berkuasa tanpa basa-basi, tujuan Norsefire lebih tampak kabur, yaitu dengan menciptakan situasi yang diinginkan masyarakat, kehidupan religius yang jauh dari sampah-sampah seperti ras lain, homoseksual, pelacuran, dan pemeluk agama lain.

Perbedaan lain adalah ketika Big Brother dan IngSoc begitu kuat dan begitu tidak manusiawi di 1984 sehingga tak ada seorangpun yang mampu mempengaruhi rakyat, maka di V for Vendetta, tokoh-tokoh partai Norsefire seperti Adam Susan dan Eric Finch, digambarkan sebagai manusia biasa yang mempunyai ambisi, kepercayaan, dan kesedihan. Ketika di 1984, jurang kekayaan antara kaya dan miskin tidak begitu nampak, jurang kekayaan antara kaya dan miskin sedikit nampak di V for Vendetta walau jurang tersebut tidak begitu lebar sehingga tidak cukup untuk menimbulkan pemberontakan tapi cukup untuk mendorong Evey Hammond ke dalam pelacuran.

Cita-cita V dalam V for Vendetta mirip dengan cita-cita Winston Smith dalam 1984, yakni kebebasan dan kehancuran pemerintahan. Bedanya, ketika Winston Smith hanya sekedar manusia biasa yang tidak sanggup melawan secara terus terang, V menjadi persona yang menggemparkan kota Inggris melalui pemboman dan pembunuhan-pembunuhan tokoh politik. Namun baik V dan Smith tidak perduli seperti apakah Inggris setelah perjuangan mereka berhasil. V bahkan tidak perduli, seperti apa pemerintah baru setelah lawannya, status quo berhasil dihancurkan. Baginya, kerusuhan di seluruh Inggris merupakan bukti bahwa misinya, mencerdaskan masyarakat Inggris untuk berkata tidak pada totaliarisme.

Ironisnya, dalam usahanya mencerdaskan rakyat, V menggunakan senjata yang sama dengan yang digunakan oleh lawannya: Propaganda. Dengan memanfaatkan pos-pos proganda lawan seperti Jordan Tower. Di buku terakhirnya, V bahkan tega menyiksa gadis kecil yang ia tolong di buku pertama agar si gadis bersedia mendukungnya sepenuh hati.



EQUILIBRIUM
Equilibrium adalah film yang terlupakan. Ketika pemeran utamanya, Christian Bale, sukses dalam Batman Begins, film ini sama sekali tidak pernah disebut oleh para peresensi. Seakan-akan film ini tidak layak tonton dan bahkan dianggap tidak ada. Di Indonesia pun, sebelum menonton filmnya, sebuah majalah terkemuka di bidang film sudah menghakimi film ini sebagai "penjiplak".

Tuduhan penjiplak bukannya tanpa dasar, karena pakaian para tokoh di film ini yang tampak rapi dan berjubah panjang mengingatkan calon penonton terhadap Trilogi Matrix yang beken. Publisitas film ini pun tak ragu-ragu menggunakan nama "The Matrix" sebagai promosi. Padahal, walau sama-sama berbentuk distopia, seandainya publisitas film ini tidak mengaitkan diri dengan nama beken The Matrix, niscaya film ini bisa lebih dihargai, apalagi dengan topik yang jauh berbeda.

Equilibrium, seperti fiksi-fiksi lain yang diceritakan dalam film ini, adalah distopia di mana pemerintah bertindak kejam terhadap rakyatnya. Berbeda dengan distopia yang sudah disebutkan sebelumnya, selain propaganda, rakyat juga diwajibkan menyuntikkan Prozium, obat yang berfungsi untuk menekan emosi. Dalam bagian awalnya, dijelaskan bahwa Prozium juga yang menyebabkan Tetragrammaton berkuasa di satu-satunya kota yang bertahan di ambang kehancuran dunia. Dengan keberhasilan mereka mencegah emosi, perang yang biasa terjadi karena ambisi dan emosi bisa dicegah. Pemerintah Tetragrammaton juga mengambil langkah lebih jauh dengan menghancurkan barang-barang yang dapat memicu emosi seperti buku sastra, lukisan, ataupun musik.

Seperti 1984, tokoh pemberontak di Equilibrium berasal dari kelompok partai tersebut. Namun ketika Winston Smith hanyalah sekedar pekerja rendahan, John Preston adalah pejabat kelas tinggi dalam partai yang juga sudah terlatih beladiri secara mahir sehingga seperti halnya V dalam V for Vendetta, Preston mampu untuk memberi perlawanan yang cukup ampuh.

Situasi Kota Libria dalam Equilibrium sebenarnya bisa digolongkan sebagai Utopia. Masa depan dalam Equilibrium adalah masa depan yang damai, tanpa perselisihan, sehingga tentram. Pertanyaannya, apakah manusia bersedia untuk hidup damai dengan mengorbankan emosi mereka? Beberapa manusia yang tidak mau mengorbankan emosi mereka inilah yang akhirnya memberontak dan dikenal sebagai Sense-Offender.



V FOR VENDETTA (FILM)
Situasi pemerintah dalam V for Vendetta versi film berbeda dengan versi komiknya. Ketika masyarakat kecil dalam versi komiknya kelaparan sehingga sampai mendorong Evey pada pelacuran, masyarakat Inggris di versi film justru tampak aman-aman saja. Nyaris tak ada sesuatu yang mengusik kehidupan mereka hingga V mendobrak Jordan Tower dan mengritik masyarakat yang menukar kebebasan berpendapat untuk sebuah kehidupan damai.

Berbeda dengan distopia anti pemerintahan lainnya, pemerintahan buruk yang ada di film V for Vendetta sudah ada dan memang menjadi cermin untuk pemerintah-pemerintah lalim yang masih ada hingga kini. Perubahan tema yang dilakukan oleh Wachowski bersaudara tampaknya disengaja untuk mengakrabkan para penontonnya. Selain itu, Wachowski juga menambahkan teori-teori konspirasi ke dalam versi film, seperti penyebaran senjata biologis yang kemudian dialihkan kepada kelompok lain.



KETIKA
Rasanya tak puas jika hanya melihat kisah-kisah distopia dari luar negeri. Sayangnya, penulis-penulis dan sastrawan di Indonesia hanya tertarik pada kehidupan romantis, melodramatis, mencekam tokoh-tokoh tertentu yang seakan lepas dari masyarakat tempat tokoh tersebut ditempatkan. Sungguh ironis, Inggris yang pernah menjadi penjajah berbagai negara di lima benua dapat menelurkan penulis-penulis idealis seperti Thomas More, Aldous Huxley, George Orwell, dan Alan Moore sementara Indonesia, yang lahir dari tangan-tangan sosialis seperti Bung Hatta dan Sutan Sjahrir justru jarang melahirkan karya seperti ini. Di antara karya yang jarang tersebut, sebuah film berjudul Ketika lahir dari tangan Musfar Yasin yang biasanya selama ini menulis skenario untuk film-film dakwah.

Musfar Yasin memang pantas mendapatkan penghargaan skenario terbaik untuk film ini karena mungkin ini adalah satu-satunya film bertemakan distopia di Indonesia dan belum tentu ada film seperti ini lagi dalam waktu 5 tahun yang akan datang. Musfar Yasin sendiri mungkin tidak menyadari bahwa film ini bertemakan distopia bahkan mungkin ia mengira film ini bertemakan utopia. Sesungguhnya, batas antara utopia dan distopia sangatlah tipis dan bagaimana batas itu menjadi hilang, tergantung dari siapa yang memandang.

Indonesia dalam Ketika adalah mimpi buruk bagi status quo. Status quo dalam hal ini, bukanlah hanya para pejabat, mantan pejabat, dan pebisnis yang selama ini nyaman dalam pelukan kekayaan mereka, tetapi juga mimpi buruk bagi masyarakat yang selama ini hidup seenaknya. Kita bisa melihat bagaimana para polisi dengan sadis menitahkan penyeberang jalan untuk push-up hanya karena tidak menggunakan jembatan penyeberangan. Kita juga melihat bagaimana seseorang terjebak di lampu taman hanya karena baru menyadari tidak boleh menginjak rumput.

Bagi para industriawan yang baru saja bangkrut, Indonesia dalam Ketika bukan lagi mimpi buruk tetapi sudah menjadi neraka dengan kekakuan para pejabat negara yang baru dan sok idealis. Demi sebuah konsep bernama "hukum", para pejabat-pejabat mengerikan ini bahkan sudah tidak mempunyai hati nurani untuk memberi keringanan dengan sekedar memberikan pakaian kepada keluarga yang bangkrut, hanya untuk menutupi tubuh.

Namun kerasnya hidup dalam distopia bernama "ketika hukum ditegakkan" tidak menjadikan tokoh protagonis,Tajir Saldono (diperankan Deddy Mizwar) putus asa. Ketika teman-temannya satu persatu jatuh dari gedung, ia hidup tabah mencari uang dari sumber baru untuk menghidupi keluarganya. Bahkan Tajir bersedia untuk melupakan harga dirinya sebagai mantan pengusaha kaya, agar ia dapat hidup cukup, sesuai dengan keinginan pemerintah yang baru, dengan tidak melanggar hukum.



EPILOG
Setelah melihat berbagai macam pemerintahan distopia di atas (walau ada beberapa yang tidak disebut seperti Brave New World, yang terpaksa tidak disebut karena belum dibaca oleh penulis), beberapa pertanyaan muncul dalam benak penulis.

Bagaimana jika ada seseorang seperti V dalam V for Vendetta yang tidak menyukai Indonesia versi Ketika dan kemudian menghasut, mengebom, dan membunuh para polisi dan politisi untuk menghancurkan pemerintahan yang baru sementara keluarga Tajir Saldono baru saja menyesuaikan diri? Apakah anarki adalah jalan lepas dari sebuah distopia pemerintahan yang sangat mengekang? Ataukah anarki, yang diwakili oleh V adalah cermin dari distopia yang lain?

Penulis merasa, distopia sesungguhnya, bukanlah berasal dari pemerintahan tangan besi. Distopia sesungguhnya, bukanlah dari sebuah pembatasan kebebasan. Distopia sesungguhnya adalah ketika masyarakat yang hidup di dalamnya hidup dengan sengsara dan susah hati. Distopia sesungguhnya dapat dicegah bila kita semua bersedia berkorban, bersedia menyatukan hati, dan di sisi lain, pemerintah mampu untuk mendengarkan rakyatnya.

0 comments: