Persetan dengan Kenyataan!!...
Setelah kemarin melakukan blogwalking ke blog-nya Mas Romi Satria Wahono (pendiri IlmuKomputer.com) dan Mas Topan Berliana (yang kebetulan seniorku, ilmu komputer UGM'98), aku kecewa dengan beberapa tanggapan yang mengomentari artikel-artikel mereka.
Misalnya tanggapan yang dilakukan Mas Prapto Nugroho terhadap tulisannya Mas Topan:
Yap, memang ada beda antara idealisme dan kenyataan.
kenyataan industri indonesia jarang yang punya R&D, R&D biasanya dilakukan dinegaranya atau kalu di negara berkembang sekarang dilakukan di misalnya India (Bangalore IT City), atau di Indonesia hanya menjahit saja.
jadi tuntutan mereka tidak banyak, makanya sebenernya gak perlu ilmu sebanyak yang diajarkan di S1.
Memang setelah itu, mas Prapto menjelaskan perbedaan antara S1 dengan D3. Tapi sayangnya, setelah itu, mas Prapto tampak membenarkan mereka yang "murtad jurusan" dengan dalih, "S1 itu untuk mengasah sisi kognitif (daya pikir, cara pikir)".
Cara berpikir seperti ini yang selama ini ditentang saya. Cara berpikir seperti ini yang saya tolak mati-matian, bahkan saya harus dicap bodoh oleh keluarga saya sendiri. Saya harus dicap "tidak pernah mengalami" apa yang dirasakan orang lain yang nasibnya kurang baik dari saya. Saya harus dicap "mengulangi kesalahan yang sama dengan bapak saya".
Padahal ilmu komputer itu luas. Mas Prapto sudah mengakui kalau S1, S2, dan S3 seharusnya ditempatkan di bagian R&D, namun karena ketiadaan R&D di perusahaan-perusahaan Indonesia, Mas Prapto langsung bersikap apologetik "S1 itu untuk mengasah sisi kognitif". Sama halnya pendapat seorang lulusan Fasilkom tahun 87 yang bekerja di Bakrie Groups, "Sarjana itu kan sebenarnya cuma melatih cara berpikir". Dan alasan klise ini sudah berkali-kali dicoba untuk ditanamkan oleh ibu saya sendiri(!!!).
Lalu saya mendapatkan bentuk penentangan ide dalam bentuk berbeda terhadap tulisan Mas Romi tentang kritiknya terhadap kurikulum Ilmu Komputer di Indonesia. Dan saya harus kecewa, membaca tulisan teman saya sendiri, Anjar Priandoyo (ilmu komputer UGM'00), yang tampaknya menjadi salah satu korban cuci otak ibu saya.
Wah nampaknya Pak Romi perlu melihat kondisi nyata didunia industri IT di Indonesia tidak hanya membandingkan dengan konsep-konsep dinegara maju macam Jepang. Siapa saja pemain-pemainnya, bagaimana departemen IT di Indonesia berkembang, siapa-siapa saja kuli-kuli IT didalamnya.
Cara berpikir antara orang industri dengan orang akademik tentunya berbeda. Orang industri dilatarbelakangi kapital bertujuan untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Sedangkan orang akademik bicara dengan konsep idealis seakan-akan semua persoalan bisa diselesaikan dengan menutup mata dengan kenyataanya yang ada.
Jadi apakah jawaban permasalahan ini ada pada mengubah kurikulum mungkin tepat. Tapi kurikulum seperti apa? menurut saya adalah kurikulum yang relevan dengan kondisi dunia industri kita, dimana perusahaan asing dengan semua jaringannya yang menentukan arah negeri ini. Mau tidak mau kita harus terjun kesana, dan mulai mengambil alih peranan yang orang asing biasa pegang.
Namun kali ini Anjar gak bisa pakai alasan yang sama kalau menghadapi saya yang masih menganggur dan masih kuliah. Mas Romi menjawab dengan simple, "saya bukan hanya melihat kondisi industri IT, tapi saya sudah ada di dalamnya mas". Dan saya sepakat dengan pernyataan Mas Romi, "menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan industri itu harus disikapi hati hati". Sebuah kurikulum harus mampu membebaskan peserta didik, bukan membelenggunya dan mengajarkan ia menjadi "budak pasar".
Pertentangan antara ide dan realita juga tampak dalam tanggapan PDian terhadap artikel Mas Romi mengenai budaya Jepang yang mungkin patut ditiru. PDian menanggapi dengan (lagi-lagi) alasan klise yaitu:
Rasanya kurang relevan membandingkan budaya kita dengan budaya jepang. Kalau mau melihat ke akar konteksnya, bangsa kita merupakan multikultural, kondisi alam yang gema ripah yang membawa kenyamanan (sekaligus keterlenaan), ajaran agama yang mengutamakan akhirat, efek, dominasi dan pembodohan serta adu domba penjajah 350 tahun plus, rezim orba, dan kemiskinan di awal abad 21. Semuanya saling bersimbiosis sehingga mengaburkan kultur bangsa kita yang sebenarnya. Dan satu lagi, apakah budaya jepang tentang konsep Ketuhanan menjadi acuan mereka. Karena sepengetahuan saya, jikalau suatu budaya tidak mengerti tentang konsep Ketuhanan, maka acuan budaya tersebut adalah konsep humanisme yang akan menjadi jalan hidup yang dipegang oleh masyarakatnya. Dan budaya seperti ini tentu telah terbentuk dalam waktu yang lama.
Padahal sebenarnya, budaya yang diungkap Mas Romi sudah diketahui oleh bangsa kita dan diajarkan oleh guru-guru kita semasa kecil. Tetapi kenapa tidak ada dalam praktek bangsa kita? Jawabannya sederhana:
Karena moral, sopan santun tidak praktis dalam negara yang bernama Indonesia. Nyaris jarang ditemui orang-orang seperti itu di Indonesia. Karena itu, mencoba bersikap baik dalam dunia pertempuran di belantara kota Indonesia sama saja bunuh diri. Toh, di Indonesia ini, polisi bisa disogok, hukum rimba berkuasa.
Dan saya sangat tidak setuju dengan pernyataan PDian yang membawa agama berkonsep eschatology (hidup setelah mati, seperti akhirat atau karma) sebagai dasar kebobrokan bangsa Indonesia. PDian perlu belajar lagi mengenai sifat-sifat agama dan mengapa sebuah agama muncul.
Menurut Michael Shermer, agama berfungsi untuk 2 hal, yaitu:
1. menjelaskan peristiwa-peristiwa alam (dan ini sudah direbut oleh sains), dan
2. pengikat moral.
Kalau PDian melihat sejarah bagaimana setiap agama terbentuk, niscaya akan ditemui situasi-situasi chaos akibat individualisme berlebihan yang menyebabkan sebuah bangsa berada di tepi kehancuran. Kemudian muncullah seseorang yang membawa ajaran, yang mempersatukan umat, yang membedakan apa yang baik dan apa yang salah (dan sudah bukan berdasarkan kehendak individu lagi) sehingga bangsa tersebut selamat dari kehancuran total. Dengan kata lain, agama adalah salah satu bentuk hukum tertua di muka bumi ini.
Eschatology (kehidupan setelah kematian) adalah salah satu ciri agama yang pasti selalu ada (bahkan untuk agama yang tidak membahas Tuhan seperti Budha) yang salah satu fungsi duniawinya adalah sebagai motivator. Intinya adalah:
1. Kejahatan yang engkau perbuat, pasti akan ada balasannya, walau mungkin di kehidupan ini engkau tak sempat dihukum
2. Kebaikan yang engkau perbuat, pasti akan ada balasannya, walau mungkin di kehidupan ini, engkau teraniaya dan tiada seorangpun menolongmu
Konsep Eschatology seperti ini, menurut saya lebih superior daripada humanisme karena konsep ini mengajarkan untuk sabar, dalam arti terus-terusan berjuang walaupun tampaknya sia-sia karena tak ada yang memperhatikan. Konsep ini akan membuat seseorang yang beriman untuk tetap jujur walau di sekelilingnya adalah para pendusta. Konsep ini akan membuat seseorang untuk tetap berbuat kebaikan walau disekelilingnya adalah orang-orang zalim.
Humanisme sendiri baru muncul di Eropa, setelah agama mengalami pembusukan akibat kelakuan para pendeta-pendeta atau ulama-ulama yang seakan-akan memonopoli kunci menuju kehidupan lain yang lebih baik. Humanisme muncul ketika masyarakat menolak diperbudak oleh para pendeta/ulama tetapi tidak mau kehilangan pegangan moral mereka dan mencoba mencari konsep lain selain Eschatology.
Sekarang kita coba perhatikan masyarakat Jepang sendiri. Pelajari sejarah mereka, terutama sebelum restorasi Meiji. Bagaimana, mereka hanya menjadi budak dari tuan-tuan tanah mereka alias para bangsawan. Bagaimana nafsu para bangsawan mereka menyebabkan mereka terperosok ke pinggir jurang kehancuran. Dan siapa yang menyelamatkan mereka?
Orang-orang yang punya idealisme tinggi seperti Ryoma Sakamoto atau Takasugi. Dan mereka tidak mau tahu mengenai seperti apa budaya masyarakat Jepang sesungguhnya. Mereka hanya perduli, ada yang salah dengan bangsa mereka dan kesalahan itu harus diperbaiki. Dan humanisme yang disebut PDian, bukanlah hasil evolusi normal bangsa Jepang, melainkan revolusi yang dilakukan oleh Ryoma Sakamoto, setelah melihat konsep humanisme di negara Barat. Sementara seperti yang sudah disebutkan tadi, humanisme barat, berasal dari agama dengan melepaskan diri dari konsep-konsep yang dianggap takhyul oleh masyarakat sekular.
Artinya,
agama bukanlah sebab kebobrokan moral, tetapi sikap individualisme berlebihan yang membuat masyarakat tak acuh atau sikap komunalisme berlebihan yang menghukum mereka yang berbeda (padahal mungkin yang berbeda itulah yang benar).
Sikap perduli pada realita, yang disalahpahami sebagai "kepasrahan terhadap lingkungan yang ada" adalah bentuk individualisme berlebihan sekaligus komunalisme yang berlebihan. Sementara sikap perduli pada kenyataan yang sesungguhnya, yaitu "keinginan memperbaiki kenyataan hidup" yang mungkin berupa ide yang mungkin menyinggung sebagian besar orang-orang di masyarakat kita, malah dicacimaki sebagai "tidak realistis".
Kalau "perduli realita" harus diartikan sebagaimana pengertian pertama, maka saya harus sinis dan kasar dan berani mengatakan
"Persetan dengan kenyataan!!!"
3 comments:
Kepada yang berpendapat akademis != industri:
industri Indonesia != industri luar negeri.
R&D terkesan mahal dan tak terjangkau, tetapi coba lihat! Di mana perusahaan2 yang gak mau R&D itu sekarang? Kemana mereka?
Omong kosong bisa bertahan tanpa R&D!
Itu makanya industri di Indonesia semakin membusuk dan semakin jatuh perlahan-lahan.
Mengenai kultur, bangsa ini telah mengenal peribahasa berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian.
Tetapi, kenyataannya banyak yang menyelam sambil minum air. Akhirnya kelelap dan mati kehabisan napas.
I ever took 2 years in Computer Science (under Faculty of Science) in Gadjah Mada University and 1.5 years in School of Information Technology and Electrical Engineering, Faculty of Engineering, Physical Sciences, and Architecture, University of Queensland. Unfortunately, I failed in both of them > Gak nyangka orang kaya gitu bisa nulis artikel yg tajam kaya gini...
Sayang dulu kita gak sempat akrab ya Nar.... :p
Tapi kan sempat jadi satu rekan kerja di Yogya, Yuan.. ^_^
Post a Comment