Wednesday, October 29, 2008

Budaya itu Cair! (jawaban untuk IACI [ Indonesian Archipelago Culture Initiatives])

Teruntuk rekan-rekan Indonesian Archipelago Culture Initiatives (IACI),
berikut adalah jawaban saya atas segala kampanye yang selama ini gencar anda lakukan dari melalui wawancara dengan wartawan Detik hingga mengirim tembusan lintas milis (cross-posting forward).

Saya percaya bahwa:

1. budaya tidak ditentukan oleh batas-batas negara. Ada bedanya antara negara dan suku bangsa,

2. budaya bisa dibawa oleh si pemilik budaya atau keturunan pemilik budaya ke daerah lain, karena itu, budaya tidak dibatasi oleh batas-batas daerah,

3. berdasarkan dua hal tersebut, maka sangat mungkin bila ada dua negara atau lebih yang memiliki budaya yang sama seperti keris, wayang, dan gamelan yang bisa kita temui dari Kamboja, Vietnam, Myanmar, Thailand, Malaysia, Filipina, dan tentu saja Indonesia. Ayah saya, seorang etnomusikolog dari Bandung, Priadi Dwi Hardjito, pernah mengikuti simposium gamelan di Malaysia tahun 1980-an sementara saya sendiri pernah melihat dokumenter tentang Kamboja yang mengikutkan musik tradisional mereka yang sangat mirip dengan gamelan, dan juga sebuah film Thailand yang lagi-lagi sangat mirip dengan gamelan. Bila anda bisa mengakui bahwa produk budaya di satu suku bangsa bisa mirip dengan produk budaya di suku bangsa lain, mengapa anda tidak bisa menerima bahwa negara lain juga memiliki budaya yang mirip?

4. sebuah bangsa yang menerima imigran memiliki hak mengeluarkan kebijakan mengakui budaya baru yang dibawa oleh pendatang sebagai pengakuan mereka diterima di negara tersebut, misalnya dengan ikut menutup dada untuk perempuan (dilakukan oleh orang Jawa untuk menerima orang-orang Muslim -- lihatlah gambar-gambar di candi2 untuk tahu seperti apa pakaian orang Jawa pra-Islam), memasang genderang (bedug) di langgar-langgar (musholla) mereka, dan sebagainya,

5. seyogyanya, kita jangan meniru para kaisar-kaisar Tionggoan terdahulu yang menganggap orang-orang Tionghoa di luar Tionggoan adalah 'anak yang durhaka pada orang tuanya' lalu sengaja berpaling muka seperti yang dilakukan Kaisar Chien Lung (Qianlong) terhadap mereka yang terbantai di Batavia tahun 1740. Tirulah Sun Yat Sen yang mengakui orang-orang Tionghua perantauan sebagai orang Tionghua,

6. dengan prinsip yang sama, maka ketika kita mengatakan "membela orang-orang Indonesia" maka selayaknya makna "orang Indonesia" diperluas hingga sampai batas "orang Indonesia perantauan" dan keturunannya,

7. dengan demikian ketertarikan Malaysia pada seni "Reog" yang dipopulerkan oleh Sanggar Barongan adalah sebuah hal yang seharusnya dipuji dan daripada merecoki Malaysia, seharusnya seniman Reog Ponorogo terpancing untuk mengembangkan seni "Reog" daripada sekedar melestarikan lestari belaka seperti yang dilakukan leluhur kita se-Asia Tenggara terhadap kisah-kisah Ramayana dan Mahabharata yang mereka terima dari India. Jadilah seperti seorang pelukis yang tak risau lukisannya ditiru melainkan terus mengeluarkan karya-karya baru

8. segala usaha mendaftarkan budaya-budaya Indonesia adalah sesuatu yang perlu dipuji namun tidak untuk membela nasionalisme sempit melainkan untuk perlindungan orang Indonesia bila terjadi perselisihan seperti yang dilakukan oleh Pemerintah India dengan nasi Basmati, kunyit, dan Yoga. Proyek pemerintah India, Traditional Knowledge Digilital Library (TKDL), tidak dilakukan untuk melarang orang-orang non-India menanam Basmati, tidak untuk melarang orang-orang non-India menjadi pelatih Yoga,


Dan karena itu, rekan-rekan Indonesian Archipelago Culture Initiatives (IACI),
dengan mohon maaf, saya tidak menyetujui pandangan kalian tentang nasionalisme walau saya bersyukur ada yang berupaya mendaftarkan budaya-budaya se-Indonesia.



Saya,
Kunderemp Ratnawati Hardjito a.k.a
Narpati Wisjnu Ari Pradana
putra Priadi Dwi Hardjito
bin Soeparto Hardjowidjojo
bin Asmeroe

0 comments: