Saturday, October 25, 2008

Menunggu Provokasi "Perempuan Berkalung Sorban" dari Hanung Bramantyo


Malam ini, saya menjelajahi blog (dengan http://blogsearch.google.com ) mencari tanggapan tentang "Doa yang Mengancam" yang tak bisa saya tonton karena sudah berada di luar Indonesia. Ternyata tanggapannya cukup positif. Tanggapan buruk biasanya berasal dari dua pihak, yakni satu, mereka yang tak bisa melepaskan Aming dari perannya di Extravaganza (kabar buruk buatmu, Aming... berarti kau masih belum berakting optimal. Bandingkan dengan Heath Ledger dengan Joker-nya), atau kedua, dan ini pihak yang menyebalkan, mereka yang menghakimi cerita dari sinopsisnya (yang diperuntukkan untuk promosi) tanpa menonton filmnya. Tetapi mayoritas menyukai film ini, bahkan ada yang lebih menyukai film ini daripada film Laskar Pelangi.

Karena saya belum nonton keduanya, maka saya tak bisa berpendapat. Tetapi, saya bersyukur bahwa ternyata sutradara favorit saya ternyata masih belum mengecewakan saya. Jujur, waktu AAC belum tayang, saya sempat khawatir bahwa ia sudah terbujuk pada "keuntungan" tetapi ternyata keinginannya untuk membuat film tak terkenal seperti 'Doa yang Mengancam' sudah cukup memuaskan hati, apalagi ternyata dapat tanggapan lumayan positif.



Nah,
sekarang saya menunggu kesuksesan proyek Hanung Bramantyo selanjutnya, yakni "Perempuan Berkalung Sorban". Berdasarkan berita dari Kapanlagi tanggal 12 September, Widyawati sudah mulai syuting film ini.

Bila diurut dari Ayat-Ayat Cinta, maka Perempuan Berkalung Sorban adalah film ketiga Hanung yang bertemakan Islam. Atau sebenarnya film kedua Hanung yang bertemakan Islam (karena Doa Yang Mengancam sebenarnya bisa ditempatkan di mana saja, dan Hanung menempatkannya pada konteks Indonesia yang mayoritas Muslim).

Bersiap-siaplah untuk film ini. Sejujurnya saya berharap, Hanung tidak ragu-ragu untuk garang dalam film ini walaupun harapan saya mungkin tidak akan terkabul mengingat pada dasarnya Hanung adalah seorang "Jawa tulen" (dan film bioskop pertamanya, Brownies, sangat kuat nuansa imigran Jawa-nya dan aku merasa film ini adalah balas dendam Hanung atas film dokumenter tentang JakMania yang dibuat Andi Bachtiar Yusuf) dan ada beberapa hal di mana Hanung melembutkan suasana yang bila di dunia nyata pasti akan bikin emosi, tetapi di film karyanya akan jadi tampak lucu.

Film Hanung yang pertama saya lihat adalah sebuah pilot untuk sinetron (saya lupa judulnya.. Asmaradana kah?) yang ditolak oleh semua stasiun televisi dengan alasan 'terlalu idealis' dan akhirnya diputar di Kemang Utara 28. Temanya sendiri sebenarnya cukup sensitif, menggambarkan benturan budaya dalam sebuah gang di Yogyakarta. Satu pihak, orang-orang yang tinggal di situ adalah orang nJawa yang mengharapkan kedamaian dan merencanakan ruwatan. Satu pihak, tetangga mereka adalah para preman, pemabuk, pemalak yang merasa sedang disindir dengan acara ruwatan. Pihak lainnya adalah pesantren kecil yang berharap acara ruwatan tidak menjadi media musyrik dan sudah lama bermusuhan dengan para preman di gang tersebut.

Jujur saja, film pertama Hanung, saya nikmati dengan hati deg-degan. Saat itu saya belum mengenal dia dan saya tak tahu akan condong ke manakah ia. Ternyata, ia melembutkan adegan-adegan sensitif tersebut dengan lelucon-lelucon (seperti nyanyian cempreng) dan hingga di akhir cerita (yang memang diniatkan sebagai pilot untuk sinetron), Hanung masih mengambil sudut pandang netral.




Kembali ke Perempuan Berkalung Sorban, film ini adalah (lagi-lagi) adaptasi dari sebuah novel. (Wah, kayaknya Mas Hanung bisa dinobatkan sebagai juara adaptasi [Jomblo, Ayat-Ayat Cinta, Doa yang Mengancam], dengan Riri Riza sebagai juara kedua [Gie, Laskar Pelangi]). Berbeda dengan novel-novel sebelumnya yang jadi sumber film Mas Hanung, novel yang satu ini garang. Novel ini mengecam praktek-praktek perjodohan yang umum terjadi berkedok agama yang menyangkut keluarga kiai. Tentu saja bila film ini dirilis secepat mungkin, akan menjadi relevan dengan adanya kasus Syekh Puji yang dicap "Pedofilia berkedok agama".

Yang jelas, tampaknya ada yang sudah bersiap-siap untuk memboikot film ini seperti komentar di blog nikenike.
http://blog.nikenike.net/2005/08/15/perempuan-berkalung-sorban/


Berikut ada cuplikan kata-kata dari trailer ( lima menit untuk sebuah trailer! Wow! )
http://faridrifai.multiply.com/video/item/23

KYAI:
Perempuan memang ditakdirkan oleh Allah SWT untuk berbakti kepada suaminya, tercipta memang untuk suaminya. Bahkan apabila ada seorang wanita, seorang perempuan berkata keras kepada suaminya maka semua benda yang ada di bumi ini akan merendahkannya.


SANG AYAH:
Annisa, kamu sudah pintar. Tugas belajarmu sudah cukup.

ANNISA:
Nisa mau sekolah, Pak! Bukan Nikah.

SANG AYAH:
Annisa! Kamu jalan bapak menuju surga. Hanya menjadi istri yang solehah, itu pahala bagimu.



LEO:
Istighfar, Nisa! Istighfar!

ANNISA:
Aku sudah berkali-kali istighfar, Le!

LEO:
Nisa, aku tahu kamu lebih kuat dari ini.

ANNISA:
Kamu gak usah ngajarin aku istighfar! Allah gak pernah dengar istighfar-ku, Le! Allah gak pernah dengar tahiyat-ku!





4 comments:

Anonymous said...

Lagi ga punya teman nonton nih....doa yang mengancam pun belum sempat nonton...dua minggu ini banyak kegiatan di luar.
Bahkan angkringan punya colonelseven (gembul) pun tak sempat datang....hiks:(

Anonymous said...

suka beneran kayanya nih ama hanung?
haha. pengen nonton doa yang mengancam deh(saya suka versi cerpennya), tp belum sempet.
so far sih pilem hanung favorit saya masih JOMBLO. selebihnya hanung is stuck.

Anonymous said...

@edratna:
Ya udah..
kirimkan saja filmnya kalau DVD-nya sudah ada yah? :P

@ikankering:
Ada beberapa sutradara Indonesia yang masuk daftar saya, ada pula yang bahkan saya keluarkan dari daftar.

Hanung, berbeda dengan sutradara lain karena menurut saya, potensi puncaknya belum kita lihat. Setiap filmnya selalu ada unsur 'eksperimen' walau terkadang merugikan penonton.

Saya percaya, sepuluh tahun lagi, bila ia tak menyerah membuat film, ia akan menjadi Tsui Hark-nya Indonesia.

Anonymous said...

film LIBERAL berbaju Islami...seakan2 mencerahkan tapi ternyata penuh tendensi