"Drupadi" gagal mengikuti "Opera Jawa"?
"Opera Jawa" adalah film kedua Garin Nugroho yang bisa saya nikmati dan yang istimewa, saya menyaksikannya bersama ibu saya.
Joko Anwar boleh menyindir "Opera Jawa" sebagai film "pesanan" karena memang dibuat untuk merayakan ulang tahun Mozart. Tetapi Opera Jawa adalah khas Jawa.
Orang Hindu di Bali boleh memrotes Opera Jawa (dan karena itu, tampaknya nama-nama karakternya diubah menjadi Setyo [Rama], Ludiro [Rahwana], Siti [Sinta]) tetapi dalam tradisi diskusi wayang kulit di antara orang Jawa adalah hal biasa memanfaatkan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana dari berbagai sudut pandang bahkan sisi musuh dan itu sudah terjadi semenjak zaman dulu sampai masa kini (seperti Manyura-nya Yanusa Nugroho atau novel-novelnya Pitoyo Amrih).
Orang-orang bule yang memberi komentar di IMDB tidak ada yang mengerti sama sekali. Karena mereka masih memandang kaku Mahabharata, tidak seluwes orang Jawa. Begitu juga orang-orang bule yang menonton Opera Jawa di Blitz bersama kami, tertidur karena tidak mengerti walau ada teks terjemahan Bahasa Inggris.
Ketika saya melihat Drupadi, saya berharap bahwa film ini akan menyusul Opera Jawa. Sayangnya, membaca tulisan Eric Sasono dan Ifan Irfan Ismail, kayaknya Drupadi gagal bahkan semenjak di tingkat skenario. Mereka berdua sepakat bahwa problem skenario Leila S. Chudori adalah terlalu kaku, terlalu hitam putih, mengambil sudut pandang kaku Hindu India padahal bila mereka ingin menggugat menggunakan wayang, mungkin tradisi Jawa yang luwes jauh lebih sesuai.
Untuk tanggapan Eric Sasono terhadap Opera Jawa, bisa dilihat di situs Kompas di
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0702/02/Bentara/3282077.htm
dengan judul 'Medium dan Bentuk Hibrida 'Opera Jawa'".
Saya sepakat dengan tulisan Mas Eric. Kekuatan Opera Jawa justru cerita dan konfliknya dan jujur saja, saya tidak menyangka Ramayana bisa diadaptasi menjadi sebuah cerita baru. Sayangnya, film ini adalah eksperimen dan beberapa hal cukup mengganggu saya dan ibu saya sehingga kami harus mencari-cari arti dari beberapa simbol.
Sayang sekali, ayah saya yang selalu "sibuk" (selamat ulang tahun, Ayahanda! Bagaimana kabar mahasiswa-mahasiswa Ayahanda di Bandung? ) tidak sempat menonton film ini di Blitz padahal saya yakin beliau pasti senang menontonnya, apalagi komposer dalam film ini adalah kawan lama beliau, Rahayu Supanggah.
Mungkin saya harus menulis resensi Opera Jawa, karena itu salah satu hutang saya pada ibuku (Selamat Hari Wanita, Ibu!).
Joko Anwar boleh menyindir "Opera Jawa" sebagai film "pesanan" karena memang dibuat untuk merayakan ulang tahun Mozart. Tetapi Opera Jawa adalah khas Jawa.
Orang Hindu di Bali boleh memrotes Opera Jawa (dan karena itu, tampaknya nama-nama karakternya diubah menjadi Setyo [Rama], Ludiro [Rahwana], Siti [Sinta]) tetapi dalam tradisi diskusi wayang kulit di antara orang Jawa adalah hal biasa memanfaatkan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana dari berbagai sudut pandang bahkan sisi musuh dan itu sudah terjadi semenjak zaman dulu sampai masa kini (seperti Manyura-nya Yanusa Nugroho atau novel-novelnya Pitoyo Amrih).
Orang-orang bule yang memberi komentar di IMDB tidak ada yang mengerti sama sekali. Karena mereka masih memandang kaku Mahabharata, tidak seluwes orang Jawa. Begitu juga orang-orang bule yang menonton Opera Jawa di Blitz bersama kami, tertidur karena tidak mengerti walau ada teks terjemahan Bahasa Inggris.
Ketika saya melihat Drupadi, saya berharap bahwa film ini akan menyusul Opera Jawa. Sayangnya, membaca tulisan Eric Sasono dan Ifan Irfan Ismail, kayaknya Drupadi gagal bahkan semenjak di tingkat skenario. Mereka berdua sepakat bahwa problem skenario Leila S. Chudori adalah terlalu kaku, terlalu hitam putih, mengambil sudut pandang kaku Hindu India padahal bila mereka ingin menggugat menggunakan wayang, mungkin tradisi Jawa yang luwes jauh lebih sesuai.
Untuk tanggapan Eric Sasono terhadap Opera Jawa, bisa dilihat di situs Kompas di
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0702/02/Bentara/3282077.htm
dengan judul 'Medium dan Bentuk Hibrida 'Opera Jawa'".
Saya sepakat dengan tulisan Mas Eric. Kekuatan Opera Jawa justru cerita dan konfliknya dan jujur saja, saya tidak menyangka Ramayana bisa diadaptasi menjadi sebuah cerita baru. Sayangnya, film ini adalah eksperimen dan beberapa hal cukup mengganggu saya dan ibu saya sehingga kami harus mencari-cari arti dari beberapa simbol.
Sayang sekali, ayah saya yang selalu "sibuk" (selamat ulang tahun, Ayahanda! Bagaimana kabar mahasiswa-mahasiswa Ayahanda di Bandung? ) tidak sempat menonton film ini di Blitz padahal saya yakin beliau pasti senang menontonnya, apalagi komposer dalam film ini adalah kawan lama beliau, Rahayu Supanggah.
Mungkin saya harus menulis resensi Opera Jawa, karena itu salah satu hutang saya pada ibuku (Selamat Hari Wanita, Ibu!).
3 comments:
Udah kirim sms belum?
Saya jadi makin penasaran, seperti apa sih film Drupadi ini. Kemarin ketinggalan Jiffest ke-10.
Btw, di paragraf paling bawah, ucapan selamatnya borongan nih :)
edratna:
Sudah
Yoga:
Tonton saja. Katanya dari segi warna, indah. Hanya saja, dari segi cerita, gagal mengadaptasi.
Post a Comment