Monday, August 03, 2009

Merantau (2009)



The Plot
Buat Yudha (Iko Uwais), Jakarta itu aneh. Kakaknya sudah mewanti-wanti dari awal bahwa 'silek'-nya tak akan berguna di Jakarta. Kawan seperjalanannya bilang tak akan mudah hidup di Jakarta. Tapi ia tak menyangka anak kecil di Jakarta liar dan sulit dinasehati. Ia juga tak habis pikir susah sekali orang Jakarta mengucapkan terimakasih. Ingin rasanya pulang seandainya ia tak punya malu menghadapi orang-orang di kampungnya.

Buat Astri (Sisca Jessica), Yudha, tak lebih dari anak daerah kemarin sore yang mau bermain sebagai pahlawan. Tiga tahun setelah ditelantarkan bersama adiknya, dengan caranya, ia bisa bertahan, mencari uang hingga sanggup memberikan makanan dan tempat berlindung untuk adiknya. Dan kini, pahlawan kesiangan membuatnya kehilangan pekerjaan.

Buat Luc (Laurent Buson), Jakarta tak memberikan rasa nyaman karena tak terduga sifat orang-orangnya. Tadinya, ia bersama sang kakak Ratger (Mads Koudal) mengira berbisnis di Jakarta mudah karena sikap orang-orangnya yang lemah dan doyan menjilat. Tetapi kini, satu gadis saja mengundang seseorang tak terduga yang sendirian mampu mengacak-ngacak klub malam milik salah seorang supplier.

Gareth H. Evans sebagai pencetus ide, penulis, dan sutradara film ini sangat tampak berambisi memperkenalkan banyak aspek dari Indonesia. Ia tak sekedar memperkenalkan Silat (dalam hal ini Silat Harimau) tetapi juga memperkenalkan adat istiadat merantau yang merupakan pendewasaan fisik dan mental bagi pemuda-pemuda Minang. Selain itu, Gareth juga menyisipkan isu-isu seperti masalah keluarga berencana, perdagangan wanita, gegar budaya di tengah globalisasi.

Ketika pesan yang ingin disampaikan terlalu banyak, biasanya sebuah film akan terancam menjadi membosankan apalagi bila aktor-aktor yang digunakan adalah aktor-aktor baru seperti yang terjadi di Ketika Cinta Bertasbih. Merantau juga menderita penyakit yang sama. Di beberapa tempat, cerita tampak kedodoran sementara di tempat lain, cerita memiliki lubang. Baik Jakarta Post maupun Todd Brown dari Twitch.com sepakat bahwa seandainya tidak ada adegan Iko berlatih silat di awal film, mungkin film ini akan disangka sebagai film drama atau bahkan sinetron atau FTV.

Namun semua itu TERMAAFKAN ketika adegan laga disuguhkan, sesuatu yang sudah lama dirindukan dari perfilman Indonesia. Aksi yang menarik dan menakjubkan, yang tidak kalah dengan film-film buatan Hong Kong dan Thailand akhirnya berhasil dibuat oleh perusahaan film Indonesia dengan kru lebih dari 90 persen orang Indonesia.

Di akhir cerita, Gareth menambahkan epilog manis nan mengharukan yang sangat jarang sekali ditemui di film-film laga lainnya. Perasaan tak nyaman tetap ada di hati mengingat apa yang dialami para tokohnya tetapi kisah akhirnya tak pelak membuat para penonton saat premiere kemarin bertepuk tangan begitu teks penutup film muncul.

The Crews
Acungan jempol pertama harus diberikan kepada Pak Edwel dan Tim Silat Harimau yang berhasil menunjukkan bahwa silat itu bisa tampak mengerikan di layar lebar walaupun sebenarnya Silat Harimau yang ditunjukkan di film Merantau sudah diperlunak. Agak sangat disayangkan, saya terlalu banyak melihat video-video 'behind-the-scene' dan trailernya, apalagi selama ini saya sering memutarkan iklannya di beberapa tempat dari kerabat, klien, Sarinah, ruang tunggu bioskop (dari Djakarta Theater sampai Plaza Senayan) sehingga saat menonton filmnya, gregetnya untukku menjadi berkurang. Untungnya, masih ada kejutan di filmnya dan pertarungan terakhir Yudha melawan dua antagonis bule berdurasi panjang sehingga membuatku puas.

Acungan jempol kedua harus diberikan kepada mereka yang berusaha mencari lokasi dan menata lokasi di Jakarta. Adegan lari-lari di gang yang sempit mengingatkan masa kecilku yang sering tersasar saat pulang dari rumah kawan di gang-gang seperti itu sementara beberapa adegan berhasil mengecoh penonton yang tak akan menyangka apa yang mereka lihat terjadi hanya di dalam studio. Tentu saja bukan tanpa cela, karena kulihat walaupun ruangan tempat tinggal Astri tampak kumuh, masih tampak terlalu luas untuk sebuah bagian dalam rumah susun. Bagian dalam klub saat malam, seperti halnya kelemahan di film Indonesia lain, juga kurang merepresentasikan klub-klub malam di Jakarta yang biasa penuh sesak dengan asap rokok.


Acungan jempol ketiga harus diberikan pada Matt Flannery sebagai Director of Photography, dan orang-orang Indonesia yang jadi juru angkat kamera. Adegan lari-lari di gang kecil misalnya yang bisa membuat ngilu mereka yang klaustrofobia, atau adegan Yudha yang mencoba bangkit setelah dikeroyok yang cukup membuat sensasi disorientasi. Adegan Eric "malamar karajo" juga cukup mengesankan. Tidak sia-sia deh buat para kru kamera yang menggotong-gotong kamera dan Jimmy Jib ke tempat-tempat sulit ^_^*!

Acungan jempol keempat untuk tata-rias dan penata pakaian. Jujur saja, bahkan Sisca Jessica tampak lebih cantik di film daripada aslinya. Adegan Ratger mencabut kepingan kaca dari wajahnya bisa membuat anak kecil menangis (karena itu, jangan bawa anak kecil saat menonton Merantau). Wajah-wajah babak belurnya juga mantab.

Acungan jempol kelima untuk penata musik. Jujur, aku sedikit menyayangkan musiknya yang kurang banyak tetapi aku cukup menyukai musik saat Yudha dilepas oleh sang guru, atau musik yang membuat ngilu saat Ratger memeriksa wanita-wanita yang akan ia perdagangkan. Di Bukittinggi, musiknya lebih ke arah instrumental dengan bunyi suling (saluang?), gitar, biola, dan perkusi sementara di Jakarta, musiknya lebih agak modern.

Acungan jempol keenam untuk penerjemah Daiwanne Ralie yang cukup kontroversial dalam membuat terjemahannya. Kawan-kawan saya banyak mengeluhkan terjemahan yang menurut mereka tak tepat namun saya melihatnya sebagai pendekatan penerjemahan yang tidak kata per kata tetapi lebih pada sasaran yakni mereka yang bukan orang Indonesia yang tak mengerti budaya di Indonesia. Mendengarkan dialog-dialog dan membaca terjemahannya membuat saya merasa menjadi dua orang dari budaya berbeda yang menonton film yang sama.

The Actors
Iko Uwais di debutnya cukup meyakinkan, apalagi dengan latar belakang Iko yang sebenarnya orang Betawi sehingga harus belajar Bahasa Minang. Memang, ada beberapa bagian Iko tampak gagap terutama saat harus menasehati Yusuf Aulia. Tentu saja, saya tak bisa menilai apakah kata-kata Minang yang digunakan oleh Iko sudah tepat atau belum. Namun buat saya, suara Iko Uwis jauh lebih nyaman didengar daripada suara Tony Jaa ketika pertama kali kudengar di film Ong Bak.

Sisca Jessica, yang selama ini bermain dalam sinetron, cukup bisa menunjukkan sosok Astri yang keras yang tak mau dibantu oleh anak kemarin sore dan bahkan tak segan-segan memaki-maki dengan kata-kata kasar. Sayangnya, sebagai sosok kakak yang perduli pada adiknya, ia masih belum bisa meyakinkan saya dan (maaf) masih terasa sinetron.

Yusuf Aulia adalah titik paling lemah dalam film ini. Setelah kita dijejali akting para aktor pemain cilik seperti Emir Mahira (Garuda di Dadaku) dan Rangga Aditya (King), Yusuf Aulia sebagai Adit tampak seperti bermain di taraf sinetron. Walau begitu, sosok ceking Yusuf Aulia sangat pas sebagai Adit bahkan sebenarnya poster yang menampilkan Adit adalah poster teaser Merantau paling bagus menurutku. Adegan ketika Adit tak berbicara justru malah mengundang simpati dari penonton. Walau begitu, jangan khawatir, salah satu dialog Adit dijamin tetap mengundang tawa penonton.

Alex Abbad, mengejutkan untukku yang tak pernah mendengar namanya (yeah, right.. I'm not MTV fans), sanggup bermain meyakinkan sebagai mucikari penjilat. Tampaknya, masa depan untuk bermain sebagai antagonis dalam film-film Indonesia cukup cerah. ^_^*!

Aku berani menonton film ini untuk kedua kalinya kelak setelah film ini akan mulai diputar di bioskop tanggal 6 Agustus nanti.


Tulisan dari narablog lain tentang Merantau:

1. http://kusut.web.id/2009/07/merantau/

2. http://gravity.web.id/2009/08/01/film-merantau-silat-bukittinggi-sutradara-inggris/

3. http://alle.wordpress.com/2009/08/05/review-merantau/



7 comments:

alle said...

haha,..
lengkap juga reviewnya. Thx

kunderemp said...

Lengkap sih tidak.
Cuma terlalu banyak melihat video di balik layar ^_^*!

Terimakasih untuk berkunjung.

PNMF said...

Review-nya bagus. I Love You Full! :D

Erikson said...

gila... kreativ banget caranya ngereview.. saluttttt :D

dKazuma said...

waduh, setelah liat review ini, saya jadi minder sama review saya sendiri. hahahaha...
ya udah deh, buat full reviewnya aku link kesini aja yak :D
eh btw, kunderemp, dulu pernah kerja di Challenger Game Center gak???

Kunderemp said...

@Erikson: Kayaknya gak kreatif deh. Justru nulis itu waktu kurang ide.

@dKazuma: Yup, aku pernah di Challenger Game Center.

andrii said...

dunlot link nya mana kang?!?!?!