Wednesday, December 30, 2009

Bu Prita Bebas.. selanjutnya?

Alhamdulillah, majelis hakim masih bisa jernih dan memutuskan Ibu Prita bebas (dari awal sebenarnya Bu Prita memang harusnya bebas).

Lalu selanjutnya apa?

Berada jauh dari pusat kota dan di masa training perusahaan yang baru, saya tidak terlalu mengikuti kasus Bu Prita, tetapi saya cukup terkejut mendengar isu-isu miring yang bikin saya mengelus dada. Misalnya ada yang mengatakan Bu Prita tidak layak ditolong karena doyan mengeluh atau tuduhan yang paling ekstrim yang saya dengar adalah Bu Prita menggunakan kasus pengadilannya untuk mencari uang. Naudzubillah min dzalik.


Ada status kawan di facebook yang mengucapkan syukur atas bebasnya Bu Prita dan tebak apa respon kawan-kawannya?
"basi"
"trus duitnya?"

Koreksi bila saya salah, seingat saya, koin-koin itu tidak dikumpulkan atas inisiatif Bu Prita dan ditujukan untuk membayar denda. Koreksi lagi bila saya salah, seingat saya, koin-koin itu sudah diserahkan dan kemarin sempat sudah dihitung oleh Bank Indonesia. Jadi bila kemudian Bu Prita diputuskan bebas, maka pertanyaan "ke mana koin-koin kemarin" seharusnya tidak ditanyakan ke Bu Prita.


Kembali ke pertanyaan saya, selanjutnya apa?

Saya mungkin salah satu blogger yang pertama mendengar tentang Bu Prita sebelum grup facebook mendukung Bu Prita muncul. Saat itu, saya bersama ibu saya menghadiri obrolan Langsat di mana salah satu pembicara saat itu, yakni Mas Anggara (Anggara.org) memberitahu kami bahwa UU ITE sudah memakan korban.

Sebenarnya saya sudah beberapa kali mendengar tentang delik pencemaran nama baik dan sebelum kasus itu muncul, saya masih belum menyadari bahwa 'pencemaran nama baik' dan 'fitnah' itu berbeda. Kasus Bu Prita yang pertama kali membuat saya menyadari bahwa 'pencemaran nama baik' tidak ada hubungannya dengan apakah kata-kata tersebut benar atau salah.

Kasus Bu Prita cuma gunung es. Masih ada kasus-kasus lain yang mirip-mirip serupa. Bagaimana dengan dua orang yang terjerat pencemaran nama baik (tetapi menggunakan KUHP karena tidak pakai media internet) karena mengirimkan surat pembaca berisi keluhan. Ada juga seseorang yang dituntut mencemarkan nama baik oleh pejabat karena ia mengeluh di status facebook tentang kemalasan para pegawai negeri sipil di tempat pejabat yang ia kunjungi. Dan yang cukup baru adalah, sebuah organisasi lama yang pakai embel-embel 'wartawan' menuntut seorang artis yang lepas kendali di Twitter karena perilaku pekerja infotainment.

Jangan salah, aku tidak setuju dengan kata-kata kasar sang artis tetapi menggunakan pasal pencemaran nama baik untuk menuntutnya rasanya seperti menembak nyamuk dengan meriam, dan sangat ironis mengingat kata 'wartawan' yang disandang organisasi tersebut. (Walaupun kata seorang kawan, organisasi tersebut memang satu-satunya organisasi Jurnalis yang mendukung pasal pencemaran nama baik).

Kembali ke topik,
minggu lalu, berita menyedihkan juga datang dari ketua DPR kita, Marzuki Alie. Mengutip Republika, beliau berpendapat,

"Ancaman hukuman yang tinggi dalam UU ITE, menurut Marzuki, justru menjadi dasar hukum untuk menjerat pelaku fitnah di dunia maya".

Seperti yang saya sebutkan di atas sebelumnya, "pencemaran nama baik" berbeda dengan "fitnah". Di KUHP, keduanya dimasukkan ke dalam bab "Penghinaan" di buku kedua tentang Kejahatan tetapi dalam pasal berbeda. Di UU ITE, sebaliknya, dicampur adukkan. Tentu saja, karena kata-kata yang digunakan di UU ITE adalah 'pencemaran nama baik' maka pembuktiannya dalam pengadilan adalah pembuktian tentang pencemaran nama baik, bukan fitnah.

Maka di sini saya mempertanyakan pengetahuan anggota-anggota legislatif yang menempati kursi-kursi dewan di Jakarta. Apa bisa kita mempercayakan proses pembuatan perundang-undangan pada mereka yang tak tahu istilah-istilah hukum? Jangan-jangan selama ini mereka secara asal menafsirkan RUU yang diserahkan pada mereka dan diketuk sesuka hati?

Bu Prita bebas.. selanjutnya apa?
Saya sendiri mengerti keinginan Bu Prita untuk hidup normal seperti sehari-hari. Beliau pasti lelah setelah sekian lama menghadiri pengadilan. Kita tak bisa memaksa beliau.

Tapi kita harus waspada bahwa ranjau itu masih ada.



http://www.republika.co.id/berita/97753/Ketua_DPR_tak_Setuju_Revisi_UU_ITE
http://id.wikisource.org/wiki/Kitab_Undang-Undang_Hukum_Pidana/Buku_Kedua#Bab_XVI_-_Penghinaan


PS:
celotehan ini ditulis sambil mendengar gending-gending Bali di luar kamar kost, di mana keluarga pemilik kost sedang berkumpul untuk mengadakan upacara.

3 comments:

kunderemp said...

Masih akan ada babak selanjutnya..

http://www.tempointeraktif.com/hg/kriminal/2009/12/29/brk,20091229-216288,id.html


Ah.. lagi-lagi masalah hakim tak jeli.

narpen said...

aku termasuk yg senang dengan kebebasannya, tapi emang respon pertama aku.. "lah, duitnya?" :D
kekekeke...
itu respon wajar sih mas (soalnya "koin prita" kan udah menggema kemana2), ga berniat melecehkan ko..
ehehehe.. tetap senang dengan kepedulian masyarakat. semoga tidak bosan/jera mendukung..
(jujur aku juga uda agak bosen baca beritanya, tapi kebayang apalagi si bu prita yg ngalamin ya.. duh, semoga setelah ini beliau bs hidup tenang..)

btw thx link update-nya. apa pula ini.. kasasi.. melepaskan dari semua tuntutan, bukan membebaskan -.-

edratna said...

Sebetulnya saya pernah baca (di Kompas kayaknya)...Prita tak akan menggunakan uang itu sesenpun, makanya dibukakan rekening tersendiri, nanti akan digunakan untuk menolong sesama yang mengalami perlakuan seperti dia. Karena Prita bukan ahli hukum, mungkin saja dia mendirikan Yayasan dan menyerahkan pengelolaannya melalui orang Hukum.

Kita harus tahu, dunia ini memang tidak adil, orang selalu pro dan contra..justru karena itu, kita harus menjaga hati kita sendiri...hati2 dalam mengucapkan pendapat yang bisa menyakiti orang lain, apalagi nanti berakibat hukum. Karena, pada dasarnya kita hidup di dunia ingin berbuat baik kan? Walau kadang perbuatan baik juga belum tentu dinilai baik oleh semua pihak.