Monday, April 19, 2010

Menebus Impian - Zenith untuk Acha, Nadir untuk Hanung

Majikan: MLM?
Nur: Bukan, Pak. Personal Franchise.
Majikan: Ya itu namanya MLM! Lagian kamu kok ngajari aku bisnis.


Judul film ini adalah 'Menebus Impian', bukan 'Menembus Impian'. Menurut salah satu kamus gadang negeri ini, pengertian 'menebus' adalah: 1. membayar dengan uang untuk mengambil kembali barang yang tergadai; 2. membayar dengan uang untuk membebaskan. Dengan kata lain, judul film ini mengisyaratkan ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan impian.

Di atas kertas, film ini seharusnya bisa kuat. Film ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo (Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, GetMarried), ditulis oleh Titien Wattimena (Mengejar i) dan mengambil topik yang jarang disentuh, yakni MLM. Seingatku, hanya dua film sebelum ini yang menyinggung tentang MLM, yakni Garuda di Dadaku dan Arisan (versi sinetron) tetapi baru film ini yang tokoh utamanya adalah penjaja MLM.

Rasanya, tak perlulah membahas nilai plus dari film ini karena menurutku sudah sewajarnya. Misalnya, suasana gang yang ramai adalah hal yang sudah diharapkan dari seorang Hanung (semenjak Catatan Akhir Sekolah). Wajar juga bila ada jeda jawaban di adegan awal film ketika sang ibu bertanya apakah putrinya sudah membayar uang kuliah, tanda ada yang disembunyikan oleh sang putri. Wajar juga bila kamar rumah sakit yang menampung sang ibu saat jatuh sakit tampak kurang privasi dengan tabung oksigen kumuh. Wajar juga bila komputer milik salah satu tokoh ditampilkan dengan model destop (bukan tower), monitor VGA, dan printer dot matrix. Walaupun semua itu adalah nilai plus tetapi itu sudah kewajiban buat seorang Hanung. Saya justru akan heran kalau tokohnya putih bersih, komputer kawan yang ia pakai adalah macbook terbaru dengan printer laserjet dan ketika sang ibu sakit, beliau ditempatkan di kamar khusus yang bersih dan berpendingin ruangan, atau tokoh-tokohnya seperti terburu-buru mengucapkan dialognya seperti di sinetron-sinetron.

Sebaliknya, beberapa klise justru tampak mengganggu. Misalnya, Hanung tampaknya masih mendendam dengan Jakarta. Benar, Hanung benci Jakarta. Awalnya ia 'menyindir-nyindir' di Brownies. Sementara di 'Kamulah Satu-Satunya' ia memberi kesan Jakarta nan gersang dan rawan dan orang-orangnya mudah panas. Di film ini, dua kali adegan pengeroyokan tampil. Adegan pertama rasanya sekedar menjadi alat penunjang plot (plot device) sementara adegan yang kedua malah banal.

Kejadulan lainnya adalah begitu banyaknya adegan hujan di film ini. Adegan berlatar belakang hujan pun juga sudah terlalu umum di film-film. Sang DOP, Faozan Rizal bahkan lebih klise lagi, ketika mengambil sudut pandang di mana gelas sangat menonjol, karakter perempuan tampak sedang duduk tersedu-sedu, sementara karakter pria melangkah menuju gelas tersebut sehingga hanya tampak lengan dan badannya. Benar, sudut pandang seperti itu biasanya mengisyarakatkan tokoh pria yang sudah punya pikiran buruk pada sang wanita.

Namun klise tadi bukan kelemahan utama film ini. Kelemahan film ini adalah kegagalan Bang Hanung dan mBak Titien untuk mengeksplorasi MLM. Mereka hanya berani bermain aman dan terjebak pada stereotype MLM. Kabar buruknya, film ini justru menampilkan apa yang justru membuat para anti-MLM alergi. Alhasil perjuangan tokoh utama pun susah mendapatkan simpati dari penonton awam.

Apa sih yang sebenarnya membuat orang enggan dengan MLM? Karena tidak yakin dengan cara kerja MLM itu sendiri. Memfokuskan pada penambahan downline, mencari anggota sebanyak-banyaknya.

Benar, film ini juga sempat menyinggung tentang Money Game, penipuan berbasis MLM tetapi film ini hanya mengelak dengan tokoh utamanya mengatakan, 'kalau gak ada produknya, itu pasti penipuan'. Masalahnya, Neng Acha.. Di film ini, walaupun sosok perusahaan 'Grand Vision' diperlihatkan memiliki produk, tak ada satupun adegan menjual produk. Usaha tokoh utamanya hanyalah mencari anggota, merekrut atau bahasa di film ini, 'memprospek' tanpa ada satupun adegan penjualan. Penghasilan yang didapat oleh tokoh utamanya pun hanyalah bonus dari Grand Vision, bukan dari penjualan. Lalu apa bedanya Grand Vision dengan MLM tanpa produk?

Alhasil, biarpun tokoh utamanya dapat mobil sekalipun bahkan impian masa kanak-kanak sang ibu juga tercapai di akhir cerita, niscaya penonton tak tergugah, apalagi untuk bersimpati pada agen MLM di dunia nyata. Kata-kata mutiara berhamburan tetapi menjadi mirip jargon-jargon dan propaganda-propaganda MLM. Maaf, mBak Titien dan Bang Hanung.. kalian gagal menggugah melalui film ini.

Buatku pribadi, yang menarik dari film ini justru bukan perjuangan tokohnya dalam dunia MLM tetapi justru dalam dunia sampingannya selama beberapa hari, kehidupan malam. Benar, menurutku, masih jarang film Indonesia yang menampilkan sosok pekerja keras di dunia malam seperti itu, sosok yang tidak menjual tubuhnya tetapi justru harus membersihkan meja-meja, mengepel lantai. Mungkin menarik kalau kelak ada film yang benar-benar mengeksplorasi dunia ini, bukan hanya sisi superfisialnya tetapi justru memperlihatkan kisah tukang pukulnya, tukang bersih-bersihnya, tukang parkirnya dan kemudian pekerjaan mereka dibenturkan dengan pihak-pihak lain dari polisi sampai sosok-sosok berjubah putih. Okeh.. aku menyimpang jauh di sini.

Kembali ke topik,
kawanku, mantan aktivis teater kampus di kota kecil di Jawa Timur, pernah berteori, "Hanung bukan tipe sutradara yang bisa memaksa aktor bermain melewati batas kemampuannya. Ia memilih aktor sesuai perawakan dan sifat asli si aktor". Kawanku mungkin benar, terutama melihat Fedi di film ini. Namun, Acha Septriasa mungkin bisa jadi antitesis dari pernyataan kawanku. Aku berani bersumpah, sepanjang film ini aku berkali-kali ragu apakah benar Acha yang bermain film ini. Acha seakan-akan menjelma menjadi sosok seperti... Nirina Zubir. Acha di sini bukan Acha di film "Love" apalagi di film "Love is Cinta" (apalagi film "Heart"). Jujur, aku berharap aku bisa melihat lagi sosok Acha yang lain di masa mendatang.

Bang Hanung, anda sedang tidak bikin film propaganda, kan?
Karena jujur saja, menurutku, ini titik terendah dari jejak karya anda ( walau kuakui, aku belum nonton Lentera Merah dan Sundel Bolong ). Sayang sekali, neng Acha yang sudah berusaha mengubah citra di sini jadi sia-sia.

1 comments:

edratna said...

Hohoho...pantes tiket habis dibeli tianshi...
Kemarin bingung apa hubungan tianshi dengan film ini.

Biasa berhubungan dengan sektor riel dan hal riel, yang jelas saya ga bakal tertarik dengan MLM, biarpun yang jual teman dekat, dan menawarkannya sampai ber-busa2. Malah akibatnya hubunganku jadi jelek dengan teman tadi....karena prinsip: beli sesuatu karena kebutuhan, bukan karena keinginan, dan bukan karena rayuan sang penjual...hehehe