Terjemahan Laporan Um Antara Tentang Lokakarya Sabandar di Yogyakarta 8-9 November 2014
Sumber:
salinan laporan dalam Bahasa Inggris dari forum Sahabat Silat (sumber asli saat ini tidak bisa diakses) yang disalin-rekat oleh Kang Irfan M Fanani ke dalam topik grup fesbuk Komunitas Penggemar dan Praktisi Beladiri Indonesia
https://www.facebook.com/groups/komunitas83/permalink/748008971941898/
Tautan asli di Sahabat Silat (mungkin harus login dahulu)
http://sahabatsilat.com/forum/techniques-and-style-(jurus-silat)/workshop-sabandar-8-9-november/
Berikut adalah terjemahan dari tulisan Um Antara tersebut (diterjemahkan secara bebas).
Pertama-tama, saya (Antara) harus memberikan sedikit latar belakang tentang hubungan saya dengan aliran-aliran macam ini. Selain untuk memanjakan ego saya -yang selalu dikeluhkan istri saya-, saya juga merasa berkewajiban untuk menjaga harapan pembaca untuk tidak berlebihan.
Saya tidak tahu Sabandar. Tentu saja saya telah mendengar bahwa Sabandar, bersama dengan saudara-saudaranya, Kari dan Madi, yang menjadi pondasi-pondasi utama banyak dari aliran-aliran Sunda tetapi saya tak tahu bagaimana persisnya. Pengalaman saya dengan Silat terbatas dan sebagian besar adalah aliran-aliran Betawi, yang langsung kasat mata dan praktis. Dengan aliran-aliran Betawi yang saya kenal, tidak banyak yang berbicara tentang konsep-konsep. Fokus utama adalah mengalahkan orang lain secepat mungkin, "jika dia melakukan ini, maka Anda melakukan begini". Jika ada konsep yang melandasinya, siswa harus menemukannya sendiri setelah bertahun-tahun berlatih.
Saya menganggap diri saya orang yang lebih mencintai konsep, sampai-sampai saya suka berbicara dan membaca tentang mereka dan malah tidak punya waktu untuk menempatkan mereka ke dalam keringat. Dan itu sebabnya saya akhirnya datang untuk bertanya-tanya tentang Sabandar dan saudara-saudaranya.
Dari workshop pertama yang diadakan beberapa bulan yang lalu - dan saya lewatkan- saya belajar bahwa Sabandar adalah silat jenis 'Tenaga Dalam'. Dan dari sekian banyak versi 'Tenaga Dalam', aliran ini termasuk tipe yang melempar orang lain tanpa menyentuh.
"Oh, tipe yang seperti itu", pikir saya tak acuh.
Saya punya alasan untuk apatis. Saya pernah latihan seperti itu lebih dari dua puluh tahun yang lalu dan tidak berhasil. Setelah setahun berlatih, saya masih tidak bisa mendorong siapa pun dengan --konon-- tenaga yang tak terlihat dan tidak pula merasakan tenaga dari orang yang mengaku mengerahkannya pada saya. Sangat kecewa melihat orang-orang terlempar dengan mudah di sekitar saya, yang kebetulan adalah junior saya, dan saya hanya berdiri diam di sana seperti patung perunggu. Lebih buruk lagi, saya dicap sebagai mati rasa dan tidak peka, bukannya mereka yang seharusnya dicap lemah dan tak berdaya.
Butuh waktu lima belas tahun untuk menyembuhkan luka harga diri saya. Pada percakapan dengan almarhum O'ong Maryono, semua orang termasuk saya menghormatinya sebagai tokoh terkemuka di Silat Indonesia, saya belajar bahwa ia memiliki pengalaman serupa. Bedanya, sementara saya mempercayainya sebagai tanda kelemahan, O'ong justru menantang guru yang mengklaim memiliki kekuatan seperti ini dan sukses memukul mereka. Dia tak percaya pada tenaga macam itu. Baginya, Silat adalah murni fisik. Silat murni tentang kecepatan, kekuatan, dan waktu.
Saya hingga sekarang dan selamanya akan selalu bersyukur telah mendengar ceritanya.
Namun, pikiran sempit niscaya akan menuju jalan kehancuran. Pikiran skeptis yang sehat tidak akan menampik melainkan meminta bukti dan melakukan eksperimen. Mereka mengamati, bertanya, dan melihat dari perspektif orang lain. Jadi ketika saya mengetahui bahwa akan ada lokakarya lain di Jogja, saya mendaftarkan diri segera. Jangan-jangan saya adalah orang pertama yang mendaftar.
====
Saya tidak akan menjelaskan tentang sejarah Syahbandar / Sabandar sini, selain itu tidak dibahas dalam lokakarya ini, sudah ada banyak versi yang ditulis dalam internet, dengan berbagai kualitas tulisan dan tingkat seberapa bisa dipercaya ceritanya. Oleh karena itu, izinkan saya untuk fokus hanya untuk pengalaman belajar pribadi saya.
Setelah dua hari mengemudi dari rumah dan satu hari penuh Merapi Lava Tour dengan anak-anak (Anda percaya mereka mengizinkan saya untuk pergi ke Jogja sendirian?), Saya tiba di Really Fitness Center, tempat lokakarya. Masih belum pulih dari kelelahan, saya berjabat tangan dengan peserta lainnya, beberapa sudah saya kenal, dan beberapa lainnya saya punya firasat pasti kelak bertemu di suatu tempat, dan sisanya baru saya kenal. Pada dasarnya mereka adalah orang-orang itu lagi, yang dicap istri saya sebagai orang gila Silat.
Fasilitator, Pak Bambang Kurniawan dari Sukabumi adalah orang yang menyenangkan untuk diajak bercakap-cakap. Dia memancarkan kepercayaan penuh dengan seni yang dipelajarinya, dan tidak pernah enggan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Yang mengejutkan saya, dia mengakui bahwa ia keturunan Tionghoa dengan nama keluarga Chen, ya seperti nama aliran Taichi Chen. Ketika saya bercanda apakah dia akan mengajari kita Taichi bukan Sabandar dia tertawa dan berseru bahwa Sabandar tak lain adalah Taichi Sunda. Kemudian ia tiba-tiba berubah serius dan mengatakan bahwa jika saya telah belajar Taichi sebelumnya, saya akan segera melihat kemiripan.
... Dan kami mulai. Tidak ada pidato, tidak ada formalitas, dan tidak ada pemanasan. Hanya perintah sederhana, "mengambil posisi Anda".
Pertama, kita belajar sebuah jurus. Menurut Pak Bambang, hanya ada lima jurus di Sabandar ia belajar, yaitu dari garis keturunan Aki Ochim. Yang ia ajarkan adalah jurus pertama.
Itu adalah jurus yang sangat sederhana, dan tentu saja bukan jurus tipe "how-to". Kami diminta untuk membentuk kuda-kuda lebar sekehendak kita ... Rincian bagaimana persisnya tidak menjadi hal penting. Pak Bambang menepis semua pertanyaan mengenai sudut, arah, posisi kaki, atau sejenisnya, ia hanya berkata "serendah mungkin yang nyaman bagi Anda." Saya langsung tertarik. Itu kemungkinan jurus prinsip, bukan tentang rincian atau bentuk.
Dengan tangan terentang ke depan, membungkuk di siku, dan membentuk tinju longgar, kami diminta untuk menarik nafas dan mengeraskan semua otot sambil menahan nafas. Ini mengingatkan saya pada latihan isometrik, mirip dengan yang dilakukan oleh Kata-Kata yang ada di aliran-aliran Okinawa lama (misalnya Sanchin). Lalu kami membuat langkah kecil ke depan, melepas tinju kita ke depan sedikit, dan menghembuskan ledakan napas sekaligus melalui hidung, semua dilakukan dalam hitungan tunggal. Setelah itu, datang ciri khas dan yang paling penting dari jurus tersebut; relaksasi total. Hanya sesaat setelah gerakan meledak, kita harus mengendurkan semua otot-otot kita sambil tetap mempertahankan postur tubuh, dari seratus menjadi nol dalam sekejap mata.
Begitulah jurus berakhir. Kami memulai kembali dengan menarik nafas lagi.
Setelah beberapa kali melakukan jurus bolak-balik, saya melihat beberapa hal yang layak disebutkan dari jurus tersebut;
1. Ini mengajarkan siswa yang pertama kali belajar dasar-dasar memukul. Semua orang yang latihan di seni bela diri lebih dari tiga bulan dapat menghargai pentingnya tiga serangkai dalam pukulan, yaitu pernafasan yang kuat (kadang-kadang dinyatakan sebagai teriakan/kiai), ketegangan otot selektif, dan menempatkan berat badan di belakang pukulan. Jurus ini, dilakukan dengan benar, akan memungkinkan siswa untuk mempelajari tiga hal tersebut sekaligus.
2. Membentuk Otot-skeletal. Dengan mengawali otot lengan yang longgar namun di tengah jurus mengeras, merentang ke depan, memberikan pemahaman dasar kepada siswa tentang struktur bodi dalam gerakan memukul. Siswa tidak diperkenankan untuk menarik lengan sebelum melangkah maju dan melepas tenaga ke depan; mereka harus tetap dalam kondisi sama dalam keseluruhan gerakan, seperti ketika menusukkan tombak. Ini mengajarkan siswa untuk tidak bergantung pada otot lengan saja, tapi juga menyalurkan berat badan.
3. Penguatan inti dan pemanfaatannya. Tak perduli apakah siswa menyadari atau tidak, melakukan jurus yang akan memberi mereka kontrol yang lebih baik atas otot-otot inti. Bergerak maju dengan semua otot tegang memperjelas rasa gerakan, sehingga memberikan siswa dengan semacam "kinestetik / kesadaran saraf" tentang otot yang digunakan untuk gerakan tersebut, terutama otot inti. Tentu saja, karena jurus itu isometrik alamiah, maka juga akan memperkuat otot-otot.
4. Kontrol atas otot, kemampuan untuk mengendurkan otot-otot sesuai kehendak. Saya melihat ini memiliki dua manfaat. Pertama, pada tingkat fisik itu memungkinkan siswa untuk menyingkirkan ketegangan yang tak perlu yang mengurangi efektivitas teknik tempur mereka. Kedua, ia mengajarkan siswa untuk tetap tenang dalam pertempuran. Selain itu, pada tingkat yang lebih praktis, penting bagi tempur untuk dapat beralih posisi di antara santai dan tegang sesuai tuntutan situasi. Jurus ini memberikan dasar keterampilan penting tersebut.
Tentu saja, saya membayangkan bahwa siswa yang pertama kali belajar akan merasa sulit memahami semua konsep di balik jurus tersebut. Ini adalah tahap ketika siswa hanya harus berlatih dengan tekun, dan bahkan taqlid atau ikut instruksi membabi buta, di bawah pengawasan guru yang berkualitas, sampai keunggulan tersebut terwujud dengan sendirinya. Hal ini yang saya suka dari metode tradisional, Anda tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan hanya menempatkan percaya penuh pada guru anda. Jadilah hubungan orang tua-anak.
Tadi adalah pemahaman saya tentang jurus tersebut, menggunakan otak saya yang keras kepala dan sudah dijejali pendidikan ilmiah.
Sekitar satu jam dan beberapa nafas kemudian Pak Bambang menghentikan kami, sudah waktunya untuk banbanan.
===
Aku memutar mataku dan melihat sekeliling. Mahluk apakah banbanan itu?
Rupanya itu adalah permainan pelempar dan yang dilempar (jika kata tersebut ada sama sekali) yang telah melukai harga diri saya bertahun-taun yang lalu. Saya tak tahu permainan itu memiliki nama. Jadi seolah-olah tangan Ilahi telah memutar waktu, aku mendapati diriku berdiri di sekitar orang-orang yang bahagia dilemparkan ke sana kemari. Déjà vu yang berusia dua puluh tahun.
Bertekad untuk tidak tergoyahkan oleh trauma waktu lama, saya datang ke Pak Bambang untuk bercakap secara pribadi.
Dia mengamati saya untuk sementara waktu dan kemudian berkata, "Ini tidak akan sulit bagi Anda. Ayo, sikap pasang". Aku berdiri dalam bentuk kuda-kuda jurus.
"Baik, sekarang kita akan melakukan prosesnya secara perlahan. Seperti belajar huruf, Anda akan belajar mengeja huruf", ia meletakkan tangannya ke depan, ringan menyentuh lengan saya sendiri. "Sekarang, kita mulai dengan kepekaan gerakan".
Pak Bambang pindah tangannya sedikit, dan saya secara intuitif menyesuaikan posisi saya sesuai. Saya mempelajari Musubi di masa-masa latihan aikido dahulu, Kakei di masa-masa latihan Karate, dan pernah memiliki kawan sebagai pasangan berlatih Tuishou Taichi. Aku tahu apa yang diharapkan dari jenis latihan, dan saya menganggap diri saya mampu dari segi mengikuti gerakan.
"Bagus," seru Pak Bambang. "Anda sudah memiliki rasa. Sekarang ke langkah berikutnya. "
Dia pindah tangannya pergi sedikit sehingga tangan kita tidak lagi bersentuhan tapi masih cukup dekat sehingga aku bisa merasakan panas memancar dari kulitnya. Ia pindah lagi dan aku menyesuaikan diriku dengan gerakannya.
"Ternyata kita bisa melewatkan bagian ini juga." Pak Bambang membuat satu langkah mundur. "Kali ini, masih sama. Anda hanya merasa dan ikuti. "
Nah sekaranglah kesulitan dimulai. Saya tak merasakan apa-apa karena Pak Bambang adalah satu langkah menjauh dan ia tak membuat gerakan apapun.
"Tegangkan dirimu sedikit, seperti saat melakukan jurus."
Aku melakukan apa yang dia katakan dan tiba-tiba saya merasakan dorongan ringan pada bagian tertentu dari tubuh saya. Saya mengubah kuda-kuda saya.
"Jangan melawannya. Rasakan dan ikuti, seperti yang Anda lakukan sekarang. "
Aku membiarkan diriku jatuh setelah terdorong, melakukan Ukemi sesuai dengan arahnya. Dengan itu, aku lebih baik memahami mengapa itu disebut ukemi, "seni menerima".
"Mari kita lakukan lagi, hanya saja kali ini saya tidak akan memberitahu Anda kapan dan arahnya. Hal ini untuk meyakinkan Anda bahwa sensasi tersebut nyata dan bukan hanya produk dari imajinasi Anda. "
... Dan kemudian hal-hal itu terjadi. Aku membiarkan diriku didorong. Kadang terdorong mundur, kadang-kadang ke samping, kadang-kadang ke bawah yang membuat saya merasa tubuh saya menjadi berat, dan ada masa saya merasa tubuh saya mendapat terkunci, saya tidak bisa bergerak.
"Baik," Pak Bambang tertawa kepuasan jelas. "Anda sudah memiliki semua yang kita butuhkan untuk bermain banbanan. Sekarang lakukan pada saya. Sama seperti di jurus, kecuali sekarang Anda memproyeksikan tegang pada otot Anda kepada saya. "
Saya melakukan instruksinya dan Pak Bambang jatuh ke arah yang kuhendaki. Tidak ada permainan menebak keinginan.
"Anda sudah baik dalam hal itu, hanya saja selama ini tidak pernah mendapat instruksi yang benar," Pak Bambang mengusap wajahnya dengan nya t-shirt, gerakan yang sekarang saya kenali sebagai ciri khasnya. "Sekarang carilah pasangan dan bermain-main lah. Anda tidak perlu pelajaran lagi. "
Sungguh mencerahkan.
... tetapi pada dengan diri saya yang analitis.
Meninjau pelajaran yang baru saya dapati, jelaslah bahwa banbanan bukan permainan mengerahkan tenaga untuk membuang lawan dari jarak jauh, setidaknya tidak dalam arti agresif. Seseorang membutuhkan pasangan berlatih dengan kepekaan tertentu untuk dapat mengerahkan 'tak terlihat'. Jika tidak, maka tidak akan berhasil. Jika saya harus membuat analogi, itu seperti membawa senapan yang hanya bekerja melawan jenis lawan tertentu, tapi Anda tidak tahu lawan seperti apa. Saya jelas tidak akan mempercayakan hidup saya dengan senjata tersebut. Jadi bahkan jika energi itu nyata (yang pada saat ini saya cenderung untuk percaya) mengapa repot-repot berlatih banbanan? Ini memiliki nilai yang tempur yang kecil.
Pertanyaan lain ... bagaimana bisa hal itu sekarang bekerja pada tubuh saya?
===
Beberapa gelas teh Jawa, memar, dan kecelakaan kecil (beberapa orang terlempar ke dinding atau pilar) kemudian, kelas kembali dipanggil untuk istirahat. Cukup dengan banbanan, sekarang adalah waktu untuk Kereteg.
Bahasa Jawa saya memalukan dan kemampuan Bahasa Sunda saya jauh lebih buruk. Sepengetahuan saya Kereteg berarti jembatan dalam Bahasa Jawa. Saya tak tahu apakah itu memiliki arti yang sama dalam Bahasa Sunda. Pikiranku mengembara ke tempat yang disebut "Titi Bobrok" di Medan, di mana Titi berarti jembatan dalam bahasa Melayu klasik. Mie Aceh yang disajikan di dekatnya sangat mewah.
Ya, saya tahu saya harus memperbaiki kemampuan saya memusatkan pikiran.
Jadi bagaimana Kereteg dilakukan?
Konsep ini, Pak Bambang menjelaskan, untuk bisa mendeteksi niat lawan, bahkan sebelum ia benar-benar bergerak.
Pak Bambang memasangkan dirinya dengan salah satu peserta. Keduanya membuat kuda-kuda lebar dan lengan terentang ke depan. Instruksinya adalah untuk merasakan seperti dalam permainan Banbanan tadi.
Tidak ada yang terjadi pada beberapa percobaan pertama. Aku bahkan tidak menyadari apakah ada percobaan. Di mata saya, mereka hanya terlibat dalam lomba saling menatap.
Tiba-tiba mereka saling menukar serangan. Pak Bambang mencegat kepalan yang tertuju ke dagunya.
"Baik", Pak Bambang hampir bertepuk tangan. "Itulah caranya". Orang-orang mengangguk serempak.
Ya Allah, bantulah saya. Saya tak tahu apa yang sedang terjadi. Semua orang kecuali tampaknya tahu apa yang akan terjadi. Jadi mereka memiliki pertukaran serangan singkat, lalu apa?
Tidak ada waktu untuk menjadi pemalu. Aku melangkah ke depan, siap untuk meminta pelajaran langsung.
"Seperti di banbanan, rasakanlah," Pak Bambang mengatakan setelah kami memasang kuda-kuda. Aku seperti yang diperintahkan.
Saya merasa apa-apa dan dari ekspresi Pak Bambang, saya bisa mengatakan bahwa saya melewatkan sesuatu.
"Ok," katanya. "Coba lagi. Mari kita mengeja lagi. "
Dia membuat tiba-tiba bergerak, seolah-olah ia akan memukul saya. Saya secara naluri bereaksi dengan antisipasi.
"Baik. Tetap jaga perasaan waspada itu dan mari kita coba lagi. "
Kali ini aku merasa gerakan di sekitar perut saya dan itu mengirim pulsa untuk bergerak. Saya melakukan, saya tiba-tiba dalam keadaan menangkis.
"Aish," Pak Bambang menghentikan gerakan saya. "Kenapa ditangkis? Anda memiliki kesempatan untuk bereaksi sebelum saya membuat saya bergerak. Menangkis adalah membuang-buang kesempatan. Pukul! "
Jadi saya menyiapkan pikiran saya untuk memukul ketika perasaan itu datang lagi. Terjadi lagi dan kali ini kulepas tinjuku ke wajah Pak Bambang, hampir tidak sadar. Untungnya aku berhasil menghentikannya dalam waktu yang tepat.
"Nah begitu," tawa Pak Bambang adalah memekakkan telinga saya. Dia senang sebagai seorang anak. "Coba lagi."
Kami melakukan beberapa putaran lagi sampai Pak Bambang puas.
Jadi itulah Kereteg. Itu adalah permainan lain, seperti Banbanan, di mana seseorang harus menggunakan rasanya untuk mendeteksi serangan yang akan masuk dan bereaksi sebelum serangan diluncurkan. Penyerang harus mengerahkan serangan dalam pikirannya, dan pemain harus mampu me'rasa'kan serangan itu dan menjawabnya. Serangan balik lebih disukai dari tangkisan atau elakan, karena menggunakan pengetahuan pre-emptive secara maksimal. Namun, orang-orang yang percaya pada 'Ni Sente Nashi' (tidak ada serangan pertama) tidak perlu merasa bersalah karena serangan itu sudah dilakukan, hanya saja belum dilaksanakan.
Yah, aku tahu kalimat tadi membingungkan ... pada dasarnya niat untuk menyerang ada di sana.
Mereka yang berlatih seni memukul Jepang dapat membandingkannya dengan "Deai", serangan sebelum serangan, atau banyak orang juga menyebutnya "Sen No Sen".
Itu adalah akhir hari pertama. Pak Bambang menunjukkan beberapa hal yang berkaitan dengan kepekaan, misalnya ia menempatkan kotak rokok di saku belakang dan meminta saya untuk mengambilnya kapan saja dari punggungnya. Dia selalu bisa memberitahu dan menangkap saya kapan saja saya membuat bergerak.
"Dengan rasa yang sangat terlatih," jelasnya. "Anda bakan tidak perlu untuk melawan sama sekali. Anda akan mampu mendeteksi niat buruk dari jarak jauh dan menjauh. "
Memang tidak baik untuk harga diri, tapi saya setuju dengan dia.
Sayang sekali bahwa saya harus melewatkan hari kedua karena saya dibutuhkankan untuk menghadiri untuk penyakit putri saya.
===
Renungan ...
pertama,
Permainan melempar orang bukanlah pertunjukan serangan bola api ala Kamehame Dragon Ball. Ini adalah permainan yang dirancang untuk mengasah kepekaan siswa. Apakah itu untuk menunjukkan keterampilan seseorang, yang dilempar, karena dia memiliki kemampuan untuk merasakan tenaga 'tak terlihat' dan menerimanya dengan tubuhnya. Menjanjikan kemampuan untuk melontarkan orang-orang dari jarak jauh adalah konsep yang melenceng dari permainan ini.
kedua,
Banbanan dilengkapi dengan Kereteg yang memberi nilai tempur. Kereteg memanfaatkan kepekaan yang diperoleh dari melakukan jurus dan permainan banbanan untuk mendeteksi niat lawan. Semakin peka, semakini dini mendeteksinya dan semakin jauh jarak deteksinya.
ketiga,
Saya tidak bisa menyimpulkan belum, apakah energi yang terlibat dalam dua permainan tersebut. Saya tidak ingin membuat hipotesa apa pun, karena saya hanya mengalaminya di lokakarya dan tidak pula saya akan mengajukan hipotesis-hipotesis seperti plasebo, imajinasi, NLP, hipnosis, bio-energi atau apa pun. Untuk saat ini saya akan memutuskan bahwa saya merasakan energi jadi itu mungkin ada. Pengamatan lebih jauh dibutuhkan sebelum saya dapat membuat penjelasan.
keempat,
Kepekaan saya gagal dua puluh tahun namun sekarang bekerja hanya dalam satu hari lokakarya.
Saya tak tahu apakah dengan instruksi yang benar siapapun akan mampu mencapai kepekaan dalam satu hari, atau saya telah tanpa sadar mencapainya dengan latihan-latihan saya yang lain dan Pak Bambang hanya membantu saya menyadarinya? Jika yang terjadi adalah yang pertama, maka metode apapun akan membawa hasil yang sama, hanya soal kapan menyadarinya. Kalau yang terjadi adalah yang terakhir, maka kepekaan bukanlah benar-benar konsep yang sulit untuk dipahami, dapat diperoleh dalam satu hari.
Kesimpulan?
Hal ini masih terlalu dini bagi saya untuk memutuskan. Saya perlu mengamati lebih dari seni menarik ini. Dengan itu dikatakan, saya memutuskan untuk mendedikasikan tiga bulan ke depan untuk secara eksklusif berlatih jurus pertama (seperti yang disarankan oleh Pak Bambang). Jika ada sesuatu yang lebih untuk itu, saya seharusnya dapat melihatnya menuju suatu hal.
0 comments:
Post a Comment