Thursday, April 09, 2015

[BUKAN REVIEW] TJOKROAMINOTO - (Std: Garin Nugroho, aktor: Reza Rahadian, Tanta Ginting, Ibnu Jamil)


Garin belajar dari Soegija. Tjokroaminoto-nya bisa dibilang lebih baik dari Soegija.
Dari sisi kualitas produksi sih, tata artistik, musik, dan sebangsanya, bisalah film ini kunilai 8. Teorinya sih begitu. 

Sayangnya ini film sejarah yang juga cukup dikenal. Jadi aku membawa beberapa harapan saat menontonnya. Alhasil, saya tidak bisa menilai setinggi 'kualitas produksi'-nya. Toh, proses menonton juga melibatkan sisi emosional subyektif si pemirsa.

Durasi film ini nyaris tiga jam dan sebenarnya bisa dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sejarah berdirinya Sarekat Islam dan bagian kedua adalah sejarah berdirinya Partai Komunis Indonesia.

Bagian pertama, LAHIRNYA SAREKAT ISLAM saya kecewa berat. Lebih baik membaca buku-buku tentang masa berdirinya Sarekat Islam baik non-fiksi maupun fiksi (seperti Jejak Langkah-nya Pramoedya Ananta Toer) yang jauh lebih memberikan kisah tentang kondisi ekonomi, persaingan bisnis antar pedagang, politik etis yang tak cukup, dan hal-hal semacam itu. 

Di film ini, Garin lebih banyak bermain simbol-simbol (dan jangan salah, saya mengerti dan menangkap beberapa simbol tersebut) tetapi mengabaikan narasi tentang pergerakan menjelang terbentuknya Sarekat Islam versi Tjokroaminoto sehingga terkesan melompat-lompat. Saya berani bertaruh, anak SMU yang awam sejarah dan menonton film ini pasti tidak tahu siapakah itu Haji Hasan Ali Surati. Paling yang cukup jeli mungkin bisa menebak bahwa beliau ada hubungannya dengan perusahaan bernama "Setia Oesaha". Jangankan sosok itu, sosok Samanhoedi pun juga hanya ditampilkan sekilas.

Selain itu, Garin juga lebih sibuk mencoba menampilkan pesan politiknya tentang keberagaman (diwakilkan oleh suku bangsa Tionghoa yang sudah membentuk perkumpulan THHK dan Stella, karakter campuran Indonesia-Belanda) dari Indonesia sehingga karakter-karakter yang terlibat dalam pembentukan Sarekat Islam jadi terkesan sekedar ditempel.

Alhasil, saya hanya bisa memberi nilai 6 dari 10 untuk bagian pertama tapi tenang, keseluruhan film ini nilainya tidak serendah itu karena masih ada bagian kedua.


Bagian kedua, yakni LAHIRNYA PARTAI KOMUNIS INDONESIA justru adalah -- dan saya sudah bisa menebak dari jauh2 hari melihat daftar tokoh dan cast -- bagian terbaik dari film Tjokroaminoto.

Berbeda dengan bagian pertama, karakter pendukung di bagian kedua, Semaoen, Muso, Darsono, Sosro sudah diperkenalkan di bagian pertama dan penonton diajak terlibat dalam perkembangan karakternya, dari karakter yang "nyantrik" pada Tjokroaminoto kemudian membangkang. Dan seperti yang saya harapkan, mereka terlihat mempunyai pikiran sendiri, bukan 'boneka Sneevliet' yang selama ini digemborkan oleh pelajaran-pelajaran sejarah di sekolah masa orde baru.

Yang juga membuat bagian kedua berhasil adalah sosok Agus Salim yang mungkin tidak akurat (seingat saya Agus Salim sudah berjenggot dari zaman pergerakan) tetapi cukup sukses untuk menampilkan "sosok baru" dalam Sarekat Islam yang 'beda budaya' dan *uhuk* mantan pegawai Belanda. Ya, Garin berani mendobrak, menampilkan Agus Salim, dengan penampilan berbeda dengan sosoknya pasca 1940 yang sudah "Islam banget".

Selain itu, walau tidak berani bermain di taraf perdebatan teoritis Marxis, tetapi di bagian kedua ini, ada beberapa isu-isu yang dimunculkan oleh tokoh-tokohnya. Untuk pertama kalinya, dalam sejarah perfilman Indonesia pasca orde baru, Partai Komunis Indonesia ditampilkan sebagai sosok-sosok idealis yang punya cita-cita.

Sayangnya, Garin terlalu ber-indah-indah-ria di bagian kedua ini sehingga mengurangi nilainya. Ia menampilkan buruh-buruh yang berdiskusi dengan Semaoen adalah buruh-buruh tani sehingga dalam diskusi serius, tampaklah warna-warna hijau yang rimbun di latarnya. Padahal, kenyataannya yang diajak diskusi jugalah buruh-buruh pabrik dan buruh-buruh kereta api. Pakaian Semaoen dan kawan-kawan saat berdiskusi sana-sini juga selalu necis tanpa pernah ada sepercik pun kotoran sehingga menimbulkan kesan elit yang jauh dari buruh. 
Bagian kedua ini, dan akhirnya menjadi penilaian saya untuk keseluruhan film, kunilai 7,5 dari 10. 

Tentu saja masih ada bagian-bagian lain dari film ini seperti kemunculan Koesno (Soekarno) atau kisah pribadi Tjokroaminoto dan istrinya namun jujur saja, kurang membuat saya tertarik. Bahkan cara aktor Soedjiwo Tedjo melakukan perannya di film ini, tak sebaik di film Soekarno. Bagian-bagian lainnya, terlalu "drama panggung" bahkan kadang seperti "Ludruk" yang dibawa ke layar lebar. Begitu kuat kesan "ludruk" terutama di bagian pertama film ini, saya sempat terpikir, mungkin seharusnya Garin membuat pendekatan ala opera (seperti yang dilakukan dia di Opera Jawa) kalau memang mau benar-benar 'nyeni'. 

Sebenarnya, kalau mau benar-benar meresensi film ini, bisalah saya sebut simbol-simbol yang muncul di film ini seperti kapas, lagu Terang Bulan, adegan Tjokro berbicara pada tembok keempat (pada penonton), adegan potong kuncir, adegan wanita Tionghoa berbaju ala Barat, gambar pendopo ala panggung ludruk yang ada di rumah Peneleh, karakter Stella dan Bagong tapi saya sedang tak mau meresensi film ini. Cukuplah sekedar menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal saat menontonnya.

0 comments: