Friday, February 16, 2018

[BUKAN REVIEW] Black Panther

*dan seperti biasa Spoiler*
*untuk panduan orang tua, ada di bagian akhir*

Black Panther adalah film Marvel yang akhirnya bisa melampaui genre-nya, seperti halnya film The Dark Knight. Layaknya The Dark Knight, ada isu-isu kontemporer dalam film ini dan dapat dikatakan lebih dalam daripada Winter Soldier. Kabar buruknya, sementara The Dark Knight bisa dinikmati tanpa harus berpikir berat, Black Panther mungkin sulit dinikmati. Kuamati, banyak kawan-kawan yang mengeluh filmnya membosankan dan bikin mengantuk. Bahkan saat kutonton tadi, saya dan ibu putriku tertawa sendirian sementara sekitar kami diam sunyi.

Jadi, apa sih kisah film Black Panther ini? Kalau ada yang menceritakan film Black Panther sebagai "perebutan tahta" atau "intrik politik Wakanda", maka itu sama saja menganggap The Dark Knight sekedar film tentang Joker memasang bom di rumah sakit, di kantor polisi, dan bikin onar di sana-sini. Berbeda dengan Joker yang menghibur penonton di kemunculannya, maka Killmonger tidak semenawan Joker, tidak teatrikal, tidak memancing tawa macam Loki. Jadi gak usah heran, film yang dapat pujian dari para kritikus ini justru dianggap membosankan bagi para fans di Indonesia.

Film ini dibuka dengan seorang ayah menceritakan tentang Wakanda, negara yang menerapkan politik isolasi ala tirai besi dengan struktur monarki. Kemudian adegan beralih ke tahun 1992 pasca kerusuhan Los Angeles yang disebabkan tindakan kekerasan polisi rasis. Sementara sekelompok anak-anak afro-Amerika bermain basket di luar, di dalam apartemen, dua orang kulit hitam resah, khawatir polisi kulit putih datang menyerang. Sementara itu, di balik awan, cahaya biru menyelinap menuju ke apartemen. Kelak apa yang terjadi di apartemen ini menjadi latar belakang penyebab cerita dalam film.

Seusai 1992, film mengajak penonton ke Nigeria masa kini, salah satu negara Afrika yang menyimpan problem kekerasan oleh milisi-milisi bersenjata (misalnya Boko Haram). Kita menjumpai sang pahlawan berusaha menyelamatkan mantan kekasihnya yang sedang menyamar menjadi wanita yang diculik oleh milisi. Uniknya, ketika sang macan kumbang berniat menghabisi seorang milisi, si wanita malah menghalanginya, menyadarkannya bahwa sosok milisi yang nyaris dihabisi itu tak lebih dari prajurit anak.

Ketika karakter antagonis diperkenalkan kepada penonton, pembuat film mengajak kita melihat sebuah diskusi di kota London, salah satu bekas penjajah yang kekuasaannya meliputi seluruh penjuru bumi di abad 18-19. Sang antagonis, berdiskusi dengan seorang kurator kulit putih tentang koleksi-koleksi Afrika Barat di museum. Tentu saja, sang antagonis akhirnya menyindir bagaimana museum berhasil mendapatkan koleksi benda-benda Afrika dan bagaimana sang kurator memandangnya jijik sejak ia pertama kali menginjakkan kaki di museum itu.

Apa yang dikisahkan tadi barulah menit-menit pertama dan dengan latar belakang inilah, film ini menempatkan mitologi budaya pop-nya. T'challa, sang raja muda yang baru dilantik resah melihat ketidakadilan di sekitar negaranya dan mulai mempertanyakan kebijakan isolasi yang dianut leluhurnya. Namun hal itu tidaklah mudah karena rakyat-rakyatnya tak sependapat dengannya. Berbagai perbedaan pendapat timbul mengenai sikap Wakanda terhadap dunia. Di saat yang sama, reputasi raja muda tidaklah sekuat ayahnya.

Dan ya,
film ini bercerita tentang trauma penjajahan, solidaritas atas ketertindasan, isolasionisme, pengucilan, keterasingan, kesetiaan.

Walau karakter komik Black Panther tidak diciptakan oleh Afro-Amerika -- diciptakan oleh duo Yahudi Stan Lee dan Jack Kirby --, si sutradara, Ryan Coogler, memanfaatkan kesempatan ini memamerkan budaya-budaya Afrika yang selama ini diabaikan. Mantra-mantra, siul-siul, dan dentuman musik-musik perkusi? Ada! Tato dan riasan cat tubuh? Ada! Pernak-pernik perhiasan termasuk yang unik? Ada! Bahkan baju koko dengan pola hiasan yang mirip kaligrafi Arab! Menonton tata artistik dan tata busana film ini seperti sebuah jeritan kepada kaum Afro-Amerika: ini budaya leluhurmu!

Layaknya film Marvel di bioskop lainnya, film ini aslinya untuk 13 tahun ke atas (PG-13), namun LSF dengan bijak menaruhnya di 17 tahun ke atas, sayangnya ketertutupan LSF mungkin membuat orang tua garuk-garuk kepala mempertanyakan alasannya. Tidak ada adegan darah di sini (kecuali adegan darah menetes dari luka tembak) namun sepanjang film kita dijejali penuh tembakan membawa maut. Tak hanya itu, film ini juga memiliki adegan-adegan kekerasan akibat pertarungan senjata tajam seperti tombak dan pisau. Pernah melihat adegan Captain America menusuk pembajak dengan pisau di Captain America: Winter Soldier? Nah, adegan tertusuk tombak di film ini lebih banyak, lebih lama dan menampilkan wajah korban yang kesakitan.

Kalau anda adalah orang tua yang ingin mengajak anak nonton film superhero macam Spider-man, maka sebaiknya hindari film ini dan tunggu Ant-Man dan Wasp di bulan lain. Sebaliknya, kalau anda ingin memperkenalkan bahwa kulit hitam memiliki budaya menarik, wanita-wanitanya bisa menjadi wanita-wanita yang luar biasa, dan anda ingin menunjukkan pada anak anda bagaimana perbedaan tentang politik yang membawa perang saudara, maka Black Panther adalah film yang tepat.

Oh iya,
layaknya film sarat politik,
tentu saja, tidak ada solusi 100% benar di sini. Bisa jadi anda justru lebih simpati pada karakter antagonisnya dan menganggap solusi protagonis sebagai sebuah solusi naif. Atau, bisa jadi anda adalah tetua yang pro status-quo cinta kedamaian dan kestabilan walau berarti menutup mata atas ketidakadilan di luar zona nyamanmu.

0 comments: