Monday, August 19, 2019

[Bukan Review] ADAPTASI dan BERHALA AUTENTISITAS (membahas Bumi Manusia)

Saya pembaca komik sejak kecil. Dan kadang saya tak suka pada hasil adaptasi filmnya, misalnya Watchmen. Namun tak bisa dipungkiri lebih banyak yang mengenal Watchmen dari versi Snyder daripada medium aslinya.

Contoh lain dari adaptasi penuh reduksionisme bahkan menyimpang dari semangat naskah asli adalah V for Vendetta. Namun tanpa adaptasi hasil kerja James McTeigue ini, niscaya karya Alan Moore ini hanya terkubur di perpustakaan para nerd. Tak akan ada para peretas bertopeng Guy Fawkes atau demonstran-demonstran mengenakan topeng itu terinspirasi dari adegan film yang dahulu disebut para kritikus terlalu berasa Hollywood.

Novel BUMI MANUSIA adalah berhala. Kisah penciptaan karyanya yang menunjukkan kekaguman atas kegigihan Pram menulis, dan kisah bagaimana karya ini dahulu ditindas, mengangkat derajat novel ini. Sayangnya, ini juga membuat novel ini menjadi berhala, dipuja-puja tanpa kritik.

Bumi Manusia adalah karya Pram ketiga yang saya baca dan saya tidak melihat Bumi Manusia sebagai karya terbaik Pram. Kisah cinta antara Minke dan Annelies yang menjadi plot utama dibuat terlalu cepat dan terlalu 'murah' untuk seleraku. Kekuatan Bumi Manusia justru pada tokoh-tokoh samping terutama Nyai Ontosoroh. Kekuatan lain novel ini yang jarang ada di novel Indonesia lain adalah bagaimana Pram menggambarkan politik etis membuka pergaulan antara pribumi dan Eropa begitu besar.

Sebelum ini, saya sudah pernah beberapa kali mendengar bahwa Bumi Manusia beberapa kali diadaptasi menjadi karya panggung namun dengan Ontosoroh yang menjadi pusatnya. Saya jarang mendengar tentang Minke dan Annelies. Mungkin Bunga Penutup Abad salah satu dari sedikit adaptasi yang fokus pada Annelies dan tetap saja karakter samping macam Jean Marais yang mencuri perhatian.

Karena itu, ketika Hanung memilih Minke dan Annelies menjadi pusatnya, sesungguhnya ia tidak bermain aman walau cerita ini sudah dipanggungkan berkali-kali. Teater berbeda dengan film walau sama-sama merupakan media audio-visual. Tak mungkin memasang Reza Rahadian sebagai Minke di film karena berbeda dengan teater, kamera membawa wajah Reza lebih dekat, sulit untuk menutupi usia.

Penonton film juga lebih umum daripada penonton teater. Para penikmat teater umumnya lebih mafhum tentang latar sosial kisah yang dibawakan. Berbeda dengan penonton film yang acap benar-benar tak tahu sehingga menikmati karya lebih bebas tanpa prasyarat pengetahuan tertentu.

Saya tak yakin generasi masa kini paham derita yang ditanggung penyandang label Nyai. Hanung mengerti perbedaan target pasarnya dan karena itu menambahkan adegan tambahan menggambarkan seorang Nyai di jalan yang direndahkan oleh suaminya sendiri. Hanung juga menambahkan karakter-karakter tukang gosip bin julid untuk membuat situasi itu lebih terasa. Adaptasi teater tidak membutuhkan itu semua.

Penonton film umum tidak paham tentang debat teknis hukum antara Eropa dan hukum pribumi. Maka Hanung pun berimprovisasi, mempertajam perbedaan diskriminasi itu dengan menunjukkan perbedaan tingkat bahasa, hal yang hanya disinggung Pram dengan satu kalimat.

Ya, dalam novel, perbedaan bahasa itu tak kentara, hanya disebut sepintas dan dialog-dialog di buku tetap dalam Bahasa Indonesia walau konon dalam bahasa lain. Pram bahkan melakukan stereotype cadel pada gaya bahasa Babah Ah Tjong, sesuatu yang tak dilakukan Hanung.

Tak hanya perkara bahasa, Hanung juga melakukan perubahan sudut pandang dari bagian kecil. Dua paragraf dari Pram yang menceritakan opini Kommer menanggapi berita protes ulama, Hanung visualkan lebih dramatis dari sudut kaum pribumi, dari percakapan para kyai dan santri hingga penampakan demonstrasinya sendiri. Teater tidak membutuhkan improvisasi macam ini karena penonton dinilai sudah mafhum.

Tentu saja tak ada gading tak retak. Saya, misalnya, menyayangkan penghalusan bahasa dalam adegan Jean Marais melukis. Tragedi yang dikisahkan Jean dihaluskandengan mengganti kata "kafir" menjadi "pengkhianat". Aneh jika "kafir" dianggap sebagai kata sensitif padahal toh di penghujung film kata "kafir" dipakai juga dengan konteks berbeda.

Tentu saja durasi yang jauh lebih pendek akan memangkas banyak aspek dari karya aslinya. Para pemuja berhala BUMI MANUSIA itu lupa, bahwa pada dasarnya plot utama novelnya adalah pemuda yang belum matang, jatuh cinta dan terlibat skandal, plot yang acap muncul dalam kisah cinta masa modern. Mereka mengangkat berhala ini setinggi mungkin karena bumbu-bumbu samping dan riwayat penciptaan karya tersebut.

Saya sendiri awalnya skeptis dengan film ini. Namun Hanung memilih Annelies yang tepat. Annelies yang rapuh tetapi berani berbeda dengan kakaknya. Annelies yang melihat Robert Suurhoff dan menolak jatuh dalam permainannya. Annelies yang dipilih Hanung membuat kita percaya bahwa ia memang putri Ontosoroh.

Pencuri perhatian di film ini adalah Darsam. Saat membaca novelnya, saya abai pada karakter Darsam, ia tenggelam di antara bumbu-bumbu karakter terpelajar yang bertaburan di karya aslinya. Darsam dalam adaptasi menjadi seorang pribumi tak terpelajar namun berkepribadian kuat dan punya rasa membedakan salah dan benar dan punya inisiatif.

Film BUMI MANUSIA bukan film adaptasi kata per-kata dari novelnya. Ada pengurangan aspek demi durasi tetapi di saat yang sama juga ada penambahan, tafsir dari sutradara dan kru. Maka selayaknya pemujaan seseorang pada berhala novel aslinya tidak menutupi penilaian pada karya adaptasinya.

Catatan kecil: baru kali ini saya mendengar Bahasa Madura. Selama ini hanya mendengar logat Madura. Ternyata bahasanya berbeda dengan bahasa Jawa walau bertetangga ya?

1 comments:

Benton Fandras said...

This is awesoome