Friday, May 29, 2020

Mitos Anti Sosialisme Yang Beredar di Indonesia

Tulisan ini sebenarnya merupakan jawaban dari pertanyaan di Quora Indonesia, "Mengapa banyak rakyat Indonesia yang yang anti sosialisme padahal sila ke-5 Pancasila berbunyi Keadilan Sosial". Jawaban tersebut bisa dibaca di https://id.quora.com/Mengapa-banyak-rakyat-Indonesia-yang-anti-sosialisme-padahal-sila-ke-5-Pancasila-berbunyi-keadilan-sosial/answer/Narpati-Wisjnu-Ari-Pradana.

Menarik melihat jawaban-jawaban lain di topik ini. Jawaban-jawaban tersebut, yang ironisnya oleh orang-orang berlatar pendidikan ekonomi atau bekerja di bidang finansial, menjadi jawaban atas pertanyaan ini, yakni karena percaya mitos yang keliru tentang sosialisme.
Keadilan Sosial di sila kelima memang merujuk pada SOSIALISME. Kata-kata yang digunakan, "Keadilan Sosial" berbeda dengan prinsip "adil" dalam sila kedua, "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Adil dalam sila kedua adalah persamaan dalam hukum yang harus mengangkat harkat manusia, sesuai dengan pergaulan Indonesia di dunia internasional (Bung Karno menggunakan istilah Internasionalisme) sementara adil di sila ketiga terkait dengan ekonomi.
Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno mengatakan saat membahas prinsip keempat yang menjadi cikal bakal sila kelima:
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. "Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politiek yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: "Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos (menganggur), tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Jadi jelas, prinsip keempat versi Bung Karno alias sila kelima ini ditujukan untuk mencegah eksploitasi kapitalisme.
Sila kelima ini diterapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 antara lain Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 34. Mari kita lihat ketiga pasal itu untuk tahu seperti apakah "Keadilan Sosial" yang diimajinasikan oleh pendiri negeri ini.
Pasal 31, "Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapat pengajaran." Coba bandingkan dengan bunyi salah satu dari 10 tuntutan di Manifesto Komunis, "Pendidikan cuma-cuma untuk semua anak di sekolah-sekolah umum; penghapusan kerja anak-anak di pabrik dalam bentuknya yang sekarang ini. Perpaduan pendidikan dengan produksi materiil, dsb., dsb."
Pasal 33 ayat 1 berbunyi, "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.". Ini jelas sebuah pernyataan menolak kondisi "exploitation de l’homme par l’homme" (penghisapan manusia atas manusia). Prinsip ekonomi di Indonesia sudah bukan lagi murni berdasarkan keuntungan belaka tetapi harus juga memanusiakan manusia.
Pasal 33 ayat 2 dan 3 berbunyi, "(2)Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.(3)Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.". Silakan anda bandingkan dengan tuntutan dalam manifesto komunis, "6. Pemusatan alat-alat perhubungan dan pengangkutan ke dalam tangan Negara. 7. Penambahan pabrik-pabrik dan perkakas-perkakas produksi yang dimiliki oleh Negara; penggarapan tanah-tanah terlantar, dan perbaikan tanah umumnya sesuai dengan rencana bersama.",
Dan terakhir mari kunjungi pasal 34, "Fakir-miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.". Kurang sosialis apa sampai negara harus aktif memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar?
MITOS ANTI-KEPEMILIKAN PRIBADI
Kesalahan fatal mereka yang menolak mengartikan sila kelima dengan sosialisme adalah karena mereka rancu antara sosialisme dengan komunisme.
Saya kutip jawaban-jawaban mereka antara lain:
"Sedangkan sosialisme adalah sistem ekonomi atau sosial yg dimana diatur seluruhnya oleh pemerintah utk kepentingan bersama dan tidak ada kepentingan pribadi."
"Sosialisme sendiri artinya tidak mengakui kepentingan private dalam memiliki alat produksi dan mencari keuntungan atasnya."
Tiadanya kepentingan pribadi adalah komunisme, salah satu bentuk sosialisme. Sosialisme sendiri tidak harus berupa komunisme atau anarkisme. Ada yang dinamakan sosial-demokrat dengan ciri-ciri antara lain:
  1. milik pribadi masih diperbolehkan;
  2. pasar tetap ada;
  3. alat produksi vital yang penting tetap dikuasai oleh negara;
Indonesia didirikan oleh para sosialis, dari komunis hingga sosial demokrat. Bahkan Partai Komunis Indonesia dalam mencaci maki lawan-lawan politiknya, Masyumi, PSI, dkk, sebagai sosialis kanan bukan para kapitalis.
Contoh paling sederhana sosialisme yang bukan komunis adalah Republik Rakyat Tiongkok. Pasti bingung, kan?
Walaupun RRT dikuasai oleh satu partai, Partai Komunis, tetapi dari sisi ekonomi sudah tidak tepat disebut komunis melainkan sosialisme. Prinsipnya sebenarnya sudah dari awal, terlihat dari bendera mereka yang terdiri lima bintang di mana empat bintang mewakili kelas pekerja, kelas petani, borjuis kecil, dan borjuis nasional. Sempat akhirnya menjadi komunisme saklek di masa akhir Mao Zedong sebelum akhirnya dikembalikan ke khittah oleh Deng Xiaoping dengan membuka pasar. Hasilnya, kini banyak biliuner yang berasal dari RRT. Apakah kita masih akan bersikukuh memegang mitos yang mengatakan sosialis itu identik dengan tidak diakuinya hak milik pribadi ?
Mungkin melihat banyaknya para kapitalis di RRT dan kesenjangan kaya - miskin yang melebar, kita akan mengatakan Tiongkok sudah bukan sosialis tetapi kapitalis. Sayangnya hal itu juga tidak tepat. Pemerintah RRT masih menguasai kebijakan ekonomi. Terlihat dari kasus Covid, RRT bisa dengan cepat menyita lahan dan tempat tinggal dan membangun rumah sakit baru di atasnya jika dibutuhkan. Dan RRT, hingga kini, walaupun hasilnya terbatas, masih melakukan intervensi untuk menyejahterakan rakyatnya. Kalau RRT murni kapitalis, mereka tak akan bisa melakukan itu.
MITOS GAJI RATA UNTUK KERJA TAK SEIMBANG
Isu lain yang membuat rakyat Indonesia anti sosialisme (sebenarnya adalah anti-komunisme) adalah mitos seperti dalam kutipan dari jawaban lain pertanyaan ini:
"Teorinya sih sepertinya asik utk kaum bawah krn tidak ada orang kaya rasanya. Tapi kenyataannya org yg mau naik di "jegal" krn tidak bisa menonjol. Semua harus bersama."
"Karena kalau orang yang rebahan dan orang yang kerja jungkir balik digaji sama sesuai ideologi sosialisme maka gak memenuhi kriteria keadilan sosial"
Ini adalah mitos. Jika kalian membaca memoar Jung Chang, seorang desertir RRT, berjudul Angsa-Angsa Liar, dalam komunisme, prestasi itu masih dinilai. Ayah Jung Chang yang merupakan pekerja keras, mendapat fasilitas yang lebih baik dibandingkan kader-kader lain. Bahkan Karl Marx dalam Critique of the Gotha Program (ditulis tahun 1875 dan terbit setelah ia meninggal) menulis, "This equal right is an unequal right for unequal labor ( Hak sama adalah hak untuk berbeda untuk kerja yang berbeda)". Ya! Jadi Marx, salah satu tokoh sosialisme pun juga menolak gaji sama untuk usaha/kerja yang tidak sepadan.
Dan kenapa gerakan anti-kapitalis disebut sosialisme? Karena isunya bukan tentang duit tetapi tentang memanusiakan manusia. Misalnya tentang gaji tadi, selain perkara kemampuan usaha yang menyebabkan gaji harus berbeda, Marx juga mengingatkan ada faktor non-kerja
Further, one worker is married, another is not; one has more children than another, and so on and so forth. Thus, with an equal performance of labor, and hence an equal in the social consumption fund, one will in fact receive more than another, one will be richer than another, and so on. To avoid all these defects, right, instead of being equal, would have to be unequal.
Terjemahan bebas:
Lebih jauh lagi, seorang pekerja mungkin menikah, sementara yang lain tidak. Satu pekerja mungkin memiliki anak dibandingkan yang lain. Dan seterusnya, dan seterusnya. Jadi, dengan kinerja usaha yang sama, dan dana konsumsi sosial yang sama, sebenarnya satu pekerja akan mendapatkan lebih banyak daripada yang lain, satu pekerja akan lebih kaya dibandingkan yang lain, dan seterusnya. Untuk menghindari semua kekurangan ini, hak-hak, bukannya "sama", justru harus tidak sama.
Jadi sekali lagi, jangankan sosialisme, bahkan untuk komunisme pun tak ada istilah "menyamaratakan upah mengabaikan kinerja". Utopia-nya komunis adalah, masih mengutip Marx, " From each according to his ability, to each according to his needs! — dari masing-masing sesuai kemampuannya, untuk masing-masing sesuai kebutuhannya".
Perkara bahwa kemudian ada kondisi di mana orang yang sudah bekerja lebih keras tetap digaji sama dengan orang yang berleha-leha, kondisi itu juga ada di dunia kapitalis. Penyebabnya bukan sistem ekonomi sosialis atau kapitalis tetapi kondisi kelas ekonomi. Orang-orang yang berada di kelas ekonomi bawah, buruh, tidak memiliki keberanian atau negosiasi dengan kelas yang lebih atas dan kelas yang lebih atas memiliki kekuasaan untuk mengancam lebih kuat.
Itu sebabnya dalam sosialisme ada tuntutan untuk hak sekolah, penolakan terhadap eksploitasi (atau dalam bahasa UUD, perekonomian harus disusun berdasarkan azas kekeluargaan bukan azas mencari profit semata), kebutuhan asasi terpenuhi (yang tidak sanggup maka dipelihara oleh negara). Dan untuk mencegah agar kapitalis tidak bermain dalam cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, bidang itu harus dikuasai negara.
Tentu saja, di masa sekarang,"dikuasai negara" tidak harus ditafsirkan sebagai dimiliki secara monopoli oleh perusahaan pemerintah. Republik Rakyat Tiongkok yang dikuasai komunis pun melonggarkan kepemilikan di mana swasta bisa bersaing untuk perkembangan yang lebih tinggi tetapi pemerintah bisa membalikkan sewaktu-waktu. Apalagi Indonesia yang tidak memiliki partai komunis, seharusnya tidak menafsirkan "dikuasai" menjadi dimonopoli oleh negara, yang akhirnya malah menyebabkan perusahaan-perusahaan negara menjadi lahan korupsi sementara perusahaan-perusahaan tersebut malah menjadi stagnan, tidak sigap menyongsong perkembangan zaman.
Bacaan Lebih Lanjut:

0 comments: