Tuesday, April 27, 2021

Kartini dan Praktik Gratifikasi Abad XIX

 



Dari surat kepada Stella tertanggal 13 Januari 1900

".... Tidak, Stella, rakyat sudah tidak lagi membiarkan dirampok oleh pemimpin mereka dan seandainya ini terjadi, individu yang bersalah akan dipecat atau diturunkan jabatannya. Namun yang masih ada, atau bahkan meningkat, adalah kejahatan ini: menerima suap yang kurasa sama buruknya dengan merampas milik warga desa seperti pada cerita Max Havelaar.

Namun aku tak boleh menghakimi kejahatan ini hanya dari fakta mentah semata. Aku harus juga mempertimbangkan kondisi di mana kejahatan ini terjadi. Pada awalnya, para pribumi menganggap pemberian hadiah kepada atasan mereka sebagai bentuk penghormatan. Menerima hadiah seperti ini sebenarnya dilarang oleh Pemerintah tetapi para pejabat pribumi yang lebih rendah dibayar dengan buruk sehingga sulit dipercaya bagaimana memenuhi kebutuhan mereka dengan gaji yang kecil.

Seorang juru tulis wilayah, misalnya, yang duduk di meja tulisnya setiap hari, hanya mendapat jumlah kecil yang sulit dipercaya sekitar 25 Guilder per bulan, dengannya ia harus menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya; membayar sewa, berpakaian pantas, dan mempertahankan citra luar yang  pantas di hadapan bawahannya. (Jangan menghakimi perkara terakhir terlalu keras, tetapi kasihanilah anak-anak gede ini, karena sebagian besar, seperti itulah kawan-kawanku). Awalnya, juru tulis ini hanya ditawari sejumlah pisang atau semacamnya oleh warga desa dan ia akan menolaknya. Ia akan terus menolak di saat kedua kalinya tetapi ketika ketiga kalinya ia menolak ia mulai ragu. Ia mengatakan pada dirinya sendiri: bukanlah kejahatan, lagipula aku tidak memintanya karena ini diberikan padaku dan bodohlah aku untuk menolaknya jika aku bisa menggunakannya. Menawarkan hadiah bukan saja bentuk penghoratan tetapi juga berjaga-jaga melawan kesialan yang kelak datang dari Pemerintah. Seandainya si pemberi kelak diseret Wedana untuk pelanggaran kecil, ia bisa mengandalkan si juru tulis wilayah untuk membelanya.

Para ambtenaar ini diupah rendah. Seorang asisten Wedana, tingkat 2, mendapat 85 Guilder. Sekarang, dari 85 Guilder itu, ia harus membayar seorang juru tulis (asisten wedana tidak mendapatkan juru tulis yang digaji peerintah walaupun mereka juga memiliki urusan surat-surat yang tidak kurang dari para wedana, jaksa, dan lain-lain), bendi, dan kuda untuk menginspeksi hutan, membeli rumah, membayar biaya umum, menghibur kontrolir, bupati, dan kadang-kadang asisten residen yang datang ke subdistriknya untuk project tertentu. Dan jika asisten wedana tinggal jauh dari kota maka tamunya akan tinggal di pasangrahan dan asisten wedana mendapat kehormatan menjamu mereka. Rokok, air belanda, minuman keras, dan hal-hal lain membutuhkan biaya besar, percayalah, dan cukup mahal untuk seorang kepala subdistrik. Kau juga harus menghargai bahwa ia tidak hanya menjamu tamunya dari sajian yang tersedia di wilayahnya. Tidak, semua jamuan ini harus didapat dari kota. Memang sebenarnya tidak wajib tetapi sebagai tuan tamu harus memberikan yang terbaik yang dimiliknya -- atau yang tidak dimilikinya -- kepada tamunya.

Di wilayah Romo, hal ini, alhamdulillah, tidak terjadi. Ketika Romo pergi inspeksi, Romo selalu membawa makanannya sendiri bersamanya. Kontrolir juga melakukannya dan begitu juga asisten residen. Dan secangkir teh yang mereka nikmati bersama pejabat-pejabat ini tidak akan merugikan mereka. Jika ada pembunuhan atau perampokan di desa, asisten wedana tentu saja harus menyelidikinya; dan dalam tugasnya mencari pelakunya, ia harus mmerogoh kantungnya. Bukan hal yang jarang terjadi, kepala desa setempat harus menggadai perhiasan anak istrinya untuk mendapatkan uang untuk biaya penyelidikan. Tapi tentunya uang yang dikeluarkan kelak akan diganti oleh Pemerintah, kan? Aku berharap demikian. Banyak pejabat, maksudku pejabat pribumi, yang menjadi miskin dengan cara ini. Ketika kakakku tidak bisa memenuhi kebutuhan ini dengan gajinya, Romo membantunya. Apa yang bisa dilakukan petugas yang tidak bisa memenuhi dari gaji, tidak punya uang, orang tua, atau keluarga yang bisa membantu keuangan mereka? Dan ketika warga terus menerus datang dengan tawaran hadiah sementara ia melihat anak istrinya dengan baju yang sobek ... jangan menghakimi terlalu keras, Stella."

Kutipan ini diterjemahkan dari Bahasa Inggris terjemahan Joost Coté, Kartini: The Complete Writings 1898-1904.

0 comments: