Saturday, August 14, 2021

Mendongeng Bung Hatta dan Papua Kepada Anak-Anak



Akhirnya, saya mendongeng tentang Bung Hatta kepada anak-anak di komunitas Sejarah Asik. Bicara tentang Bung Hatta, berarti ada tema-tema sensitif, salah satunya Papua. Saya bisa saja menghindari tema ini mengingat target pendengar adalah anak-anak tetapi komunitas Sejarah Asik sudah pernah membahas tentang Operasi Trikora. Selain itu, salah satu alasan saya mendongeng tentang Hatta, karena pada presentasi sebelumnya ada pertanyaan, "kenapa Bung Hatta tidak ingin Papua masuk Indonesia?" Maka mau tak mau saya harus memasukkan tema sensitif ini.

Ada aturan dasar yang saya pegang ketika berniat menceritakan ini yakni saya hanya akan menggunakan sumber pro-Indonesia. Jangan salah, saya juga membaca artikel-artikel dari pihak yang menginginkan kemerdekaan Papua namun saya membatasi pada sumber pro-Indonesia karena tidak ingin terlalu dalam. Kenyataannya, dengan menggunakan sumber pro-Indonesia pun, sejarah masuknya Papua ke Indonesia cukup problematis.

Ada tiga fase sikap Bung Hatta terhadap Papua, yakni:

1. fase tidak menginginkan Indonesia bagian dari Papua (1945 - 1949)

2. fase membela keinginan Indonesia menjadikan Papua bagian darinya (1957-1961)

3. fase melihat kenyataan Papua setelah menjadi bagian dari Indonesia (1970an)


Pada fase pertama, saya bertanya kepada anak-anak, mengapa sebagian besar bapak bangsa Indonesia ingin Papua bagian dari Indonesia. Setelah anak-anak memberikan jawaban masing-masing, baru saya ceritakan argumen yang ingin Papua bagian dari Indonesia, seperti tercantumnya Wanin (Onin, sekarang Fakfak) di Negarakertagama, keterlibatan tentara Indonesia membantu tentara Jepang menghadapi sekutu. Setelah itu, barulah saya berikan bantahan dari Bung Hatta terhadap argumen-argumen tersebut. Selain itu, Bung Hatta juga mengingatkan tanggung jawab jika Indonesia memasukkan Papua.

Walau demikian, saya jelaskan juga bahwa Bung Hatta kalah suara. Namun, pada tahun 1949, Bung Hatta memutuskan menunda perkara Papua, memprioritaskan usaha membuat Belanda mengakui kedaulatan atas Indonesia dahulu.


Pada fase kedua, saya langsung berikan ringkasan pidato Hatta tahun 1957 dan tulisan Hatta tahun 1961 yang mendukung usaha Indonesia menolak kehadiran Belanda di Papua. Setelah itu, baru saya berikan data imigrasi warga Belanda pada Desember 1949, kemudian populasi Hollandia di tahun 1955. Pada dasarnya, Hatta di fase kedua ini melihat Belanda tidak punya niat tulus terhadap Papua.

Cukup menarik, salah satu anak,  yang memang ditulari ayahnya soal sejarah militer, memberi aspek lain mengapa Belanda tidak mau pergi dari Papua.

Walau demikian, saya juga menunjukkan bahwa pada tahun 1960, Belanda berubah pikiran. Bahkan ada migrasi warga Belanda dari Papua kembali ke negeri Belanda. Namun hal itu bisa dikatakan terlambat.


Menjelang fase ketiga, saya menunjukkan syarat yang harus dilakukan pihak di Indonesia di perjanjian New York dan saya memberi tebak-tebakan kepada anak-anak apakah pihak Indonesia menepati janjinya. Tampaknya anak-anak sudah bisa menebak bahwa Indonesia tidak menepati janji. Maka kemudian, saya berikan kisah Jusuf Wanandi, yang diutus untuk menyelidiki kondisi Papua apakah siap dengan PEPERA. Pada akhirnya, di PEPERA wakil dari Papua memilih Indonesia tetapi bukan hasil dari perbuatan yang dijanjikan sesuai perjanjian New York. 

Saya pun akhirnya bercerita fase ketiga, yakni ketika Bung Hatta diundang ke Papua. Kenyataannya, Bung Hatta menemukan kondisi memilukan, lebih buruk daripada ketika masa beliau dibuang di sana. Kondisi memilukan ini membuat Bung Hatta, yang tadinya menolak uang jajan dari pemerintah, menerima uang tersebut tetapi langsung diberikan kepada masyarakat.



Salah satu aspek Bung Hatta yang saya ceritakan kepada anak-anak adalah aspek kemanusiaan. Saya mengisahkan bagaimana Bung Hatta menolak Poenale Sanctie, yakni bagaimana para majikan di masa Hindia Belanda bisa mengelak dari tuduhan memperbudak tetapi bisa menghukum pegawai yang dituduh pemalas karena ditulis dalam kontrak. Saya juga mengisahkan bagaimana Bung Hatta di depan komunitas Tionghoa, tidak setuju pada tindakan-tindakan kekerasan rasis di tahun 1945 yang hanya akan menghancurkan Republik. Dan saya juga mengisahkan bagaimana di masa Orde Baru, Bung Hatta mengritik penahanan terhadap seorang tersangka pencurian yang tidak disertai kemampuan memberi makan tersangka sehingga ia tewas di persidangan.


Jadi saya mencoba menanamkan kepada anak-anak bahwa nasionalisme itu bukan berarti harus mengabaikan kemanusiaan.

Dilihat dari kuis yang saya berikan setelah presentasi, tampaknya cukup banyak anak yang bisa menangkap pesan yang saya coba sampaikan.


1 comments:

Anonymous said...

Nice post
desa
desa
desa
desa
desa
desa