Monday, March 27, 2006

Lima Tahun JIL...

Renungan dari seorang kawan di milis Indonesian Islamic Society Brisbane. Katanya sih dimuat di Gatra tanggal 27 Maret 2006. Renungan cukup bagus buat mereka yang mengaku "liberal".

selamat membaca,
Kunderemp Ratnawati Hardjito A.K.A
Narpati Wisjnu Ari Pradana

Refleksi Kritis atas Jaringan Islam Liberal

Nadirsyah Hosen

Rais Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Australia-New Zealand

Jaringan Islam Liberal (JIL) kini berusia lima tahun. Sejak kelahiran JIL, Ulil Abshar Abdalla dan kawan-kawan, yang sejatinya hendak mengembangkan pemahaman Islam yang bercorak liberal, kerap kali memicu kontroversi.

Berbeda dengan model pembaruan Islam yang dicanangkan Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, JIL bukan lahir dari gerakan kampus. Ali-alih menguji gagasan kontroversialnya dalam tembok kampus, JIL tumbuh di Utan Kayu dan karenanya lebih bergaya LSM.

Perbedaan dua gaya ini membuat JIL seringkali alpa memperhitungkan target market dari ide mereka. Harun Nasution pelan-pelan merombak kurikulum IAIN, menulis
buku teks, dan menghindari popularitas semu di ruang publik. Cak Nur pun demikian. Setelah kontroversi pemikirannya pada tahun 1970-an, Cak Nur kemudian
menggagas ide-idenya dengan lebih taktis di ruang kelas IAIN atau Paramadina. Yang menjadi target dari pemasaran ide mereka berdua adalah kalangan terpelajar. Dari kelompok terpelajar inilah gagasan mereka memiliki kaki.

Kegagalan memilih pasar ide membuat JIL berhadapan langsung dengan kalangan akar rumput. Dipilihnya koran, talkshow di radio dan diskusi di internet telah
membuat pemikiran JIL menembus batas dunia kampus. Tidak heran kalau reaksi yang muncul pun lebih menggelegar dimana-mana ketimbang pembaruan model pendahulu mereka.

Jikalau kehadiran JIL lima tahun silam dimaksudkan untuk membendung arus radikalisme umat, JIL malah menjelma menjadi "musuh bersama" baik dari kalangan moderat semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, maupun dari kalangan yang dianggap garis keras.
Konsentrasi tokoh-tokoh JIL untuk merespon tema-tema yang dikembangkan kalangan Islam garis keras membuat JIL tidak hanya larut dalam debat kusir tetapi juga
membuat JIL alpa untuk membina komunikasi dengan tokoh-tokoh Islam moderat.

Ulil Abshar Abdalla, yang sebenarnya memiliki modal sosial untuk mendekati kalangan pesantren, lebih asyik berkumpul di ruang seminar ketimbang mengikuti jejak
KH. Abdurrahman Wahid yang memiliki mobilitas tinggi mengunjungi para kiai di pelosok pedesaan sambil menyosialisasikan pandangan dan gagasannya.

JIL seharusnya juga memilah sasaran tembaknya. JIL perlu mendekati "sayap moderat" yang ada di tubuh kelompok tarbiyah, hizbut tahrir, ataupun Dewan Dakwah. Adalah sebuah kekeliruan untuk mengatakan semua anggota kelompok ini sebagai garis keras. Spektrum perbedaan di tubuh kelompok fundamentalis juga banyak sehingga dengan pendekatan yang tepat ide JIL sebenarnya masih bisa didialogkan dengan sebagian
"sayap moderat" di kelompok tersebut.

Masalah bahasa penyampaian ide juga sering disepelekan oleh kalangan JIL. Ketimbang mengambil teori hermeneutika yang terasa asing di telinga umat, JIL sebenarnya bisa lebih cantik menyajikan pandangannya dengan mengambil khazanah dari dalam pemikiran Islam sendiri. Konsep ta'wil, misalnya, bisa diperluas dan didiskusikan lebih jauh. Yang terkesan kemudian adalah JIL lebih ingin tampil genit dan sexy ketimbang berusaha agar gagasannya lebih bisa diterima umat. Akhirnya, semua ide yang dianggap aneh di masyarakat dinisbatkan kepada JIL, meskipun belum tentu JIL yang menjadi sebab-musababnya.

JIL juga bermasalah dalam menentukan topik kajian. Kontroversi mengenai pernikahan antar agama dan Qur'an edisi kritis adalah contohnya. Sulit dipungkiri bahwa kajian JIL terkesan elitis dan tidak menyentuh langsung problematika umat di kalangan akar rumput.

Pada satu sisi, JIL hendak keluar dari sekat dinding kampus dan langsung terjun bebas ke masyarakat, namun pilihan topik yang disajikannya gagal memenuhi kebutuhan nyata umat. Pada titik ini penting untuk dicatat keberpihakan sebagian tokoh-tokoh JIL akan naiknya BBM membuat JIL semakin berjarak dengan kalangan akar rumput. Bahkan ada yang dengan sinis menganggap JIL telah berubah menjadi Jaringan Islam
Neo-Liberal.

Masalah lain adalah, layaknya sebuah LSM, JIL sangat bergantung pada dana dari pihak asing. Iklim yang dihembuskan dewasa ini melalui teori benturan peradaban (the clash of civilization) membuat JIL dianggap sebagai kaki tangan kepentingan pihak asing
dalam mengobok-ngobok umat.

JIL tampaknya harus berpikir dengan serius mengenai kemandirian dana ini agar kredibilitas mereka tidak terlalu jatuh di mata umat, lebih-lebih di tengah konflik yang cenderung tidak sehat antara Islam dan Barat dewasa ini.

Saran lainnya adalah JIL sebaiknya mulai berpikir untuk menyewa jasa konsultan professional yang bisa membantu JIL dalam menentukan target market, medium penyampai gagasan, pilihan topik dan skala prioritas agenda kerja. Kalau tidak, JIL kelihatannya sulit untuk berusia panjang dan lambat laun menjelma menjadi kartu mati. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un

1 comments:

ibn ghifarie said...

Saya kira, anggapan itu benar sekali bahwa JIL tak pernah membumi, bahkan terkesan hanya melanit semata.

Bila lembaga yang getol menggembar gemborkan membangun masyarakat prulalis, demokratis dan inklusif, maka tungu tanggal mainya.