Monday, March 27, 2006

Kebijakan Emosional...

Akhir-akhir ini, koran kita memuat kemarahan pemerintah dan beberapa bapak-bapak kita akibat kebijakan ngawur Australia yang memberikan visa sementara kepada sejumlah warga Papua. Kemarahan ini sebenarnya bisa dipahami karena Australia sudah terkenal dengan kebijakan "mencari muka". Selain itu, pemberian suaka terhadap WNI sesungguhnya adalah bentuk pengakuan Australia terhadap ketidakbecusan Pemerintah Indonesia dalam menghadapi rakyatnya.

Namun kita perlu ingat, kebijakan luar negeri bukanlah kebijakan keluarga kita menghadapi tetangga yang menyebalkan di mana kita bisa menutup pintu rumah kita seenaknya. Ada beberapa prinsip yang membedakan hubungan antar tetangga dengan antar negara.

1. Tiada Dendam
Salah satu kesalahan yang sering dilakukan dalam menyikapi perilaku ngawur negara lain adalah dengan mengulang kesalahan terdahulu mereka berulang-ulang. Padahal, berbeda dengan tetangga yang jabatan kepala keluarga tetap dipegang oleh sang ayah, jabatan kepala negara bisa berganti. Menteri-menterinya pun juga berganti setelah periode tertentu.

Karena itu, sebelum melibatkan kesalahan zaman baheula negara lain, selidiki dahulu, apakah kesalahan tersebut terjadi di masa pemerintahan yang sama atau masa pemerintahan yang berbeda. Sebuah pemerintahan tidak bisa diwajibkan bertanggung jawab atas kesalahan pemerintahan sebelumnya.

2. Kompleksnya Masyarakat
Kita perlu ingat bahwa negara lebih kompleks dari rumah tangga yang homogen. Apalagi di sebuah negara yang demokratis dan multikultural, masyarakat bisa saja sangat bertentangan dengan pemerintahannya atau pemerintahan sangat bertentangan dengan pemerintah daerah, atau pemerintah sangat bertentangan dengan legislatifnya. Dalam beberapa kasus (seperti di Australia), pemerintah dipilih bukan karena partai atau orang tersebut mewakili pandangan hidup si pemilih, melainkan karena partai atau orang tersebut lebih berkapasitas dalam menjalankan rutinitas pemerintahan.

Mungkin akan tampak heran buat mereka yang melihat dari luar, bagaimana John Howard yang menyebalkan, yang sering jadi sasaran kritik koran-koran, yang dicaci dalam selebaran-selebaran kampus, yang mengirim tentaranya ke Irak tanpa persetujuan rakyat, atau bahkan parlemennya, dapat terpilih kembali sebagai Perdana Menteri di pemilihan 2004 (eh.. atau 2005 yah? Lupa) yang lalu. John Howard dipilih bukan karena ia mewakili sisi konservatif, atau karena sebagian besar rakyat Australia mendukung perang di Irak. John Howard terpilih karena ia yang paling matang.

3. Jangan Menjadi Anjing yang Kelelahan Menggonggong
Kita tentu mengenal pepatah "anjing menggonggong, kafilah berlalu". Ironisnya, dalam beberapa masalah diplomasi luar negeri, bangsa Indonesia menjadi si anjing yang gonggongannya tidak diperdulikan oleh kafilah yang seenaknya menginjak ekor kita. Masih belum lekang ingatan kita, bagaimana kasus Ambalat yang begitu menebarkan kebencian terhadap Malaysia, ternyata justru tidak diperdulikan oleh masyarakat Malaysia. Justru ketika masyarakat kita keterlaluan dalam berdemo, masyarakat Malaysia tersinggung dan menganggap kita sebagai saudara yang kurang ajar.

Begitu juga dengan masalah pemberian visa terhadap 42 warga Papua tadi, ternyata tidak menjadi berita menarik di Australia sendiri. Maukah kita berteriak-teriak, memaki-maki Australia, sementara orang Australia sendiri tidak mengerti bahkan tidak tahu ada sebuah masalah bernama "pemberian visa"?

Akhir kata,
sebelum terpancing untuk menjadi kritikus dadakan, cobalah pahami bagaimana situasi sesungguhnya mengenai hubungan Indonesia dengan negara lain yang sedang bermasalah dengan kita. Pahami pula, budaya negara tersebut, dan masalah kita dipandang dari sisi negara tersebut. Gunakan pendekatan penyelesaian masalah yang tidak hanya efektif untuk waktu sesaat tetapi juga untuk jangka waktu seterusnya.

regards,
Kunderemp Ratnawati Hardjito A.K.A
Narpati Wisjnu Ari Pradana

0 comments: