Thursday, April 06, 2006

Tenanglah, Wahai Pendukung NKRI...


Ada satu hal yang membuatku salut dengan Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan (PDIP). Mereka adalah partai yang berpandangan paling konservatif saat ini. Mereka satu-satunya partai yang terang-terangan menolak langkah amandemen terhadap UUD'45. Karena itu, kita harus bisa memahami sikap wakil-wakil mereka di DPR seperti Effendi MS Simbolon dari komisi I, yang mencoba membuktikan adanya konspirasi di Australia untuk memecah Papua dari Indonesia[1].

Menurut penyelidikan Effendi, mereka yang mencoba bersekongkol memisahkan Papua adalah:

  1. John Rumbiak, direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM)
  2. Greg Sword, anggota parlemen tingkat negara Melbourne dari Partai Buruh (ALP) di tahun 2000 (sekarang tampaknya ia di Victoria [2])
  3. Bob Brown, ketua Partai Hijau (Green Party)
  4. Kerry Nettle, anggota parlemen dari Partai Hijau
  5. Andrew Barlet, anggota partai Demokrat
  6. Asia Pacific Human Rights (APHRN)
  7. West Papua Action Australia (WPA-A)
  8. Action in Solidarity with East Timor (ASIET)
  9. Australian Council for Overseas Aid (ACFOA)
  10. East Timor Action Network (ETAN)
  11. The Centre for People and Conflict Studies The University of Sydney
  12. Prof. Denis Leith,
  13. Chris Richard, redaktur New Internationalist Magazine
  14. Duncan Ken (dari Tasmania)
  15. Susan Conely
  16. John Barr (bekas ketua Uniting Church)

Yang perlu diperhatikan adalah, keterlibatan seorang anggota partai yang jabatannya hanya di tingkat State (negara bagian) tidak mencerminkan kebijakan partai secara nasional. Greg Sword tidak mencerminkan Partai Buruh keseluruhan (walau bisa digunakan untuk memprotes). Berbeda dengan Indonesia yang partai daerah harus tunduk pada partai pusat (dan itu pun masih banyak terjadi perselisihan tajam seperti yang sering dialami oleh PDIP), di Australia, kebijakan di daerah biasanya benar-benar bebas, tidak terlalu terikat pada pusat.

Partai Hijau (Green Party) adalah partai beraliran kiri yang memang sering menggunakan isu-isu kontroversial seperti euthanasia atau pelegalan obat-obat terlarang[3]. Bahkan beberapa surat pembaca di media-media Australia, mengritik kebijakan Bob Brown yang sengaja mencari popularitas melalui isu-isu yang dikemukakannya. Dengan kata lain, partai ini tidak perlu diperhatikan, dan begitu juga dengan Partai Demokrat yang sangat kecil pengaruhnya di Australia.

New Internationalist Magazine tidak begitu terkenal, bahkan tidak pernah kutemukan selama aku tinggal di Brisbane. Mungkin majalah ini hanya mencoba mencari popularitas dalam rangka menaikkan oplah.

Beberapa LSM luar negeri yang disebutkan oleh Effendi MS. Simbolon, tidak begitu terdengar di kalangan awam Australia. Setahu saya, LSM yang benar-benar punya jaringan kuat adalah Amnesty International dan Oxfam. Dan ketika Oxfam lebih suka berjuang dengan menjual barang-barang dari negara ketiga (hei, orang Australia bisa membeli tenunan Sulawesi lewat LSM ini), Amnesty International lebih perduli pada perjuangan melawan ketidakadilan dan penyiksaan yang dilakukan oleh negara. Misalnya, Amnesty International pernah memuat dalam majalahnya mengenai pemukulan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap orang-orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora.

Dengan kata lain, saya menyetujui ucapan Ginandjar Kartasasmita bahwa isu Papua bagi Australia hanyalah manuver politik belaka bertujuan jangka pendek yang jangan sampai membuat hubungan Indonesia dan Australia terputus[4]. Pendapat ini memperkuat pendapat saya sebelumnya bahwa apa yang dilakukan oleh beberapa politisi kita sangatlah emosional[5].

Bila ada yang membaca Kompas hari ini (6 April 2006), cobalah membaca salah satu opini di Kompas yang sejalan dengan pikiranku sebelumnya[6] tetapi ditulis dengan bahasa lebih bagus dan bahkan dengan latar belakang ilmu diplomasi yang baik karena kebetulan penulisnya adalah Direktur Eksekutif Imparsial, The Indonesian Human Rights Monitor[7]. Tulisan Pak Rachland Nashidik ini terdiri dari tiga hal yaitu:

1. Setiap Warga Negara Indonesia Berhak Mendapat Suaka Politik dari Negara Lain
Pasti sedikit yang mengetahui bahwa dalam salah satu amandemen Undang-Undang Dasar, lebih tepatnya pasal 28G berbunyi "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain".

Sebelum kalian, terutama dari pihak konservatif yang menentang amandemen UUD'45, memprotes, pada tahun 1998, Indonesia juga menandatangani Convention Against Torture yang prinsip non-refoulement (tidak boleh mengembalikan pengungsi ke tempatnya semula yang menyebabkan ia atau kebebasannya terancam) adalah salah satu landasannya. Di tahun 1956, Mr. Ali Sastroamidjojo juga menandatangani Surat Edaran Perdana Menteri Nomor 11/RI/1956 tentang Perlindungan Pelarian Politik yang menyatakan, "Indonesia melindungi pelarian politik yang masuk dan yang sudah berada di wilayah Indonesia, berdasarkan hak dan kebebasan asasi manusia, serta sesuai dengan hukum kebiasaan internasional". Tentu saja, Indonesia tidak boleh bersikap ganda (munafik) dengan memusuhi negara lain yang memberikan suaka kepada warga negaranya.

2. Visa Proteksi Sementara
Di bagian ini, Rachlan menyatakan, Deplu harusnya memberi penerangan kepada Presiden bahwa visa sementara bukanlah akhir bahagia. Visa sementara ini akan dievaluasi setelah tiga tahun dan sementara mendapat visa ini, mereka tidak berhak pergi dari Australia, tidak memiliki fasilitas negara untuk kesejahteraan, bantuan pekerjaan, atau sekedar biaya untuk belajar bahasa Inggris. Satu-satunya harapan untuk mereka adalah LSM-LSM yang aksesnya dibatasi terhadap dana masyarakat yang tersedia.

Setelah tiga tahun itu, mereka akan dievaluasi apakah mereka sah sebagai pengungsi atau tidak. Walau Rachlan tidak berani menerka, angka penerimaan pengungsi untuk negara Australia tergolong kecil bila dibandingkan dengan Inggris atau Tanzania.

3. Saran Rachlan untuk Pemerintah
Rachlan menyarankan agar pemerintah berjuang membuktikan ketidakbenaran dari klaim yang diajukan oleh pencari suaka namun hak mereka untuk meninggalkan Indonesia harus dihormati. Dengan proses pembuktian, Australia, paling banter hanya bisa mereka menyediakan mekanisme naturalisasi, bukan pengungsi.

Selain itu, Rachlan mendesak Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Geneva 1951 atau setidaknya Geneva Convention Relating to the Status of Refugees (kalau perlu dari tahuan 2009 ke tahun depan), sehingga untuk kedepannya, perselisihan antar negara mengenai pengungsi bisa ditangani melalui International Court of Justice. Belumnya penandatanganan oleh pihak Indonesia menyebabkan Indonesia tidak bisa memanfaatkannya untuk menantang keputusan Australia.

Selain itu, Rachlan mengingatkan, bahwa potret papua yang dipasang Australia di Hall of Shame adalah potret yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sendiri. Mereka hanya memungutnya dan memberinya figura. Dengan kata lain, Indonesia harus bergegas dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki sikap dan kebijakannya atas Papua.


Untuk para pecinta teori konspirasi, sebelum bersikap memusuhi Australia, berpikirlah dewasa. Kalian bukanlah anak kecil yang langsung marah saat dihina oleh anak-anak lain. Kalian adalah orang dewasa, yang seharusnya mampu memilih langkah yang tepat dan menghindari langkah menguntungkan sesaat namun di kemudian hari malah menjadi kontra produktif seperti yang dilakukan oleh Rakyat Merdeka[8].


NB:
Kunderemp Ratnawati Hardjito A.K.A Narpati Wisjnu Ari Pradana adalah seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer yang tidak pernah belajar formal tentang politik dan mendapat nilai jelek di SMU untuk mata pelajaran Sosiologi dan Geografi.

Referensi:
[1] Nugroho, Nurfaji Budi. Anggota DPR Beberkan Jaringan Pendukung Separatis di Papua. (2006). Detik.com. http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/06/time/081816/idnews/571617/idkanal/10 (diakses 6 April 2006)

[2] Wikipedia. Australian Labor Party National Executive. (2006). Wikipedia.org. http://en.wikipedia.org/wiki/Australian_Labor_Party_National_Executive (diakses 6 April 2006)

[3] Wikipedia. Australia Greens. (2006) Wikipedia.org. http://en.wikipedia.org/wiki/Australian_Greens (diakses 6 April 2006)

[4]. Hertanto, Luhur. Isu Papua hanya Manuver Senator Australia. (2006). Detik.com. http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/28/time/143634/idnews/566999/idkanal/10 (diakses 6 April 2006)

[5]. Pradana, Narpati Wisjnu Ari. Kebijakan Emosional. (2006). Cacian Qalb dan Aql. http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2006/03/kebijakan-emosional.html (diakses terakhir 6 April 2006)

[6]. Pradana, Narpati Wisjnu Ari. Belum Tentu (2006). Cacian Qalb dan Aql. http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2006/03/belum-tentu.html (diakses terakhir 6 April 2006)

[7]. Nashidik, Rachlan. Mencari Suaka itu Konstitutional.(2006). Harian Kompas, 6 April 2006 halaman 7

[8]. Pradana, Narpati Wisjnu Ari. Terima Kasih Rakyat Merdeka. (2006). Cacian Qalb dan Aql. http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2006/04/terima-kasih-rakyat-merdeka.html (diakses terakhir 6 April 2006)

1 comments:

Anonymous said...

boeng kunderemp, mistinjah kowe ambil itoe koelija lagih di itoe oeboengan internationiil poenja gaia poen....