Tuesday, May 20, 2008

Nasionalisme, Sukuisme, Kampung Halamanisme

Alkisah...
eh, kalau cerita non-fiksi gak boleh pakai alkisah yah?

Alkisah, di Brisbane Australia, ada cowok Indonesia yang tertarik pada cewek kaukasia yang ia jumpai dalam Bis rute 512 (city - St. Lucia). Cewek tersebut murah senyum, cantik, bertopi, berkulit sawo matang ('ala orang-orang Mediterania?), berambut hitam kecoklatan, dengan tinggi kurang lebih 155 cm (perkiraanku karena tingginya kurang lebih sama dengan tinggi cewek yang pernah kutaksir di Yogya). Suatu hari, si cowok ini iseng bertanya pada cewek kaukasia tersebut,

"Excuse me, may I ask something?" (Permisi.. boleh saya menanyakan sesuatu?)

Sebenarnya nih cowok deg-degan juga. Soalnya bertanya tapi tidak kenal adalah sesuatu yang tabu di sana. Apalagi jenis pertanyaan yang ia tanyakan adalah sesuatu yang tidak penting.

"Yes.."

"Where are you from?" (dari mana asalmu?)

"Pardon?" (maaf?)

"I'm an Indonesian and I'm interested on your face because although I'm sure you're caucasian but you have brown skin. And as someone who never been in foreign country, and seeing many different people, I grow my curiousity to understand each people around me" (Saya orang Indonesia dan saya tertarik pada wajahmu karena walaupun saya yakin kau ras Kaukasia tetapi engkau memiliki kulit coklat. Dan sebagai orang yang tak pernah berada di luar negeri dan melihat berbagai macam orang, aku tertarik untuk memahami orang-orang di sekitarku).

"Oh.. I'm an Australian" (Oh.. Aku orang Australia)

"Are you sure? I think Australia caucasian are usually whiter" (Benarkah? Kukira orang-orang kaukasia Australia lebih putih)

"Yeah.. I'm Australian. I was born here" (Tentu saja. Saya Australia. Saya lahir di sini)

"Oh.. I'm sorry. But you are so different. Are your mother from other countries? Greek, perhaps?" (Oh.. Maafkan aku. Tetapi engkau sungguh berbeda. Apakah ibumu berasal dari negara lain? Yunani mungkin?)

"No.. My mother is an Australian." (Tidak, ibuku orang Australia)

Masih kurang puas, cowok tersebut mencoba mengejar pertanyaan, "Do you have any member of family who are from other countries?" (apakah engkau memiliki anggota keluarga dari negara lain?)

"Hmmm... My grandmother was greek.. but I'm an Australian" (Hmm.. Nenekku orang Yunani.. Tapi aku orang Australia!).



Sungguh sulit dipercaya, gadis cantik tersebut hingga akhir percakapan masih bersikukuh ia orang Australia.

Kawan saya, Satriavi Dananjaya, ternyata juga iseng bertanya pada rekan mahasiswa di sebuah kesempatan. Orang yang ia tanya, selama ini kami kira adalah orang Timur Tengah walau kami tak bisa menebak apakah ia orang Arab, Iran, atau Hadramaut. Ternyata, rekan kami tersebut dengan bangga mengatakan "I'm an Australian".

(dipikir, iseng banget yah, kami menebak2 asal orang. Kayak postingan kawan di Amrik ini)


Kembali ke topik,
bandingkan dengan apa komentar ayahku saat kutanyakan mengenai lagu latar dari trailer film Putri Gunung Ledang.

".... tapi Le, orang-orang Johor itu banyak orang Jawa"
"generasi ke berapa, Pak? kedua? ketiga?"
"err..." (yup.. aku dan kedua orangtuaku sudah berkali-kali debat masalah ini)
"kalau generasi kedua atau ketiga, maka mereka adalah orang Malaysia"



Begitu juga komentar ibuku ketika aku memberitahu beliau bahwa Bapak mengatakan lagu Jawa tadi memang dikenal oleh orang-orang Johor

".. tapi Le, orang-orang Johor itu sering banyak mengaku 'Ibu saya dari Tegal... Ibu saya dari Solo'"
"Tapi mereka lahir di Malaysia, kan? Berarti mereka orang Malaysia".


Gak penting yah temanya? Tetapi menurutku penting. Demi topik ini pula aku pernah berdebat dengan dosen Antropologi USU di Yogya. Untuk menyanggah pendapatku, dosen tersebut memberi contoh betapa keturunan Pangeran Diponegoro di Makassar tetap menganggap diri mereka orang Jawa, atau orang-orang Jawa di Deli bahkan tidak mau dipanggil orang Jawa-Deli tetapi memilih dipanggil orang Jawa tanpa embel-embel.

Saya berkata pada dosen tersebut, "Itu praktek yang selama ini terjadi di masyarakat kita dan harus dihentikan pada generasi muda seperti saya. Praktek-praktek tersebut yang selama ini mengawetkan sukuisme di Indonesia, yang memecah belah masyarakat kita. Kita seharusnya dibebaskan memilih ingin menjadi bagian dari orang apa, bukan ditentukan oleh darah orang tua kita. Saya, misalnya. Saya seharusnya orang Jakarta, karena saya menyukai sikap egaliter orang-orang Betawi, karena saya lahir di Jakarta dan besar di budaya Jakarta. Kenapa hanya karena ayah dan ibu saya orang Jawa maka saya diwajibkan mengaku sebagai orang Jawa?".

Tetapi, walaupun saya penganut Ius Soli dan penentang Ius Sanguinis, bukan berarti saya menolak kebudayaan orangtua. Budaya, seharusnya memiliki sifat untuk beradaptasi dan terbuka untuk diperkaya oleh budaya lain.

Misalnya, kita mengenal tulisan Arab Melayu (Jawi) dan Arab Pegon. Tulisan Arab sendiri berasal dari Arab, tetapi setelah berada di Nusantara maka tulisan tersebut adalah bagian dari budaya kita. Kita tidak bisa menolak bahwa budaya tersebut adalah budaya asing. Kita tidak bisa mengatakan orang-orang yang menulis dengan Jawi atau Pegon sebagai orang-orang yang bergaya Arab.

Wayang berasal dari India sementara media kulit mungkin berasal dari Tiongkok tetapi wayang kulit sendiri adalah bagian dari Budaya Jawa. Kita tidak bisa mengatakan para penggemar wayang sebagai orang yang mencintai budaya India.

Masakan-masakan kita, berapa yang dipengaruhi oleh budaya Tionghoa? Apakah kita menganggap penggemar 'Bakpao' adalah orang yang ke-cina-cina-an? Apakah kita menganggap keluarga yang memasak Capcay sebagai tidak nasionalis? Apakah setiap kali ibu kita memasak Capcay buat tamu-tamu keluarga, ibu kita harus mengatakan "Ini Capcay dari Cina"? Tidak!

Mereka, keturunan dari orang-orang yang membawa budaya tersebut masuk ke Indonesia adalah orang Indonesia. Walaupun mereka mempertahankan budaya mereka dari kampung halaman nenek moyang mereka, bukan berarti mereka bukan bagian dari masyarakat pribumi. Mereka adalah pribumi sama seperti suku-suku lain yang disebut pribumi.

Tentu saja,
juga ada sisi lain dari sebuah pendapat ini.
Kita juga harus bisa menerima bahwa budaya kita juga diakui sebagai milik negara lain.

Kenapa kita mesti menuduh Malaysia sebagai pencuri budaya ketika keturunan paman-paman kita mengawetkan budaya-budaya kita, entah itu Reog, entah itu lagu Rasa Sayange di sana?

Kenapa kita merasa sakit hati ketika orang-orang bule yang berkunjung ke Malaysia bercerita pada kawan-kawannya mengenai senjata khas Malaysia bernama Keris? Sementara salah satu politikus Malaysia (dari UMNO) dengan bangga mengacungkan Keris di UMNO Annual General Meeting tahun 2005 (walaupun setelah itu jadi kontroversi dan dijadikan parodi di dunia blog Malaysia)?

Kapan terakhir kita melihat orang Indonesia yang sedang berapi-api mengacungkan keris dalam dunia nyata? Saya pernah lihat dalam video-video kerusuhan orang-orang mengamuk sambil mengacungkan parang. Saya pernah melihat foto orang Madura marah sambil mengacungkan celurit. Tapi kapan kita melihat orang Indonesia mengacungkan keris dalam pertemuan resmi? Dan kita marah bila ada orang bule menganggap Keris berasal dari Malaysia?

Dan lebih konyol lagi,
mereka yang menghambakan diri pada sentimentalisme norak itu melegalkan tindakan mereka sebagai tindakan "NASIONALISME".

Mereka lupa, bahwa nasionalisme pada hakekatnya hanya berkaitan dengan politik sebuah negara, tidak ada kaitannya dengan budaya. Negara Indonesia, tidak dibentuk berdasarkan kesamaan budaya begitupula dengan negara-negara modern lain seperti Amerika Serikat, Australia, Singapura, Malaysia (walaupun dengan kontroversi pasal 153 dan 160 konstitusi mereka).

Sementara, budaya sendiri memiliki sifat dinamis seiring dengan dinamisme masyarakat. Tidak perlu heran bila budaya sebuah suku menjadi budaya di suku lain. Tidak perlu saling klaim-mengklaim sampai demonstrasi berapi-api. Tidak perlu sampai menuding 'maling' atau 'tidak memiliki budaya orisinal'.

Dan sebagai penutup,
bila ada sebuah film Hongkong yang salah satu adegannya berada di kawasan di mana banyak orang-orang Indonesia sehingga terdengar jelas lagu Jawa. Haruskah kita memaksa produser film tersebut mencantumkan bahwa lagu tersebut berasal dari Jawa? Dan itu sudah terjadi di tahun 1994 di salah satu film HK yang dibintangi oleh Tony Liang dan Faye Wong.



PS:
Agak ironis bahwa budaya-budaya Tionghoa tidak ada dalam acara menyambut 100 tahun Kebangkitan Nasional di Senayan yang dihadiri Presiden sementara alat dan tari yang jelas-jelas merupakan pengaruh dari budaya Hadramaut ditampilkan. Ternyata diskriminasi masih ada.

Update:
Thx buat Niko atas koreksinya.

2 comments:

Niko said...

Maaf Mas,setahu saya, yang betul bukanlah 'lus' melainkan 'ius'. Jadi, ada 'Ius sanguinis' (diucap 'yus sanguinis') dan 'ius soli' (diucap 'yus soli'). Demikianlah sedikit koreksi dari saya. Harap maklum adanya.

Niko said...

Maaf Mas,setahu saya, yang betul bukanlah 'lus' melainkan 'ius'. Jadi, ada 'ius sanguinis' (diucap 'yus sanguinis') dan 'ius soli' (diucap 'yus soli'). Demikianlah sedikit koreksi dari saya. Harap maklum adanya.