Thursday, December 26, 2013

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Film) -- Mengapa Novelnya Jadi Perseteruan antara Pramoedya (Lekra) dengan Jassin (Manikebu) ?


Dalam silaturrahim keluarga, Om Jacob Soemardjo, pernah berkata padaku, hakikatnya sebuah karya yang bagus itu, ketika dikupas satu lapis masih ada lapisan makna lain. Sebagai seorang pemuda saat itu, saya hanya bisa mengangguk tak membantah walau dalam hati bertanya, adatah roman Indonesia yang memiliki karakter seperti yang disebut beliau.

Semalam, saya baru saja menyadari saya baru saja menonton adaptasi dari salah satu karya yang berlapis makna.

Alkisah, siang kemarin, saya ditraktir nonton Tenggelamnya Kapal van Der Wijck oleh ibu saya. Saya bersiap untuk tidak menyenanginya mengingat banyak komentar kawan yang kecewa. Tak kusangka ternyata saya menyukai filmnya atau lebih tepatnya menyukai ceritanya. Saya malah bisa mengabaikan bagian-bagian yang tidak akurat di film ini. Saya tidak rewel seperti ketika saya menonton film Soekarno: Indonesia Merdeka.

Beberapa kali ada bagian-bagian yang bikin saya terhenyak, "Hamka menulis ini? Menghina adatnya sendiri"? Ada beberapa bagian di mana tokoh sampingan Bang Muluk seperti menjadi perwakilan perasaan kesal penonton, "Engku itu seorang yang berpengetahuan! Kenapa menghancurkan diri demi perempuan". Bahkan ada bagian yang membuat saya menahan nafas, dan ketika kulihat para penonton, yang sebelumnya ramai komentar sana-sini, di bagian itu pada kompak tak bersuara.

Seusai menonton, seperti biasa, saya dan Ibu berdiskusi membahas film yang kami tonton. Kami membahas apakah di tahun 50-60-an adat Minang masih ketat sehingga novel Hamka laris dan Ibu pun lancar bercerita tentang percintaan antar suku di antara kawan-kawan kuliah beliau yang mengalami hambatan tersebut.

Tapi saya belum dapat jawaban, mengapa Pramoedya sangat memusuhi novel ini. Mengapa Jassin sangat membela novel ini. Kenapa ketika Jassin menerjemahkan novel Prancis, Magdalena - Di Bawah Pohon Tilia, yang konon jadi sumber Hamka menjiplak, agar masyarakat bisa menilai sendiri, Pram dan Lekra tetap bersikukuh mengerdilkan novel ini? Dan mengapa, Pram diancam oleh Penguasa Perang Daerah Jakarta untuk tidak meneruskan polemik tersebut?

Jawaban standar para pendukung Hamka di masa sekarang tidak memuaskan, 'Hamka adalah seorang ulama, karena itu dia diserang Pram'.

Tidak!
Pram seorang sastrawan Lekra. Pramoedya Ananta Toer tidak sekerdil itu. Ia tidak akan menyerang sebuah karya hanya karena penulisnya berseberangan politik dengannya. Masalah pasti ada di karya itu sendiri.

Dan tengah malam ku terbangun. Tiba-tiba imajiku melayang, membayangkan, di tahun 1962 itu, Pram, membaca novel yang sudah terbit berkali-kali, dan menyadari sebuah pesan yang kontra-revolusi, yang bertentangan dengan revolusi yang ia perjuangkan bersama Bung Karno. Dan ia memutuskan, novel ini harus dijauhkan dari masyarakat, dikerdilkan, dianggap sebagai sampah sehingga tak ada rakyat yang membacanya.

Saya sendiri belum pernah membaca tulisan Pram, tetapi saya yakin argumennya pasti meyakinkan sehingga sastrawan seperti Jassin memeriksanya, menemukan kesamaan, menyadari bahwa tuduhan Pram memiliki dasar kuat. Tapi Jassin juga menemukan bahwa novel ini harus dibela, novel ini tidak boleh terkubur oleh tuduhan plagiarisme.  Rakyat justru harus membaca novel ini, jangan mau didikte oleh Lekra.

Menurut Wiki (yang artinya fakta Wiki sebenarnya tak boleh dianggap sebagai referensi tetapi bolehlah pakai sebentar sampai ada yang mengoreksi), novel ini pertama kali terbit tahun 1938 (dan cerita di film juga berakhir tahun 1938, entah bagaimana versi novel) namun kemudian diterbitkan lagi pada tahun yang tak diketahui dan terbitan ketiga mulai tahun 1951 dan diterbitkan ulang sepanjang tahun 50-an dan awal 60-an hingga akhirnya dikerdilkan oleh Pram di tahun 1962.

Sebelum dilanjutkan, saya harus jujur  bahwa saya belum membaca novelnya. Saya menyandarkan pada kata-kata Akmal Nassery Basral di status facebooknya bahwa:

"Tim skenario (termasuk Sunil di dalamnya, selain Imam Tantowi dan Donny Dhirgantoro) memilih setia pada plot kisah yang dikembangkan Buya Hamka. Tak ada puntiran, sisipan, pengubahan, pengembangan, alur kisah dari yang sudah dikenali publik yang, sedikitnya, pernah sekali membaca roman itu. Jadi dari sisi ini, Sunil berhasil menjadikan film ini sebagai "palapeh taragak" (pelepas rindu) terhadap Buya Hamka. "

Untuk memahaminya, mesti mengetahui latar belakang budaya yang diangkat oleh Hamka, yakni Minang.

Saya mengenal Minang dari para Bapak Bangsa kita yang berasal dari suku ini, seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Mohammad Yamin, dan lain-lain. Saya ingat bahwa mereka semua punya persamaan, mereka semua demokrat, dalam arti bisa diajak berunding, percaya pada kebebasan mengemukakan pendapat. Hatta pernah mengatakan bahwa sikap demokratnya itu terbentuk karena demokrasi desa yang ia dapat di kampungnya, bukan karena ikut-ikutan 'barat'.

Iya, saya mengerti bahwa di tahun 1930-an, adat Minang cukup ketat mengatur pernikahan. Marah Rusli menuliskannya dua kali, dalam Siti Nurbaya dan kemudian Memang Jodoh. Yang belakangan diterbitkan 50 tahun setelah ia wafat agar tokoh-tokoh yang bersangkutan sudah wafat.

Namun tetap, ketatnya adat yang digambarkan penulis seperti Marah Rusli tak menghapus kekaguman saya pada budaya Minang yang menjunjung musyawarah untuk mufakat dan ironisnya justru musyawarah itulah yang diserang di film ini, asumsi saya juga ada di novelnya. Setidaknya ada dua adegan di mana justru adat musyawarah ini yang diserang.

Adegan pertama serangan terhadap adat musyawarah adalah ketika tokoh utamanya dilarang ikut dalam musyawarah karena dia bukan orang Minang. Karakter utama di novel ini hakikatnya seorang Minang dari sisi ayah namun tak diakui sebagai Minang di kampung halaman ayahnya sendiri bahkan ketika dia tinggal di kampungnya.

Ini adalah serangan bagi demokrasi semu, di mana orang-orang yang punya andil, punya hak untuk ikut dalam rapat yang menentukan nasib baginya, dikucilkan dengan label yang dibuat-buat. Di masa Belanda (ketika novel ini ditulis), kita memiliki Volksraad, semacam perwakilan untuk rakyat Indonesia menyampaikan aspirasinya, walau dalam kenyataannya tak semua berhak berada di dalamnya, hanya yang mau dan bersedia cooperatie dan tidak revolusioner yang boleh duduk. Begitu juga di masa Demokrasi Terpimpin, hanya partai-partai dan kelompok-kelompok yang tidak kontrarevolusi lah yang boleh ikut andil dalam pemerintahan.

Adegan kedua serangan terhadap adat musyawarah adalah ketika para ninik-mamak sepakat untuk menolak lamaran karakter utama dan menerima pinangan yang satu lagi, dari pria yang Minang tulen. Suara yang meminta kesediaan menimbang hakikat Minang mereka bungkam. Dan dengan halus menekan karakter wanita untuk menerima keputusan, menyatakan dengan lisannya.

Begitu jugalah karakter demokrasi semu, wadah perwakilan semu, ketika suara sumbang mereka bungkam dan pihak yang terkena dampak mereka paksa untuk setuju. Tak ada kebebasan individu menyatakan haknya.

Adalah sebuah ironi dalam kisah selanjutnya, ketika ninik-mamak yang bangga pada adat Minang yang 'beradat, berbudaya', dalam keputusan melalui musyawarah justru memilihkan pria yang salah untuk wanita mereka sementara yang mereka usir justru pria yang baik.  Di sinilah, Hamka menyerang lagi bahwa demokrasi pun juga bisa membuat keputusan buruk, apalagi bila mereka yang berada di dalamnya tercemari oleh ujub, tinggi hati, takkabur.

Di sinilah, kisah Tenggelamnya van der Wijck menawarkan alternatif dari musyawarah, yakni 'cinta' sesuatu yang dianggap sebagai 'khayalan belaka', 'cuma ada di kitab-kitab' bahkan 'melemahkan', tetapi ternyata akhirnya menguatkan karakter utamanya.

Begitu juga di masa kolonialisme Belanda, semangat nasionalisme para aktivis diejek para profesor sebagai khayalan tetapi toh nyatanya sebuah semangat kebangsaan khayalan, imajiner, yang sesungguhnya cuma berdasarkan persamaan nasib ini nyatanya bisa bersatu dan kelak memproklamasikan dirinya sebagai negara.

Begitu juga di masa demokrasi terpimpin, hak-hak berbicara dipasung, humanisme dicerca sebagai 'melemahkan revolusi', agama dianggap sebagai khayalan yang menguatkan posisi tuan tanah dan melemahkan buruh tani. Toh motivasi 'khayalan' yang 'melemahkan revolusi' ini menguatkan perlawanan mereka yang percaya.

Saya tidak tahu dengan novel Magdalena: Di Bawah Pohon Tilia tetapi novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah novel yang berbahaya. Saya, yang belum membaca novelnya, bersyukur ada yang mengadaptasi ke layar lebar (mungkin saya harus mencari novelnya), akhirnya paham mengapa Lekra terancam oleh novel ini dan berusaha mengerdilkannya sebagai karya plagiat.




Pustaka sambil lalu saat menulis ini:
- Akmal Nassery Basral https://www.facebook.com/akmal.n.basral/posts/10152149836837780 (terakhir diakses 26 Desember 2013)
- Wikipedia Berbahasa Indonesia, Tenggelamnya Kapal van der Wijck . http://id.wikipedia.org/wiki/Tenggelamnya_Kapal_Van_der_Wijck
- dan sejumlah artikel blog yang membahas tentang polemik 'Tenggelamnya Kapal Van der Wijck'.

3 comments:

ashah said...

Saya sarankan Anda untuk membaca novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck untuk menyelami pemikiran Hamka lebih dalam. Banyak pengetahuan dan pelajaran hidup yang bisa didapat (seperti yang saya pribadi rasakan). Pertama kali saya membaca novel ini dan jatuh cinta kepaada novel2 Hamka di usia 12 tahun di Perpustakaan SMP. Sampai saat ini di usia 27 tahun saya masih kerap membaca novelnya setelah mencari ke sana kemari, (not available in Gramedia), akhirnya saya dapatkan dari penerbit PT. Bulan Bintang di Senen. Datanglah ke sana dan belilah bukunya, perusahaan penerbit itu sangat sederhana dan bersahaja. Juga saya sarankan Anda untuk membaca buku Di Bawah Lindungan Kabah agar Anda dapat memahami lebih dalam kekuatan sastra Hamka.
Anda beruntung bisa menonton adaptasi novelnya di layar besar. Saya tidak memperoleh kesempatan itu karena berada jauh dari kampung halaman.

Anonymous said...

ternyata yg kerdil adalah sang empunya blog

Anonymous said...

Seberbahaya itukah novel tenggelamnya kapal van der wijck? Justru akan lebih berbahaya jika tidak diselami dulu maknanya secara mendalam. Bacalah novel itu sampai akhir di titik terakhir halamannya, niscaya akan didapat hikmah hikmah yang baik tentang cinta sejati jika dengan hati yang murni, terpaut pada ilahi.