Saturday, January 10, 2015

Memaksakan Diri Menonton Film Nasional = Nasionalisme Sempit?

Ada yang berargumentasi menentang ajakan film nasional dengan alasan membuat produer film kita jadi malas.

Maap gan ane ga setuju hanya karena mengatasnamakan demi kemajuan perfilman indonesia maka film yng blm layak masuk bioskop "memaksa" nasionalisme kita untuk nonton. Ini yang bikin produser film kita jadi malas.


Sekilas argumennya benar.
Pernah ada masa-masa para produser film kita meminta kebijakan proteksi namun hasilnya para pengusaha bioskop diam-diam memproduksi film-film rendah untuk mengakali kebijakan proteksi.

Namun di sisi lain, saya menemukan fenomena ganjil dari penonton kita.

Berapa banyak di antara masyarakat Indonesia, gak mau nonton di bioskop hanya karena "ah.. sebentar lagi ada di TV?" Saya sendiri beberapa kali menemukan pernyataan itu dari kawan-kawan saya.

Herannya,
kalau urusannya nonton film Hollywood, malah mau nonton di bioskop. Tak pernah saya mendengar keengganan menonton film Hollywood karena "ah.. sebentar lagi ada di TV"

Ada juga fenomena menunggu jika diajak nonton film Indonesia, "saya menunggu review-nya dulu. Takut rugi". Sebaliknya pihak yang sama begitu antusias begitu mendengar film Hollywood terbaru bahkan sampai memotivasi diri sendiri "saya harus jadi yang pertama nonton".

Jika saya misalkan hobi menonton adalah seperti hobi mengoleksi sepatu olahraga berkualitas dan selama ini mengoleksi sepatu impor, keengganan terhadap produk lokal bahkan menolak melihatnya bagaikan mendapat ajakan "kudengar toko ini memiliki alternatif lokal yang kualitasnya tidak kalah" dan langsung menolaknya tanpa menengoknya.

Mungkin ada yang mengatakan, "bukankah menonton di TV juga merupakan apresiasi terhadap film? Kenapa harus memaksa nonton film Indonesia di bioskop?".

Benar,
menonton di TV tetaplan aktivitas menonton.
Bedanya, menonton film Indonesia di TV adalah melihat produk lokal yang sudah dimutilasi.

Dari kualitas suara, lebar layar, film produksi lokal entah bagaimana kualitasnya jadi menurun drastis begitu sudah dalam bentuk DVD apalagi dalam bentuk TV. Belum lagi dengan potongan iklan.

Kalau diibaratkan hobi sepatu olahraga import tadi, baru melihat sepatu olahraga lokal setelah sepatu lokal tersebut berpindah-pindah tangan alias barang bekas di tangan ke sekian. Kalau mau adil, kalau memang doyan sepatu olahraga, lihatlah ketika dalam kondisinya sama-sama barang baru.

Begitu juga, kalau memang pecinta film dan biasa nonton di bioskop, perlakukan dengan sama apalagi harga tiket bioskop jauh lebih murah daripada sepatu olahraga original.

Tentu saja,
bukan berarti setiap ada film nasional di bioskop maka kita harus menontonnya. Saya pun juga memiliki kriteria sendiri karena keterbatasan uang.


0 comments: