Thursday, April 20, 2017

Mengapa Basuki Kalah

"Penderitaan keagamaan, pada saat yang sama merupakan ungkapan penderitaan nyata dan sekaligus juga protes melawan penderitaan nyata tersebut. Agama adalah keluh kesahnya makhluk yang tertindas,sanubarinya dunia yang tidak punya sanubari, karena itu agama merupakan roh dari suatu keadaan yang tak memiliki roh sama sekali. Agama adalah opioid (pereda rasa sakit semu) rakyat." -- Karl Marx tahun 1843, 20 tahun lebih sebelum nulis Das Kapital.

[catatan, opium di masa Karl Marx digunakan sebagai obat pereda rasa sakit]

Kalimat terakhirnya memang cukup kontroversial tetapi tak bisa disangkal, banyak kasus protes pemakaian simbol agama sebenarnya memiliki dasar nyata. Dalam satu semester terakhir kita melihat ungkapan-ungkapan terminologi agama bertebaran untuk me-liyan-kan orang seperti 'kafir' dan 'munafik'. Tak heran, yang diserang pun mencap para penyerangnya sebagai anti-keragaman tanpa melihat lebih lanjut apa yang ada di balik simbol-simbol itu.

Basuki Tjahaja Purnama adalah seorang politikus.
Sehebat-hebatnya para nabi palsu buzzer membungkus karakternya bagaikan kaum Saduki membungkus para raja-raja Yahudi dengan citra-citra agamis dan suci, tak bisa dielakkan adalah Basuki adalah seorang politikus.

Untuk para pecinta Basuki, ia adalah seorang "lesser evil" (penjahat yang mudaratnya lebih kecil) tetapi untuk penentang Basuki, ia adalah seorang "greater evil" (penjahat yang mudaratnya lebih besar daripada lawannya).

Basuki bukan sekedar politikus plin-plan [1] dan ingkar janji[2], tetapi dia tidak hormat pada kehakiman[3], pro-pengembang kaya alias tidak menghukum orang-orang kaya yang melanggar hukum [4], tidak transparan dalam pengelolaan keuangan [5].

Jadi ketika ditemukan Basuki mengomentari tafsir surat al-Maidah ayat 51, menuding yang menggunakannya sebagai pembohong padahal guru-guru agama banyak yang mempercayai demikian, maka lengkaplah sudah alasan menarik kegelisahan mereka ke arah topik keagamaan.

Mereka, kaum-kaum tertindas ini, bukanlah kaum ekonomi menengah ke atas yang pandai berdebat, memilih kata-kata, menulis status panjang-panjang menganalisis kebijakan, atau membuat kuliah twitter berseri. Karena itu, jargon-jargon agama lebih mudah digunakan. Basuki adalah kafir, Basuki menista agama, yang intinya satu: Basuki adalah sosok yang tidak peduli pada mereka bahkan mengancam mereka.

Kaum menengah ke atas mungkin menganggap pilkada adalah pesta demokrasi tetapi kaum menengah ke bawah menganggap pilkada adalah kesempatan menggoyang kesombongan Basuki setelah sebelumnya ia berulang kali mengabaikan putusan pengadilan. Ya, buat mereka, Pilkada Jakarta adalah perang.

Itu sebabnya, orang-orang yang dekat dengan mereka tetapi ngotot kampanye Basuki, mereka labeli sebagai sosok "munafik", sosok musuh dalam selimut yang merusak perjuangan mereka menjatuhkan Basuki, sosok yang tidak punya rasa solidaritas.

Namun, simbol-simbol agama, jargon-jargon agama adalah sesuatu yang berbahaya. Terjebak bermain simbol agama, mereka dapat lupa untuk apa pertama kali mereka pertama tak suka pada sang Gubernur Jenderal.

Sejarah membuktikan, ketika sebuah kaum berhasil lepas dari sebuah penindasan, mereka acap kali bingung, apa langkah selanjutnya dan kemudian terjebak pada nabi-nabi palsu. Kaum Musa, setelah lepas dari penjajahan Mesir, terjebak pada rayuan Samiri. Orang-orang Arab, pasca wafatnya Nabi Muhammad, sebagian tergoda pada nabi-nabi palsu macam Musailamah. Orang-orang Prancis, lepas dari feodalisme Louis XVI malah terjebak dalam teror Robespierre dan kelak jatuh kembali pada kediktatoran Napoleon.

Maka,
para pemilih Anies sekarang harus mulai introspeksi, merenung, apakah mereka baru saja menggantikan seorang diktator dengan diktator lainnya.
Mereka harus melepaskan segala atribut pengidolaan, penghambaan, pemberhalaan terhadap Anies. Mereka harus bergabung pada saudara-saudara mereka yang tidak memilih Anies, mengakui mereka sebagai sesama warga Jakarta.

Anies dan Sandi adalah politikus yang juga rentan untuk berbuat zalim.
Ini bukan sekedar Anies dan Sandi mungkin tidak menepati janji tentang program-program macam kemudahan kredit rumah atau program-program muluk lainnya tetapi mereka juga mungkin ingkar janji tentang penggusuran dan segala hal yang dibenci dari masa Basuki.

Jangan sampai, ketika kelak mereka melanggar janji,
tiba-tiba nabi-nabi palsu baru mencap pengkritik sesembahan mereka sebagai anti-agama, ateis, kafir, komunis, dan semacamnya.

PS: Status ini ditulis dengan asumsi hasil pilkada nanti sama seperti hasil QuickCount.
[1] Basuki berubah posisi dari pro-Prona di masa wagub menjadi anti-Prona di masa gubernur

[2] Basuki berjanji tidak menggusur Pasar Ikan dan Bukit Duri. Basuki berjanji menghentikan 6 ruas jalan tol.

[3] Basuki melakukan penggusuran saat pengadilan masih berlangsung. Basuki juga tidak menghormati putusan-putusan pengadilan yang menempatkannya pada posisi kalah.

[4] Basuki walau tahu beberapa pengembang Kelapa Gading merancang drainase-nya dengan kacau dan menyebabkan banjir, bukannya menindak, malah membantu mereka dengan membuatkan pompa. Basuki juga tidak merobohkan bangunan-bangunan tanpa IMB di Pulau D padahal sudah melewati proses peneguran berkali-kali.

[5] diskresi-diskresi penggunaan CSR tanpa audit tetapi hanya appraisal setelah proyek selesai, ini dikritik oleh ketua KPK saat ini dan mantan wakil ketua KPK

0 comments: