Perubahan Suara Warga Jakarta Dari Pemilihan Presiden 2014 ke Pilkada DKI Jakarta 2017 (berbasis web bukan yang sudah diresmikan lewat rapat KPU)
Pada tahun 2014, PDIP mengajukan Joko Widodo menjadi Calon Presiden. Warga DKI Jakarta termasuk kelompok garis keras menyadari bahwa jika Joko Widodo menjadi Presiden maka DKI-1 adalah seorang Tionghoa non-Muslim. Jadi tak heran di tahun itu juga ada kampanye-kampanye rasis dan agama.
Walau dengan kepungan kampanye-kampanye berbau SARA, di Pilpres 2014, lebih banyak warga Jakarta merelakan Joko Widodo menjadi presiden yang juga berarti rela membiarkan Basuki menjadi Gubernur Jakarta.
Bagaimana perubahan suara antara Pilpres 2014 dengan Pilkada DKI Jakarta 2017?
Ternyata, partisipasi orang yang datang ke TPS cukup meningkat kecuali Kepulauan Seribu yang jumlah pemilihnya berkurang sekitar 795 orang.
Jumlah golput aktif (datang ke TPS untuk sengaja membuat tidak sah) juga meningkat kecuali Jakarta Pusat yang menurun (dan itu hanya 37 suara).
Di semua kotamadya (plus kabupaten Kepulauan Seribu), terjadi penurunan jumlah orang yang rela Basuki memimpin Jakarta. Dan sebaliknya, terjadi kenaikan pemilih lawan Basuki (menunjukkan secara aktif tidak rela Basuki memimpin Jakarta).
Yang menarik, di Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Barat yang tadinya didominasi oleh orang-orang yang rela dipimpin Basuki berubah menjadi didominasi orang-orang yang tidak rela dipimpin Basuki dan ketiga kotamadya tadi menyumbang sekitar 49% suara.
Tampaknya yang menjadi kunci adalah Jakarta Barat, yang persentase kenaikan orang yang tidak rela dipimpin Basuki paling banyak dan di saat yang sama menyumbang suara yang cukup banyak.
Sementara, jumlah kenaikan golput aktif paling banyak terjadi di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Sekedar catatan,
tidak memperhitungkan jumlah pemilih baru (yang baru mencapai usia 17 tahun di saat pilkada) atau jumlah penduduk yang baru pindah ke Jakarta atau juga jumlah warga yang meninggal atau pindah ke luar Jakarta.
Saya mungkin juga salah cara menghitung persentasenya.
Ngomong2, ini juga data ada yang tidak akurat karena setelah data di web, data yang lebih akurat adalah yang sudah melalui rembug di berbagai tahap rapat-rapat KPU.
Walau dengan kepungan kampanye-kampanye berbau SARA, di Pilpres 2014, lebih banyak warga Jakarta merelakan Joko Widodo menjadi presiden yang juga berarti rela membiarkan Basuki menjadi Gubernur Jakarta.
Bagaimana perubahan suara antara Pilpres 2014 dengan Pilkada DKI Jakarta 2017?
Ternyata, partisipasi orang yang datang ke TPS cukup meningkat kecuali Kepulauan Seribu yang jumlah pemilihnya berkurang sekitar 795 orang.
Jumlah golput aktif (datang ke TPS untuk sengaja membuat tidak sah) juga meningkat kecuali Jakarta Pusat yang menurun (dan itu hanya 37 suara).
Di semua kotamadya (plus kabupaten Kepulauan Seribu), terjadi penurunan jumlah orang yang rela Basuki memimpin Jakarta. Dan sebaliknya, terjadi kenaikan pemilih lawan Basuki (menunjukkan secara aktif tidak rela Basuki memimpin Jakarta).
Yang menarik, di Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Barat yang tadinya didominasi oleh orang-orang yang rela dipimpin Basuki berubah menjadi didominasi orang-orang yang tidak rela dipimpin Basuki dan ketiga kotamadya tadi menyumbang sekitar 49% suara.
Tampaknya yang menjadi kunci adalah Jakarta Barat, yang persentase kenaikan orang yang tidak rela dipimpin Basuki paling banyak dan di saat yang sama menyumbang suara yang cukup banyak.
Sementara, jumlah kenaikan golput aktif paling banyak terjadi di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Sekedar catatan,
tidak memperhitungkan jumlah pemilih baru (yang baru mencapai usia 17 tahun di saat pilkada) atau jumlah penduduk yang baru pindah ke Jakarta atau juga jumlah warga yang meninggal atau pindah ke luar Jakarta.
Saya mungkin juga salah cara menghitung persentasenya.
Ngomong2, ini juga data ada yang tidak akurat karena setelah data di web, data yang lebih akurat adalah yang sudah melalui rembug di berbagai tahap rapat-rapat KPU.
0 comments:
Post a Comment