Friday, July 20, 2018

[Bukan Review] BUFFALO BOYS

Singkat kata, kalau anda mengharapkan film koboi dengan adegan laga yang keren dan seru, film ini memberikan keinginan anda. Namun tidak lebih dari itu.

Saya mulai dari peringatan untuk orang tua,
film ini bukan untuk anak-anak. LSF memberi rating 17 tahun ke atas. Ada adegan tangan terpotong, mata tertusuk, leher dijerat pelan-pelan lalu korban digantung secara perlahan, adegan luka cambuk dengan darah segar mengalir, dan ada adegan pemerkosaan dalam bentuk sodomi.

Sejak dahulu, saya selalu menganggap genre laga sebagai genre yang riskan. Sangat susah membuat keseimbangan antara drama dan laga. Kalau drama terlalu banyak, film genre ini akan membosankan sementara kalau laga terlalu banyak, film genre ini berpotensi menjadi film murahan. Biasanya, saya menonton film laga karena... ya karena laga. Kalau kebetulan ceritanya bagus, maka itu adalah bonus.

Jalan cerita film ini terlalu menuruti pakem film koboi. Sungguh aneh, di satu sisi tampaknya pembuat film menginginkan inovasi tetapi pola cerita terlalu berpaku pada pakem genre koboi. Jangan berharap film Satay Western ini memiliki kesegaran yang sama dari segi cerita seperti Marlina: Pembunuh dalam Empat Babak.

Seperti apakah pola pakem film koboi? Kurang lebih seperti ini: Alkisah sejumlah jagoan koboi datang ke kota terpencil di mana penjahat sadis berkuasa. Jagoan-jagoan koboi ini awalnya berusaha membaur dan diterima salah satu keluarga lokal yang tinggal di pinggir kota. Terkadang, keluarga lokal ini memiliki perempuan yang berperan sekedar sebagai pelengkap penderita. Lalu, ada sebuah insiden dan keluarga lokal ini berantakan, kepala keluarga mati dan meninggalkan putri atau janda, dan akhirnya para jagoan-jagoan ini pergi ke kota menantang duel bos penjahat dan begundal-begundalnya. Akhir cerita, digambarkan para jagoan yang tersisa meninggalkan kota menuju matahari terbenam.

Yang mungkin agak bikin nyesek penonton modern adalah, pembuat film ini awalnya ingin bikin inovasi, menciptakan karakter wanita yang sangar, keren, tetapi kemudian mereka ciut dan kembali menjadikannya sebagai pelengkap penderita. Sayup-sayup aku mendengar, "Apaaa?! Pevita Pearce ternyata cuma segitu doang?".

Ya, di tengah-tengah gempuran film-film bertema wanita-wanita perkasa macam Star Wars episode 7 dan 8 ataupun Marlina, jalinan cerita BUFFALO BOYS tampak menjadi sebuah kemunduran. Ketika yang lain maju, mereka yang stagnan sesungguhnya mundur.

Tapi ini film laga, Bung!
Kita menonton Buffalo Boys untuk menikmati laganya dan film ini menepati janjinya.

Sejak pertarungan awal melawan ninja, dentingan ninja dan bunyi tebasan pedang terdengar sangat merdu di telinga penggemar genre laga. Namun adegan tarung judi di kereta mengingatkan penonton bahwa genre film ini adalah Western, bukan Kungfu. Tokoh utama mungkin bisa mengelak dari tembakan tetapi bukan berarti peluru yang keluar dari pistol penjahat tidak melukai seseorang.

Jadi, duduklah dengan manis dan nikmati satu per satu karakter di film mati terbunuh dengan berbagai cara. Tinggal pilih, mau pakai peluru, tali, kapak, pisau pendek, golok, atau hiasan dinding.

Secara visual, film ini juga keren, mengingatkanku pada karya-karya Larry Fong yang acap bekerjasama dengan Zack Snyder. Apalagi dengan tata artistik yang bagus, dengan pilihan warna-warni yang mencolok antara coklatnya para pribumi, baju biru penjajah, hitamnya pakaian dan riasan para begundal, hijaunya pemandangan sawah, kuningnya api, dan tentu saja, merah darah yang tertumpah ke sana kemari. Memang sih, beberapa darah jelas tampak merupakan CGI tetapi tenang, tidak mengganggu seperti yang kubayangkan.

Oh iya,
saya menyukai karakter-karakter begundal di film ini terutama karakter yang diperankan oleh Zack Lee (Bartender) dan Hannah Al-Rashid. Selain itu, karakter algojo bertopeng yang bengis juga cukup membuat merinding.


0 comments: