Friday, September 28, 2018

SIAPA DALANG GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 ?

Menyambut 30 September, biasanya muncul pertanyaan seperti itu. Buat kebanyakan pihak, jawabannya sudah jelas, PKI adalah dalang. Walau jawaban ini gak lebih dari hasil nonton film yang sama bertahun-tahun dan tak pernah sama sekali  membaca transkrip dari mahkamah militer luar biasa. Buat yang lain, yang merasa janggal, dalang bisa bervariasi, dari perwira yang tak puas hingga tudingan bahwa Soeharto  yang mendalangi. Ada yang bahkan menuding Presiden Soekarno sendiri yang menjadi dalang.

Jawaban siapa dalangnya sesungguhnya tak penting karena tidak memiliki nilai penting untuk generasi sekarang selain sekedar menebar paranoid.  Pertanyaan yang lebih penting adalah:
1. kenapa politbiro PKI mendukung gerakan penculikan jenderal?
2. kenapa insiden subuh satu Oktober ini memicu pembantaian besar-besaran di berbagai provinsi ?


PERTANYAAN PERTAMA, tidak bisa dijawab dengan sesederhana "PKI mau memberontak". Kalau PKI mau memberontak, kenapa hanya jenderal-jenderal angkatan darat yang menjadi korban? Kenapa pelakunya adalah perwira-perwira tentara yang juga bagian dari Angkatan Darat ?

Sesungguhnya, jawabannya ada di film Pengkhianatan G-30-S/PKI garapan Arifin C. Noer sendiri. Bedanya, di film itu (dan sebenarnya merupakan pandangan PKI), topik itu dianggap sebagai isu dan sekedar fitnah belaka oleh PKI. Padahal kalau melihat catatan pengadilan, PKI begitu percaya dengan isu itu, yakni keberadaan persekongkolan para jenderal yang disebut "Dewan Jenderal".

Apakah Dewan Jenderal benar ada atau tidak, apakah mereka akan sungguh melakukan kup atau tidak, sukar diketahui dan selama ini tak lebih dari sekedar dugaan-dugaan belaka. Pertanyaannya adalah, mengapa PKI begitu meyakini keberadaan dewan jenderal ? Karena ternyata para jenderal-jenderal itu tidak sepaham dengan Presiden Soekarno perkara operasi Dwikora. Mereka bahkan bekerjasama dengan orang-orang yang dekat dengan Partai Sosialis Indonesia dan Partai Masyumi untuk mencari kontak dengan Inggris dan Malaysia.

Operasi intelijen para jenderal-jenderal ini terlalu dini untuk dinilai sebagai usaha melakukan 'coup', tetapi bagi para pendukung fanatik Soekarno, jelas ini tindakan yang tidak bisa diterima.

Lepas dari perdebatan PKI yang punya inisiatif melakukan operasi penculikan jenderal seperti yang dituding Nugroho Notosusanto (penulis buku putih dan konsultan film Pengkhianatan G-30-S/PKI), ataukah PKI sekedar membonceng operasi yang sudah ada (yang membuka teori konspirasi bahwa PKI dijebak),  di mata mereka, para jenderal-jenderal ini adalah pengkhianat yang harus dihabisi.




PERTANYAAN KEDUA, tidak bisa dijawab dengan sesederhana "PKI anti Islam" ataupun "Angkatan Darat mendalangi pembunuhan massal". Untuk jawaban standar pertama, sejumlah dari anggota PKI justru muslim yang shalat 5 waktu. Sebaliknya, untuk jawaban kedua, tidak menjelaskan, mengapa di Jawa Timur, hingga kini dendam kepada PKI masih tinggi.

Agak rumit untuk dibahas di sini, tetapi pada dasarnya, perselisihan antara PKI dan umat Islam terutama di Jawa Timur berawal dari perselisihan lahan, penafsiran tentang UU Pokok Agraria yang diresmikan tahun 1960, perbedaan data, dan tentu saja perbedaan pendapat tentang tanah wakaf. Awalnya perselisihan ini ditunjukkan dengan boikot, pendudukan lahan, hingga akhirnya kekerasan fisik, baik dilakukan oleh pihak pesantren (kasus Sambirejo) maupun oleh PKI (kasus Kanigoro).

Begitu PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang, dibarengi dengan pernyataan sepihak dari TNI AD bahwa mereka memberontak (lihat kembali jawaban nomor satu), maka lepaslah kendali para "korban-korban" aksi sepihak PKI selama ini.

Tentu saja jawaban juga bisa berbeda untuk kasus di provinsi lain seperti Bali atau Sumatera Utara dan itu juga menjadi pekerjaan rumah bagi generasi muda.


Apa PELAJARAN YANG BISA DITARIK saat mencari jawaban atas dua pertanyaan itu?
Untuk saya pribadi,
pertama, politisi harus berhati-hati ketika melibatkan tentara. Gerakan 30 September 1965, adalah kedua kalinya PKI sebagai partai politik sipil ikut bermain dalam isu militer. Di tahun 1948, mereka ikut bermain pada pasukan yang kecewa karena kebijakan ReRa kabinet Hatta dan juga kecewa pada hasil perjanjian Renville. Di tahun 1965, mereka ikut bermain dalam kampanye Dwikora, hingga mengusulkan Angkatan Kelima.

Di masa reformasi, sebuah ormas sipil, Hizbut Tahrir Indonesia sempat menyerukan Panglima TNI untuk ambil alih kekuasaan. Tindakan ini sebenarnya membuktikan bahwa HTI terlalu percaya diri hanya karena sejumlah anggota TNI bersimpati pada mereka, sama saja seperti dahulu yang dialami PKI di masa jaya.


Kedua, Indonesia masih punya bom waktu perkara agraria. Bahkan di masa reformasi pun, masih ada kekerasan fisik akibat konflik-konflik tanah, seperti yang terjadi pada para petani Karawang di tahun 2016 dan para petani di Mesuji pada tahun 2011. Salah satu yang menarik di masa Presiden Joko Widodo adalah, ia mencoba menyelesaikan ini walaupun langkah-langkahnya mungkin tak sempurna, walaupun di beberapa daerah ada hal yang bertentangan.



Merayakan hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, tidak berguna ketika kita hanya merayakan tewasnya jenderal-jenderal di tanggal itu tanpa mengingat konflik-konflik sosial yang terjadi sebelum dan sesudah peristiwa itu. Bukankah Pancasila juga memiliki sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila kelima (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia)?

Merayakan hari Kesaktian Pancasila tangggal 1 Oktober, jadi lebih tidak berguna ketika semangat menuding pihak lain sebagai PKI, di saat yang sama mendukung ormas yang pernah minta TNI untuk melakukan kudeta. Bukankah Pancasila memiliki sila ketiga (Persatuan Indonesia) dan sila keempat (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan)?

Jangan-jangan yang selama ini getol berseru untuk tidak melupakan Hari Kesaktian Pancasila adalah pihak yang anti-Pancasila ?

0 comments: