Monday, October 01, 2018

Kritikan Njoto (PKI) terhadap Sila Pertama Pancasila

".... perumusan sila-sila Pancasila itu mengalami perubahan-perubahan, ini sama-sama kita ketahui. Tetapi bahwa sila-silanya harus tetap yang lima itu, ini setepatnya kita pertahankan. Ketika mengumumkan dasar Pancasila tanggal 1 Juni 12 tahun yang silam, Bung Karno mengatakan, 'Saya senang kepada simbolik, simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunya panca indera ... Pandawa pun lima orangnya'.

Di mana perubahan-perubahan perumahan sila-sila Pancasila?
1. Di dalam usul orisinil Bung Karno: KEBANGSAAN INDONESIA; di dalam UUD Proklamasi 45: PERSATUAN INDONESIA; di dalam UUDS sekarang: KEBANGSAAN;

2. Di dalam usul orisinil Bung Karno: INTERNASIONALISME atau PERIKEMANUSIAAN; di dalam UUD Proklamasi 45: KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB; di dalam UUDS sekarang: PERIKEMANUSIAAN;

3. Di dalam usul orisinil Bung Karno: MUFAKAT atau DEMOKRASI; di dalam UUD Proklamasi 45: KERAKYATAN; di dalam UUDS sekarang: KERAKYATAN;

4. Di dalam usul orisinil Bung Karno: KESEJAHTERAAN SOSIAL; di dalam UUD Proklamasi 45: KEADILAN SOSIAL; di dalam UUDS sekarang: KEADILAN SOSIAL;

5. Di dalam usul orisinil Bung Karno: KETUHANAN; di dalam UUDS Proklamasi 45: KETUHANAN YANG MAHA ESA; di dalam UUDS sekarang: PENGAKUAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

Demikianlah perubahan-perubahan yang dialami perumusan-perumusan sila-sila Pancasila.
Perumusan-perumusan yang bagaimana yang sebaiknya dihunjamkan di dalam Konstitusi baru nanti?

Fraksi PKI mengusulkan supaya perumusan-perumusan yang digunakan ialah perumusan-perumusan yang dengan bulat telah disetujui oleh Komisi I dan ditandatangani laporannya oleh saudara Mr. Kasman Singodimejo (Masyumi) dan saudara Madomiharno(?). Yaitu: -- saya turuti urutan-urutan Komisi -- Musyawarah, Kebebasan Beragama, Perikemanusiaan, Kebangsaan Yang Luas, dan Keadilan Sosial.

Dengan catatan, bahwa 'Musyawarah', meskipun sendirinya istilah yang baik, lebih bak diganti dengan Kedaulatan Rakyat, dan bahwa 'Kebangsaan yang Luas', yang sangat baik karena tidak memungkinkan kebangsaan yang sempit alias chauvinisme, boleh juga disingkat 'Kebangsaan' saja.

Adapun mengenai perumusan 'Kebebasan Beragama', mengapa kami setuju -- dengan yang tercantum di dalam Laportan Komisi ini, karena ini -- meminjam kalimat Komisi sendiri -- lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Keragaman bangsa Indonesia, sebagaimana saya uraikan tadi, meliputi juga hidup keagamaannya. Sebagai demokrat tentu tak dapat kita menutup mata terhadap kenyataan, bahwa di samping monoteisme dan ateisme, juga ada politeisme. Umat Perbegu di Tapanuli misalya, mereka mengakui adanya Tiga Tuhan sehingga jika perumusan 'Tuhan Yang Maha Esa' yang dipakai, mereka itu harus diusir dari Indonesia! Di mana lagi, demokrasi, jika demikian?

Perumusan 'Kebebasan Beragama' juga sesuai sepenuhnya dengan Laporan Komisi yang di dalam 'Pendapat Yang Menghendaki Islam', ayat d, mencantumkan bahwa 'Islam menghormati tiap-tiap kepercayaan, keyakinan dan agama lain', sedangkan di dalam 'Pendapat yang menghendaki Pancasila', ayat m, mencantumkan bahwa 'Pancasila menjamin kebebasan berkeyakinan hidup'.

Tidak saja itu. Persetujuan kami ini juga sesuai sepenuhnya dengan pasal 19 UUDS kita sekarang, yang menegaskan: 'setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsyafan batin dan pikiran'.

Last and not least, ini bahkan sesuai dengan Program Perjuangan Partai Masyumi, yang salah satu babnya justru menuntut 'Kebebasan Beragama'.

Bahwa perumusan ini lebih luas cakupannya dan lebih demokratis sehingga bisa bulat Rakyat Indonesia mendukungnya, ternyata pula dari dua pendapat ini: almarhum saudara Mangunsarkoro (PNI) dalam menerangkan 'Marhaenisme dan Pancasila' menulis bahwa 'Dasar ke-Tuhanan itu menjamin kemerdekaan beragama'; sedangkan Overste Sokawati, seorang Panglima Resimen di Jawa Timur, dalam bukunya, 'Gerilya dan Pancasila' menulis bahwa 'elemen KETUHANAN YANG MAHA ESA ... haruslah terlepas dari ikatan-ikatan kotak-kotak kepentingan dan permusuhan' dan bahwa ia harus mengandung 'pengakuan bahwa manusia seluruh dunia ini bersaudara'.... "


==============================================
Kutipan di atas adalah kutipan pidato Njoto -- seorang Agitator dan ahli propaganda (agitprop) dari Partai Komunis Indonesia -- berjudul "Mengapa Pancasila?" di PP Konstituante 18 September 1957, dimuat ulang di Harian Rakyat tanggal 21 September 1957, halaman iii, menjadi bahan lampiran dalam buku "Njoto, Biografi Pemikiran 1951-1965" oleh Fadrik Aziz Firdausi yang terbit tahun 2017. Ejaan Soewandi dalam lampiran yang asli sudah diubah ke EYD/PUEBI, dengan setiap nama tokoh yang disebutkan saya beri catatan nama fraksi di dalam kurung, serta pengubahan nama kepercayaan yang disebutkan dalam pidato agar lebih akurat.

Pidato Njoto menyebutkan 'Perbega' tetapi seusai mencari tahu sepintas tentang kepercayaan ini, saya mengganti ejaannya menjadi Perbegu. Perbegu atau juga dikenal sebagai Pemena adalah kepercayaan asli suku Karo. Pemeluk asli tidak menyukai istilah 'Perbegu' (istilah ini diberikan oleh Belanda) dan semenjak tahun 1946 memberi nama Pemena walau tampaknya nama ini telanjur dikenal hingga Njoto menggunakan nama ini. Perbegu memiliki kepercayaan terhadap Dibata dan membedakan antara Dibata siidah (Tuhan yang bisa dilihat) dengan Dibata silaidah (Tuhan yang tidak bisa dilihat). Dibata silaidah biasa disebut Dibata kaci-kaci dan mempunyai tiga wilayah kekuasaan: dunia atas, dunia tengah, dunia bawah. Setiap wilayah kekuasaan diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil dari Dibata Kaci-kaci. Ketiga Dibata itu merupakan satu-kesatuan yang disebut Dibata Si Telu(Tuhan yang tiga).

Lepas dari kelalaian Njoto menggunakan nama 'Perbega', ia menggunakan kepercayaan ini sebagai kritikan terhadap pemilihan kata sila pertama Pancasila. Ironisnya, enam puluh tahun setelah Njoto mengucapkan kritikan ini, Eggy Sudjana saat sidang uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan di Mahkamah Konstitusi tahun 2017 mengucapkan kritikan yang sama. "kalau Perppu ini dikabulkan, apalagi banyak permintaan terkait dikatakan sebagai berkekuatan hukum, dan mengikat, maka konsekuensi hukumnya, siapapun, atau apapun yang bertentangan dengan Pancasila harus dibubarkan. Ya kan Begitu? Pertanyaan seriusnya, adakah ajaran lain selain Islam tentang Ketuhanan Yang Maha Esa? Itu kan bertentangan. Berarti pemerintah harus membubarkan ajaran lain selain ajaran Islam".

Kutipan Pidato Njoto juga menjadi dalil bahwa kata 'Esa' dalam rumusan sila pertama di Pancasila, menunjuk pada kata 'Esa' dalam Bahasa Melayu bukan 'Esa' dalam bahasa Sansekerta. Bung Hatta, ketika pidatonya tentang Pancasila diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pun, juga menggunakan kata "Belief in One God" dalam menerjemahkan "Ketuhanan Yang Maha Esa". Saya belum pernah menemukan satupun dari orang-orang yang hidup di masa itu, yang menganggap Esa berasal dari bahasa Sansekerta. Pemahaman 'Esa' berasal dari bahasa Sansekerta adalah relatif baru.

0 comments: