Saturday, July 20, 2019

[BUKAN REVIEW] GARIS DUA BIRU



Untuk yang khawatir apakah film ini bisa ditonton remaja, film ini jauh lebih sopan daripada sebagian besar sinetron di TV. Tidak ada adegan seks di film ini. Ya, adegan itu hanya digambarkan tersirat dan itu hanya ada di menit-menit awal. Jadi buat para orang tua nekat yang ingin membawa putrinya yang sudah berusia 9-10 tahun, tenang saja, filmnya aman ditonton tetapi bioskop yang menayangkan ini biasanya juga memutar iklan film horor karena klasifikasinya 13 tahun ke atas. Jadi tetap tidak disarankan membawa anak di bawah 10 tahun menonton ini di bioskop. Tentu saja itu dengan asumsi putra-putri kalian sudah siap mental diajak diskusi tentang kehamilan di luar nikah.

Ini adalah film pertama Ginatri S Noer sebagai sutradara walau ia sudah punya rekam jejak panjang dalam dunia perfilman sebagai penulis dan... WOW! Mbak Gina! Saya menantikan film anda selanjutnya. Anda punya bakat dalam penempatan aktor, memancing kemampuan terbaik mereka bahkan Dwi Sasono bisa melepaskan diri dari citra komedi yang melekat selama ini. Bahkan ada beberapa adegan ketika juru kamera Padri Nadeak hanya memilih beberapa aktor yang tampil tajam tetapi saya bisa mengamati akting para aktor yang berada di latar, tidak menjadi fokus di kamera. Mbak Gina mengingatkan saya pada Hanung Bramantyo di awal-awal karirnya pada pertengahan 2000an.

Berbeda dengan Hanung yang awal karir selalu tampak berusaha kompromistis dengan penyandang dana (ya, sebenarnya sampai sekarang pun kadang masih ada nuansa itu -- lihat saja Soekarno dan Sultan Agung), Gina tampak diberikan kesempatan sebebas-bebasnya oleh Pak Chand Parvez. Mungkin rekam jejak dia sebagai penulis membantu mendapatkan kepercayaan dari produser.

Gina juga bermain dengan detail-detail artistik yang umumnya jarang diperhatikan oleh sutradara komersial. Hal-hal seperti stiker di cermin, jus stroberi diblender memiliki pesan sendiri. Kadang, pesan juga tak disampaikan melalui dialog melainkan dengan tatapan mata.

Jika kalian beruntung menontonnya di bioskop yang menayangkan teks terjemahan, kalian akan menyadari bahwa bahkan ucapan-ucapan karakter-karakter pinggiran, celotehan orang-orang sekitar dalam film ini pun ternyata punya arti. Di bagian awal misalnya, Gina menampilkan bagimana para remaja dengan ringan mengatakan, "pacaran melulu nih, Pak. Nikahin aja!", "cieeee! Pertengkaran suami istri" dan semacam itu. Begitu karakter Dara terputus dari keluarganya yang berlatar ekonomi tinggi, karakter sekitarnya adalah para suami istri muda kelas ekonomi bawah yang saling bertengkar mengenai uang belanja membawa Dara ke dunia nyata. Dialog-dialog ini anehnya tidak terlalu terdengar dan Bima, sebagai cowok, tampaknya tak terlalu peduli, sementara Dara menyimak dengan baik walau ia tetap berjalan melewati gang.

Ya, sebagai film yang ditulis dan disutradarai oleh wanita, kritik tajam pada laki-laki terasa tajam di sini. Kepengecutan, sikap tidak sensitif, kemalasan mencari ilmu, bahkan sikap tidak acuh muncul saling berganti. Akui saja, jumlah laki-laki yang siap menjadi suami siaga itu sedikit. Untung saja saya menonton film ini sendirian. Seandainya saya menonton bersama Ara dan ibunya, saya mungkin akan tersiksa.

Saya tidak bisa menemukan cela di film ini. Sungguh, ini film layak dapat nilai 10. Duhai, juri-juri FFI yang akan datang, kalau kalian gak memberikan piala citra untuk penulis, sutradara, aktor, aktris, aktor pendukung, aktris pendukung, penata kamera, tata artistik, penata suara, maka kinerja kalian layak dipertanyakan.

Sekarang mari bicara tentang kondisi yang sangat jarang ada di dunia nyata.
Iya, Ginatri S Noer berusaha membuat film ini tidak terjebak menjadi kisah suram tetapi tetap membuatnya masih bisa terjadi di dunia nyata, walau kecil kemungkinannya.

Pertama, sangat jarang wanita yang hamil tak diinginkan sekuat karakter Dara. Kebanyakan akan depresi dan karena takut pada tekanan masyarakat yang membawa mereka tunduk pada keputusan-keputusan bodoh yang dilakukan pasangannya atau keluarganya.

Kedua, sangat jarang keluarga yang sangat kaya, mau mendengarkan permintaan keluarga sang pacar yang berasal dari kelas ekonomi yang jauh di bawah mereka.

Ketiga, sangat jarang keluarga dari pihak laki-laki memaksa anaknya untuk bertanggung jawab.

Bisa dibilang, kelemahan film ini adalah solusi yang ditawarkan nyaris tak mungkin terjadi di dunia nyata. Namun ini mungkin bukan kelemahan melainkan pesan dari sutradara, "hei! Siapapun bisa berbuat salah. Kalau kalian sebagai keluarga mau mendengarkan niscaya kalian akan bisa mencarikan solusi yang baik untuk putra-putri kalian. Bukannya sibuk berupaya menutupi aib, sibuk menyalahkan sana-sini. Dan kalian para cewek, jadilah cewek yang kuat. Pria-pria yang kalian kira bisa diandalkan, bisa jadi ternyata lemah dalam situasi ini. Jangan takut bicara pada keluarga kalian."

0 comments: