Thursday, February 09, 2006

and the conflict continues...

Di saat Denmark bersedia membuka dialog, di saat seorang Din Syamsuddin menyatakan untuk berhati-hati, di saat wakil presiden Irak memberikan pesan yang mirip walau tak sama, tampaknya ada pihak-pihak yang memperkeruh suasana.

Dua orang dalam sebuah forum, yang satu mengaku bernama Syaikh Abdu Manaf Al-Ansari dari Kabul (tetapi ketika mencari di google, yang kudapat berasal dari Melayu [either Malaysia or Indonesia]) dan yang satu lagi bernama Jina Pantek dari Denmark, mencoba memanaskan suasana dengan menggambarkan Bangsa Denmark sebagai anti-Islam. Mereka mengutip artikel berita dari situs royalarchive.com yang isinya berupa wanti-wanti dari sang Ratu, Margrethe II, terhadap ancaman Islam fundamentalism. Selain itu, Syaikh Abdu Manaf Al-Ansari juga mengatakan bahwa sebuah TV menyatakan setiap muslim harus keluar dari Denmark.

Yang perlu disadari adalah bentuk negara Denmark adalah monarki konstitusional seperti Inggris. Artinya, walaupun Ratu sebagai Kepala Negara Denmark, ia tidak mempunyai kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan. Kepala Pemerintahan tetap dipegang oleh Perdana Menteri.

Selain itu, pandangan seorang ratu tidak mewakili pandangan seorang perdana menteri. Dalam sejarah, tercatat salah satu ratu Inggris yaitu Ratu Victoria mempunyai perbedaan pandangan yang sangat tajam justru dengan perdana menteri, William Ewart Gladstone. Karena itu, pandangan seorang ratu dalam kerajaan di masa sekarang tidak mewakili pandangan bangsanya.

Perlu dicatat pula, artikel yang menunjukkan pandangan Ratu Margrethe II terhadap Islam dimuat pada tanggal 14 April 2005 alias jauh sebelum karikatur tersebut dimuat. Artinya pandangan tersebut tidak bisa dicap sebagai dukungan terhadap pemuatan karikatur tersebut. Lagipula, dengan kondisi Denmark tertekan seperti ini, siapakah yang bisa mengetahui apa pandangan sang ratu sekarang kecuali beliau bersedia mengatakan di depan umum kembali. Mungkin beliau sudah berubah pikiran, mungkin juga belum.

Mengenai pendapat yang ada di dalam saluran TV popular di Denmark, seterkenal apapun sebuah media massa, tidak bisa dijadikan acuan dalam menilai sebuah bangsa. Itulah yang kupelajari secara informal saat berada di Australia. Oleh karena itu, janganlah kita mudah menggeneralisasi sebuah kasus.

Bahkan seandainya bangsa Denmark tadinya membenci Islam, dengan kondisi terancam boikot dan kesediaan pemerintah mereka untuk berdialog, maka inilah kesempatan kita untuk menjelaskan apakah Islam itu dan apa tuntutan kita terhadap mereka. Itulah yang harus kita lakukan! Bukan dengan demonstrasi tak jelas tanpa tuntutan dan hanya jadi pelampiasan emosi belaka.

hati-hati dimanfaatkan oleh AS
Di tengah-tengah kebencian kita terhadap Denmark pada khususnya dan Uni Eropa pada umumnya, tampaknya pihak AS mencoba mengambil simpati dari Uni Eropa yang akhir-akhir ini hubungan mereka dengan AS agak menjauh. Menteri luar negeri mereka, Condolezza Rice, menyatakan isu terhadap karikatur yang terjadi tak lebih dari kompor yang dinyalakan oleh Iran dan Suriah.

Tentu saja komentar ini lagi-lagi adalah salah satu bukti kebodohan pejabat-pejabat Amerika Serikat yang tidak mengerti Islam baik secara agama maupun budaya. Dahulu kita pernah menertawai intelijen-intelijen AS yang menyatakan Saddam Husein bersekongkol dengan AlQaeda (atau Taliban) padahal siapapun tahu bahwa mereka tak mungkin bersatu. Justru dengan hancurnya kekuasaan Saddam Husein dan partai Ba'ath, kelompok-kelompok seperti AlQaeda (bila mereka memang ada) dengan mudah menyusup ke negeri Irak.

Walaupun begitu, kita tetap harus berhati-hati. Bila kita terus menampakkan wajah marah kita tanpa mengajukan solusi, bukan tidak mungkin suatu hari Clash of Civillization yang pernah dikhayalkan oleh Huntington akan terjadi.

Bersikap bijaklah!
Bersabarlah!
Adillah dalam menyikapi segala persoalan!

0 comments: