Friday, February 17, 2006

Masalah terhadap Golden Rule...

Salah satu argumen yang diajukan oleh orang-orang dalam masalah Denmark adalah, "itu adalah budaya kami, kami tak pernah merasa tersinggung". Alias, karena dalam budaya mereka hal-hal seperti itu adalah biasa, maka kita tidak bisa memaksakan keinginan kita untuk meredam budaya kebebasan mereka.

Sebenarnya, pemikiran ini berdasarkan Golden Rule yang terkenal:

Jangan melakukan sesuatu kepada orang lain kalau kamu tidak mau orang lain
melakukan hal yang sama kepadamu.

Golden Rule seperti ini tampaknya ada di setiap budaya dan memang merupakan salah satu patokan hukum apabila hukum tertulis belum memuatnya. Misalkan, kita menahan diri untuk tidak membunuh orang karena kita tidak mau dibunuh orang.

Tampak bagus memang, tetapi ada kelemahan:
Bagaimana kalau pihak pertama tidak keberatan bila pihak lain berbuat hal yang sama kepadanya?

Contoh satu (diberikan oleh Michael Shermer dalam bukunya: The Science of Good and Evil):
Seorang suami tidak keberatan kalau istrinya selingkuh tetapi apakah berarti dengan hanya mengandalkan Golden Rule maka sang suami berhak untuk selingkuh? Tentu tidak!

Contoh dua:
Kalau ada seseorang yang kebetulan badannya kekar dan kuat dan dia tidak keberatan untuk dipukul sekeras-kerasnya (terutama untuk memamerkan ketahanan tubuhnya), apakah berarti orang tersebut berhak memukul orang lain? Tentu tidak!

Jadi Golden Rule saja tidak cukup. Harus ada kesediaan untuk memahami pikiran orang lain dalam hidup bermasyarakat.

Sekarang untuk kasus Denmark, bahkan seandainya masyarakat sana bebas mengarikaturkan Yesus untuk bahan bercandaan (dan nyatanya, tidak semua orang suka), apakah mereka juga berhak mengarikaturkan Nabi? Apalagi untuk sebuah guyonan kasar yang lebih bersifat menghina? Tentu tidak!

Bahkan seandainya dimaksudkan untuk mengritik pun, lakukan dengan sebaik-baiknya. Tidak dengan cara kasar dan menghina seperti itu.

Kalau seorang suami tidak bersedia memahami dan menghormati pikiran istrinya yang tidak menginginkan suaminya selingkuh, maka buat apa pernikahan mereka? Kalau seseorang bertubuh kekar tidak mau memahami lemahnya tetangganya dan menganiaya si tetangga, maka untuk apa hidup bertetangga? Begitu juga, kalau masyarakat Barat tidak mau memahami kemarahan umat muslim, maka untuk apa mengadakan hubungan internasional (dagang, politik, budaya) ?

0 comments: