Wednesday, August 13, 2008

Eyang Andaryoko Pasti Tidak Berada di Jakarta pada Agustus 1945

Kemarin, ada eyang berusia 89 tahun yang mengaku sebagai Supriyadi. Eyang yang bernama Andaryoko ini menceritakan kisah-kisah bombastis dari mengaku sebagai Supriyadi sampai ikut serta dalam pembacaan naskah Proklamasi pada Hari Jumat, 17 Agustus 1945.

Sayangnya, justru cerita-cerita Eyang tentang hari-harinya di Jakarta tersebut yang membuatku yakin bahwa Eyang tersebut hanya penipu.

Saya bukan seorang sejarawan seperti Asvi Warman, tetapi saya berani bersikukuh bahwa Eyang Andaryoko pasti tidak berada di Jakarta pada Bulan Agustus 1945.


Kesalahan Pertama:
Dalam buku tersebut Andaryoko alias Supriyadi juga mengatakan, UUD 1945 disusun dan dibicarakan di Gedung Joeang, Jakarta. "Itu tidak tepat, yang benar di Gedung Pancasila Pejambon yang saat ini menjadi Kantor Deplu," kilah Asvi.
http://www.detiknews.com/read/2008/08/12/064130/986799/10/

Asvi Warman benar.
Dan jika Eyang Andaryoko adalah salah satu pejuang yang berada di Jakarta saat itu, pasti tidak akan mungkin tertukar karena Gedung Joang di Menteng 31 adalah tempat pemuda saat itu. Menteng 31 adalah asrama Angkatan Baru Indonesia ( tempat orang-orang seperti Chaerul Saleh, Adam Malik, AM Hanafi) dan juga merupakan markas PUTERA cabang Jakarta yang didirikan oleh Gunseikanbu. Markas itu juga tempat pendidikan para pemuda oleh para bapak bangsa.


Kesalahan Kedua
Tentang Rengasdengklok
Sebelum bercerita soal naskah proklamasi, Andaryoko mengisahkan peristiwa 'penculikan' tokoh tua oleh pemuda. Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh lain dibawa ke Rengasdengklok.

Menurutnya, peristiwa itu bukan penculikan. "Saya tidak ngomong seperti itu. Peristiwa itu hanya negosiasi antara tokoh tua dan muda," demikian Andaryoko.
http://www.detiknews.com/read/2008/08/12/125909/987085/10/


Salah satu bukti ngawurnya Eyang Andaryoko.

Baik generasi tua (Moh. Hatta dalam "Moh. Hatta Menjawab") maupun generasi muda ( AM Hanafi dalam "Menteng 31") sama-sama mengakui bahwa peristiwa itu adalah penculikan, pemaksaan kehendak. Subardjo sampai harus bermain detektif, menginterogasi para pemuda ke mana kah hilangnya Bung Karno dan Bung Hatta saat itu.

Perbedaan versi generasi tua maupun muda adalah, generasi muda dengan bangga menyatakan bahwa penculikan tersebut mendorong proklamasi sementara generasi tua (diwakili Moh. Hatta) menganggap tindakan penculikan tersebut adalah tindakan bodoh karena generasi tua berencana mengadakan rapat pada keesokan harinya dan penculikan tersebut hanya menunda proklamasi selama sehari.

Walau ada perbedaan versi, intinya tetap sama,
peristiwa Rengasdengklok tersebut adalah penculikan, pemaksaan kehendak. Dan itu bukan 'menurut versi resmi' tetapi pengakuan kedua belah pihak.

Negosiasi sesungguhnya adalah sebelum penculikan (yang membuat generasi muda kesal karena generasi tua tampak tak perduli sehingga mereka memutuskan menculik), dan saat Subardjo bersama mBah Diro berhasil menyusul generasi muda di Rengasdengklok dan membujuk mereka mengembalikan Bung Karno dan Bung Hatta dan berjanji akan merancang proklamasi (yang kemudian dilakukan di rumah Maeda).

Penculikannya sendiri adalah PENCULIKAN, pemaksaan kehendak.. bukan negosiasi. Generasi tua sampai kerepotan mencari Bung Karno dan Bung Hatta yang hilang sampai mengutus Subardjo dan mBah Diro.

Selain peristiwa Rengasdengklok, para pemuda dari Menteng 31 juga pernah menculik tokoh-tokoh yang baru pulang dari negeri Belanda seperti Abdulmadjid Hadiningrat, Muwaladi, Tamzil, Sumitro Djojohadikusumo.

Kalau Eyang Andaryoko berada di Jakarta pada Agustus 1945 itu, pasti tahu seberapa radikal pemuda-pemuda Menteng 31. Pasti tidak akan mengatakan peristiwa Rengasdengklok adalah sekedar 'negosiasi', bukan 'penculikan'.



Berhakkah Eyang Andaryoko Menarasikan Sejarahnya Sendiri?
Sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T Wardaya mengatakan Eyang Andaryoko berhak menarasikan sejarahnya sendiri sebagai salah satu pejuang.

Menurut saya, Eyang Andaryoko tidak berhak karena dia penipu. Seandainya dia hanya bercerita tentang pemberontakan PETA di Blitar, saya mungkin tidak akan tahu apakah dia penipu atau bukan. Tetapi cerita-cerita dia di Jakarta yang membuatku yakin dia adalah penipu yang hanya membaca sejarah dari koran-koran, buku-buku sejarah sekolahan kemudian membuat versinya sendiri. Dia mendapat keuntungan karena usianya yang sudah tua (mendekati 90) dan pengalamannya di masa Jepang sehingga bisa menambahkan bumbu betapa menderitanya rakyat saat itu, sehingga dia bisa meyakinkan orang lain yang tidak paham.

Sayangnya, yang dia tabrak bukan sekedar "sejarah versi resmi" tetapi sejarah yang bahkan berasal dari versi bermusuhan yang ditulis orang-orang yang nyata terlibat seperti AM Hanafi maupun Moh. Hatta.

3 comments:

Anonymous said...

Anda buat blog ini seperti terkesan sejarah bisa dibuktikan hanya lewat rasionalisasi pemikiran satu dua jam saja, padahal anda tahu kita ini membicarakan sejarah 63 tahun yang lalu. Hal ini sama sekali tidak bijak, dan sebelum kita tahu kenyataan dari pembuktian mengenai Supriyadi, kita tidak berhak untuk mengatakan bahwa seseorang itu salah ato benar. Sejarah itu layaknya hidup manusia, ia rumit dan kadang tidak bisa dirasionalkan. Coba saja, misal Bung Karno tahu isi supersemar, lantas kenapa Ia mau menandatangani surat tersebut yang secara Politis kita semua tahu itu sama saja bunuh diri/ kudeta. Sejarah itu gak bisa dibuktikan hanya dari tulisan di Buku sejarah sekarang, itu sama saja jika anda akan mengerjakan soal fisika, anda melihat rumusnya di Buku, masakan sejarah puluhan tahun yang lalu, bisa anda putuskan salah benarnya hanya dari melihat buku sejarah yang notabene buatan orde baru yang kebenarannya saya sendiri meragukan. Coba, siapa inisiator serangtan umum 1 Maret di Jogja, kan aslinya seharusnya Sri syltan HB IX, tapi di Buku sejarah hanya menonjolkan Bapak Suharto saja. Jadi sekarang bagi siapa saja yang akan menyalahkan Eyang Andaryoko ini hanya berdasarkan atas tulisan di buku2 sejarah, saya akan katakan bahwa ansa semua hanya baca buku, dikte, inta, tanpa tahu kebenaran sebenarnya. Anda semua sama saja dengan orang bodoh yang gak mau menerima kenyataan bahwa kita sekarang ini adalah negara miskin yang harus berubah dan bergerak ke arah perbaikan. Merdeka.

kunderemp said...

Siapa yang mendukung Eyang Andaryoko selain Baskara yang menulis buku tentang beliau?

Bahkan para veteran di Semarang pun tak percaya.

Bahkan para veteran di Jakarta pun tak percaya..

Para sejarawan yang mendalami apa yang terjadi sekitar proklamasi pun juga tak akan percaya.

Beliau adalah pembual.. tak lebih...

Bahkan dari kesaksian para veteran, ada kemungkinan beliau sama sekali tak pernah berjuang karena banyak kejanggalan dari cerita-cerita lainnya yang tidak spesifik tentang Supriyadi.


Gak usah nyebut2 masalah Supersemar atau Serangan Oemoem 1 Maret. Itu di luar topik.



Yang saya baca, bukan buku sejarah dalam arti yang didikte melainkan buku-buku kesaksian sejarah sekitar Proklamasi, dari yang ditulis oleh generasi tua seperti Hatta dan yang ditulis oleh generasi muda saat itu. Alias langsung dari tangan pertama. Dan saya membaca kedua versi berbeda yang saling memaki tetapi banyak persamaannya..

Dan bila anda bandingkan dengan keterangan Andaryoko, anda akan langsung tahu bahwa Eyang Andaryoko tak lebih dari penipu.

Gak mungkin buronan Jepang datang ke Menteng 31 karena gedung yang digunakan oleh para pemuda dan PUTERA tersebut diawasi ketat oleh Jepang. Baru setelah proklamasi, gedung tersebut setelah direbut menjadi milik Indonesia.

Gak mungkin Eyang Andaryoko menyaksikan perancangan Proklamasi karena semua yang datang tidak ada yang menyebut Supriyadi atau orang lain yang tidak dikenal. Dan saat itu, jumlah yang datang sedikit karena orang-orang yang benar-benar hanya mereka kenal, untuk menghindari Jepang.

Gak mungkin pejuang yang benar-benar di Jakarta bisa keliru perancangan UUD 45 di Gedung Joang. Karena Gedung Joang adalah tempat pendidikan para pemuda, tempat asrama.

Gak mungkin pejuang yang berada di Jakarta akan mengatakan peristiwa Rengasdengklok adalah sekedar negosiasi. Karena baik generasi muda dan generasi tua sama-sama tahu kalau peristiwa tersebut adalah pemaksaan kehendak, penculikan.



Bedakan antara beda versi, karena bias dan kepentingan masing-masing pelaku sejarah, dengan versi palsu yang diciptakan oleh penipu yang tidak pernah berada di tempat peristiwa pada saat berlangsungnya peristiwa tersebut!

Dan kesalahan-kesalahan Eyang Andaryoko, yang cukup fatal, meyakinkanku bahwa Eyang Andaryoko tidak berada di Jakarta pada Bulan Agustus tahun 1945.

Bahkan,
dari kesaksian veteran Semarang yang menyeleksi pendaftaran veteran, Eyang Andaryoko banyak melakukan kesalahan termasuk penyebutan jenis senjata, letak lokasi perjuangannya.

Ada kemungkinan, Eyang Andaryoko bahkan tidak pernah berjuang.

Paresmapa 21 said...

mungkin 32 tahun banyak sejarah yang di ubah, mungkinkah usia anda sekarang lebih dari 60 tahun kalau memang benar hm....... saya bisa menyetujui saran anda, tetapi kalau tidak saya lebih percaya sama pak andaryoko, soale ndekne wes ngalami wes ngelakoni