Thursday, August 14, 2008

Sekedar Koreksi Tulisan Sebelumnya

Pada tulisanku sebelumnya, tertulis:
Itu sebabnya orang-orang PKI dan Tan Malaka menjadi korban karena Pemerintah menunjukkan bahwa negara ini memiliki Pemerintah

Ternyata, dengan menyatukan nama PKI dan Tan Malaka, kawanku menyangkaku menganggap Tan Malaka dekat dengan PKI.

Tidak kawan.
Ketika aku menyebut mereka berdua,
aku menyebut mereka yang berseberangan dengan pemerintah dan akhirnya menjadi korban. Seandainya Darul Islam sudah diperangi saat itu, aku juga akan menyebut DI/TII sejajar dengan Tan Malaka dan PKI.

Ketika Sjahrir menerima perjanjian Linggarjati,
banyak yang mencap beliau sebagai antek-antek Belanda. Tetapi yang perlu diingat adalah Hatta mendukung keputusan Sjahrir.

Tan Malaka tidak setuju. Bahkan Sjahrir sempat diculik oleh kelompok Tan Malaka di Solo namun dengan perantaraan Soekarno, akhirnya dibebaskan.


Ketika Amir Sjarifudin menerima perjanjian Renville, Soekarno dan Moh. Hatta pada awalnya tidak menyetujui perjanjian tersebut. Tetapi setelah mendengar keterangan Amir Sjafruddin mengenai jumlah amunisi, blokade, dan sebagainya, Soekarno dan Moh. Hatta akhirnya bersedia mendukung kabinet saat itu. Sangat disayangkan, Hatta merasa ditikam dari belakang saat Amir Sjarifudin yang kemudian bergabung dengan FDR menolak perjanjian yang ditandatanganinya sendiri.

Tan Malaka menjadi korban karena kelompoknya sering bermain sendiri (karena radikalnya yang sudah dikenal dengan konsep "Indonesia Merdeka 100%"). Sementara itu, di pihak lain, PKI juga menjadi korban karena membentuk pasukan sendiri yang diam-diam berharap mendapat bantuan dari Uni Sovyet. Keduanya saat itu berhadapan dengan Hatta yang berharap dengan sikap komprominya, sekutu-sekutu Belanda seperti Inggris dan Amerika, meninggalkan Belanda.

Jendral Sudirman, yang -- sudah rahasia umum -- pemikirannya tentang kemerdekaan lebih dekat ke Tan Malaka, selamat karena ia masih bekerja sama dengan pasukan-pasukan lain.

Padahal,
dalam darurat perang, yang namanya kesatuan kordinasi sangat dibutuhkan walaupun memiliki perbedaan pendapat.

Seperti halnya Cicero sang fanatik Republik dari Romawi Kuno yang terpaksa direlakan oleh Octavianus untuk dibunuh oleh kawannya, Antonius, begitu juga Tan Malaka, PKI, dan siapapun yang tidak bersedia bergabung dengan pemerintah saat itu, terpaksa menjadi korban.





Sumber:
Jepe
http://jpmrblood.blogspot.com/2008/08/indonesia-dan-itu.html

Tulisanku sebelumnya
http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2008/08/ngawur-tetapi-berdampak-besar.html

2 comments:

jpmrblood said...

Seperti yang gw bilang dalam [1], tidak ada pahlawan yang tidak cacat. Bahkan idealisme yang berbenturan dengan mainstream dianggap sebagai suatu cacat. Masa itu adalah masa pergolakan semua sedang mencari bentuk. Wajar jika terjadi instabilitas politik dan segala upaya untuk meredamnya.

Yang tidak wajar adalah mengapa Tan Malaka yang berjasa bagi bangsa ini tidak dianggap sebagai mana mestinya. Padahal, bangsa ini memaafkan Soekarno dengan Nasakomnya dan perilakunya. Bahkan, mendewa-dewakan layaknya seorang nabi. Ini yang gw gak terima.

Harusnya, Setiap orang yang berjasa pada bangsa ini diberi penghargaan. Apalagi, rapat di lapangan Ikeda dan perlawanan rakyat semesta adalah hasil buah pikir Tan.

Anonymous said...

Tampaknya itu yang menyebabkan Bung Karno memberikan Gelar Pahlawan Nasional kepada Tan Malaka. Tetapi tampaknya itu saja masih belum cukup karena Tan Malaka buat sebagian orang masih dianggap pemberontak.