Sunday, November 09, 2008

A President Is....

Walau aku tidak terlalu sepakat dengan ucapan seorang penganut New Age, tetapi ucapannya ada benarnya.

Once a man sit on the president chair, he will become a different person. He will be an innocent mirror of collective consciousness of his people. Mirror to all consciousness of his people, the good one and the bad one.
(Sekali seseorang duduk di kursi kepresidenan, ia akan berubah menjadi orang yang berbeda. Ia akan menjadi cermin tak berdosa dari kesadaran kolektif rakyatnya. Cermin semua kesadaran rakyatnya, yang baik dan pula yang buruk)

Well,
dari awal aku skeptis tentang Obama. Aku hormat pada rakyat Amerika ketika mereka berani untuk tidak melihat warna kulit dan memilih Obama (cukup banyak kulit putih yang memilih Obama! Gak usah bersikap rasis di blog-ku). Tetapi aku skeptis terhadap Obama sendiri.

Seperti yang kutulis sebelumnya, terpilihnya Obama, sebenarnya lebih membawa keuntungan buat rakyat Amerika sendiri. Tetapi kepentingan rakyat Amerika Serikat belum tentu sama dengan kepentingan negara-negara lain.

Aku baru mulai tertarik ketika Obama mengatakan 'siap berunding dengan musuh2 Amerika' dan walau rencana energinya untuk Iran (menurutku) naif, tetapi menarik untuk dicoba. Tentu saja aku masih kecewa dengan keinginan Obama untuk tetap menaruh pasukannya di Afghanistan. Sudah berapa korban sia-sia gara-gara pasukan Amerika salah mengenali pasukan sekutu, arak-arakan pernikahan? Dan aku cukup kecewa dengan posisi Obama memihak Israel secara buta.

Jangan salah,
seandainya aku presiden Amerika Serikat, aku juga tak akan memutuskan hubungan dengan Israel. Israel adalah negara kuat, memproduksi banyak barang dan teknologi, dan mengekspor otak-otak cerdas ke Amerika Serikat. Hanya presiden Amerika yang bodoh yang mau memutuskan hubungan dengan Israel. Jadi sebenarnya, Israel tidak perlu khawatir dengan komitmen Amerika Serikat terhadap Israel [dan gak perlu lobi-lobi segala].

Tetapi, bila aku menjadi presiden Amerika Serikat, dengan kondisi sejarah, kontroversi pendirian negara Israel dan tragedi-tragedi yang menyertai perjalanannya,
aku akan bersikap netral. Aku akan memaksa Israel dan semua pihak di Palestina untuk berunding damai walau butuh berkali-kali perundingan. Sebagai sekutu Israel, aku menjamin untuk mengawasi Israel dan memaksa negara-negara Arab dan negara-negara Muslim lain, untuk mengawasi Palestina. Perjalanan panjang, mungkin, tetapi sikap demikian tidak akan terlalu menyakitkan negara-negara Muslim.

(catatan: Ehud Olmert yang akan digantikan, berusaha menghormati perjanjian dengan merencanakan pemotongan dana bantuan untuk penduduk yang menetap secara ilegal di perbatasan --- langkah maju menurutku karena penduduk ilegal ini sering jadi provokator yang memicu bentrokan)

Dan Rahm Emmanuel.. ah.. Rahm...
Terpilih sebagai Chief of Staff Obama. Dan setelah kulihat di google dan news, ia adalah putra dari seorang radikal yang dahulu tergabung dengan Irgun.

Aih... aih.. Obama..
mengapa dari sekian banyak orang Yahudi yang bisa kau pilih, mengapa anak seorang radikal yang kau pilih? Memang, agama saya mengatakan bahwa setiap orang memikul dosanya sendiri-sendiri dan anak tidak memikul dosa orang tuanya. Tetapi ada perasaan tidak sreg melihat pilihanmu ini. Apakah kau masih ingin meyakinkan Israel?

Mengutip ucapan Gideon Levy, wartawan Israel:

A true friend of Israel needs to remember that Israel may be "the only democracy in the Middle East," but not in its own backyard. That next to Sderot, which he visited, is Gaza. That "common values" must not include a cruel occupation. That friendship does not mean blind and automatic support.
Teman sejati Israel perlu mengingat bahwa Israel mungkin "satu-satunya demokrasi di Timur Tengah" tetapi tidak di halaman belakangnya. Tepat di sebelah Sderot, lokasi yang ia kunjungi, adalah Gaza. "Nilai kebersamaan" tidak boleh termasuk pendudukan yang kejam. Persahabatan tidak berarti buta dan mendukung secara otomatis.


0 comments: